Kamar Pengantin

1118 Kata
Aku, adalah cara melupakan semua kenangan termasuk nama kamu, selamat berkarir dan menemukan sosok yang lebih baik lagi._ Sesuai dengan permintaan tolong Ibunda Agam, menjelang hari pernikahan tiba. Sahira membantu persiapan isi seserahan untuk pengantin perempuan. Ia menarik napas dalam – dalam, masih terasa sulit menerima kenyataan bahwa lelaki yang dicintai akan menikah. Hingga tirai kamar terbuka, menampilkan sosok Agam di sana. Sahira benar – benar terkejut, seingatnya kamar pengantin bukan kamar pribadi milik Agam. Sehingga lelaki itu tidak perlu menemui dirinya di dalam kamar ini. Menampilkan senyum manis yang tidak pernah sampai hati, Agam mendekati Sahira yang masih kebingungan harus bersikap seperti apa. Tiba – tiba suasana semakin terasa awkard, menutupi sikapnya yang semakin salah tingkah tidak beraturan, buru – buru Sahira menyiapkan beberapa seserahan yang sudah tersusun rapi. " Boleh kan saya di sini?" Tanya Agam, duduk di hadapan Sahira." Tidak enak juga, kamu sibuk dari kemarin mengenai seserahan, padahal saya yang akan menikah." " Silakan Pak, ini kan rumah orang tua Bapak." Jawabnya gugup, mereka hanya berdua di kamar pengantin pula. " Bagaimana kabarmu setelah selesai sidang?" Agam membuka perbincangan lebih dalam, tidak seperti yang Sahira alami ketika masih bimbingan. " Baik, kalau Bapak sudah tertebak, pasti berbahagia karena akan menikah." Tanpa basa –basi Sahira terbawa perasaan. Agam terkekeh, manggut – manggut." Menurut kamu begitu?" Sahira menoleh ke sebelah, gurat – gurat wajah Agam terlihat jelas." Memangnya bapak tidak baik – baik aja?" " Baik kok, o ya? Bagaimana kabar Abim? Dia bisa datang di acara pernikahan saya?" Sahira mengendikan bahu, pertanda tidak tahu." Nanti aku coba tanya ke orangnya langsung, Bapak masih menaruh rasa tidak suka juga ke Mas Abim?" Agam terlihat berpikir, sekilas Sahira melirik kearah lawan bicara." Tidak, saya biasa saja ke Abim. Dia yang menganggap saya sebagai musuh, sepertinya begitu." "Masih bisa diperbaiki lagi kok, kenapa Bapak tidak mencoba untuk menjalin pertemanan seperti beberapa tahun lalu?" Agam tertawa kecil, menggigit bibirnya." Gini sajalah, tidak baik juga jika terlalu dekat. Dia tidak akan bisa menerima, pasti sangat sulit untuk menjadi teman saya. Cukup saya melukai dengan beberapa hal yang sudah terjadi." Sahira memilih diam, membiarkan Agam bercerita. Seketika ada perasaan yang membaur, bahagia dan haru. Untuk pertama kalinya Agam mencoba membuka diri, percakapan pun mengarah pada kehidupan pribadi. "Kok Bapak tidak mengabari saya jika akan menikah?" " Kenapa saya mesti mengabari kamu?" Kening Agam berkerut akan pertanyaan Sahira." Kamu bukan kekasih saya kan?" Sahira berdehem, mendadak dadanya terasa sakit mendengar jawaban Agam." Iya bukan sih, tapi kita kan saling kenal. Aku pernah menjadi mahasiswi bimbingan Bapak, kita juga satu desa dan hubungan orang tua masing – masing sudah seperti keluarga." " Nggak baik Sahira, kalau saya menganggap kamu terlalu dekat. Kasihan calon istri saya dan akan nggak baik juga untuk kamu." Sanggah Agam akan pernyataan Sahira tadi. " Maksudnya Bapak nggak baik di saya, gimana?" " Kamu itu adik Abim, lelaki yang memusuhi saya. Pasti saya akan tambah dibenci, logisnya seperti itu." Ungkapnya serius, meletakkan isi seserahan di sisi Sahira. Agam menyelesaikan ucapannya, Sahira menahan hati untuk tidak terluka. " Memangnya Bapak sudah siap untuk menikah?" Sahira memberi peringatan pada mulutnya sendiri, entah mengapa melontarkan pertanyaan bodoh seperti itu. " Siap tidak siap, kalau jodoh saya sudah datang, ya saya harus menjalani kan? Kamu sendiri kapan menikah? Biar wisuda ada yang menemani, kan paket bahagia yang komplit. Lulusan terbaik ditemani suami, bangga dong." Agam malah mengalihkan perbincangan mengenai pernikahan dirinya. "Doanya saja Pak dalam waktu dekat ada lelaki yang bersedia menikahiku." Sahira menatap Agam sebentar lalu tersenyum tipis. Agam membalas senyuman Sahira, meletakkan satu kotak seserahan yang sudah ia selesaikan begitu apik." Iya, akan saya doakan. Semoga kamu segera dinikahi oleh lelaki yang sangat baik. Calonmu orang di sini juga?" Sahira menatap Agam, mata mereka saling bertemu." Mungkin, manalah aku tahu Pak. Kalau sekarang, aku masih benar – benar kosong sih." " O, saya kira sudah ada orangnya, ternyata belum." " Maunya kamu, gimana dong?" Batin Sahira, namun tidak berani dilontarkan pada Agam. Bibir Sahira mengerucut, melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Tidak berniat juga membalas ucapan Agam, suasana kamar pengantin mendadak hening. Hanya jari – jemari mereka berdua yang tampak lincah menyelesaikan sisa – sisa seserahan pernikahan. Tanpa Sahira sadari, lebih dari sekali Agam menatapnya dalam kesempatan yang ada. MAS DOSEN Setelah menyelesaikan makan malam, Sahira dan Abim duduk diruang tamu. Ibu dan adiknya sudah pergi ke rumah orang tua Agam. Hari pernikahan semakin dekat, tetangga pun semakin berantusias menyambut pernikahan Agam yang digadang – gadangkan akan menjadi paling mewah di desa. " Jorok banget sih, perempuan juga." Abim menepuk lengan Sahira. Sedang asik mengupil, ia hanya tertawa." Eh, jorok – jorok begini lelaki yang aku suka tampan loh. Itu Mas Agam, wajahnya kiss – able." Katanya membanggakan sang pujangga. Abim tertawa miris." Tolong deh, adik Mas yang paling cantik. Nggak perlu kamu mencintai Agam berlebihan, ingat ya, dia nggak sebaik yang kamu lihat. Harus berapa kali Mas katakan padamu Sahira Asma." " Eh iya," remaja itu menjentikkan jemarinya tepat di wajah Abim." Yang aku lihat, pernikahan Mas Agam itu nggak sepenuhnya keinginan dia Mas, jelas sekali kok Agam belum siap lahir – batin untuk menikahi tunangannya." Abim hanya manggut – manggut, berekspresi biasa saja." Mungkin, bukan urusan kita juga Sa." " Masa Mas nggak penasaran? Gitu – gitu kan pernah jadi teman dan sahabat satu permainan. Setidaknya memberi sokongan, nggak ada salahnya loh." " Buat apa sih?" Jawab Abim tidak suka." Nggak penting juga, dia punya cara sendiri menentukan masa depan, dia juga bukan anak kecil yang mesti diajarkan mengenai pernikahan dan segala macam." Abim mengganti siaran televisi, tidak peduli tatapan Sahira yang melarangnya. " Makanya Mas tuh ubah mindset, biar berkembang dan punya masa depan lebih baik. Jangan stuck terus ke orang lama, kalah dong sama aku. Adik Mas yang paling cantik ini." Dia menunjukkan dirinya berkali – kali. " Dengerin ya adik Mas yang paling cantik, memiliki bukan berarti menyimbolkan sebuah kemenangan kok. Ada, cara yang lebih baik dari pada memaksakan sesuatu yang tidak seharusnya kita dapatkan. Nggak semua isi dunia bisa kita genggam, manusia itu hancur sebab kesombongan dan itu yang Mas tidak suka dari Agam." Ungkap Abim pada sang adik." Kamu sedang buta – butanya menilai Agam, di matamu hanya ada rasa cinta dan suka semata dan terakhir ambisi." " Apa yang ambisi? Nggaklah, semasa aku jadi mahasiswi bimbingannya nggak ada agresif untuk memilikinya." Sahira sebal, tidak suka akan penjelasan sang kakak." Jangan sok tahu!" Lelaki itu terkekeh." Dia dosen kamu?" Sahira mengangguk." Ya, kami satu Universitas, satu kampus juga. Dia baik, walaupun aku nggak dihargai." Abim hanya tersenyum kecil, enggan menanggapi. Adiknya tidak bisa diingatkan, sampai suatu saat merasakan sendiri. Bagaimana pun Agam, adalah orang yang inginmerasakan sakitnya dijatuhkan, dikhianati oleh keadaan demi kekuasaan semata. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN