_Kamu tidak sibuk tapi tengah menyibukkan diri menjauh dariku_
Senyumnya melengkung manis, setengah berlari menghampiri kakak lelakinya di gubuk sawah. Abim seusia Agam. Maka dari itu, jika Sahira dan Abim sedang bersama. Mereka tidak terlihat seperti kakak – adik, melainkan seperti pasangan.
" Jatuh nanti Sa. Jalan saja kan bisa, nggak harus lari – lari begitu." Abim mengingatkan, hanya ibunya yang memanggil Hiya. Sebab, mendiang ayahnya selalu memanggil Hiya ketika ia masih kecil. Seperti panggilan kesayangan sebagai anak perempuan satu – satunya di rumah.
" Nggak dong Mas," jawabnya setengah tertawa. " Kan aku sudah besar, bisa melihat mana yang jalan baik dan sebaliknya."
Abim menatap Sahira, tampak sibuk mengeluarkan menu makan siang dari dalam tas." Kapan jadwal wisudamu?"
" Awal tahun, kalau nggak ada perubahan." Sahira ikut duduk di sebelah Abim setelah menyiapkan makan siang yang dibawa dari rumah." Ehm, Mas tahu nggak kalau Mas Agam akan menikah? aku baru tahu dari Ibu tadi pagi." Kakinya mengayun pelan, perasaannya kembali bersedih.
Abim tertawa kecil, meraih Sahira ke pelukan." Kamu masih belum berubah ya? Kamu itu bukan tipe perempuan idaman dia Sahira. Jangan pernah berharap menjadi bagian hidup orang seperti Agam, dia bahkan nggak mau melirik kamu. Sudah – sudahlah mempertahan perasaan yang sepihak, sampai bertahun – tahun kamu memendam sendirian."
Dia mendengus, menatap sebal pada Abim." Mas kok jahat sih, adik sendiri juga. Mas nggak diposisi aku, gimana rasanya mencintai Agam sebagai cinta pertama pula."
Tawa Abim terdengar lagi," Agam nggak se –sempurna yang selalu kamu jadikan alasan untuk tetap mencintai dia. Kamu cari lelaki yang lebih baik, kalau memang sudah kepikiran untuk menikah." Saran Abim serius.
Buru – buru Sahira menggeleng." Mas duluan, aku nyusul. Lagian aku adik Mas kan, masa harus ngelangkahin."
" Mas belum kepikiran untuk menikah Sa. Masih ada Ibu, kamu dan Dimas yang harus mas nafkahi. Nggak perlu buru – buru, kasihan nanti istri Mas mesti keteteran kasih –sayang." Helaan napas Abim memberat, tatapannya sudah beralih pada hamparan sawah yang luas. Menyimpan sebuah kerinduan, harapan yang sudah harus dilupakan dan kenyataan yang memupuskan.
" Ngomong – ngomong, Mas masih belum berbaikan dengan Mas Agam?"
Abim tertawa renyah mendengar ucapan yang keluar dari lisan Sahira." Kenapa tiba – tiba kamu bertanya seperti itu pada Mas?"
"Kenapa harus bertengkar Mas, kan sudah saling dewasa. Nggak baik dan kalian juga pernah dekat sebagai sahabat." Sahira geleng – geleng kepala." Mas kesal karena Agam kuliah dan Mas nggak, gitu?"
Abim menyungging senyum tipis, meneguk segelas air putih." Kamu nggak perlu tahu apa penyebab Mas dan Agam bertengkar, cukup kamu lupakan perasaan cinta padanya mulai dari sekarang. Jangan sampai kita berdua berhubungan dengan satu orang yang sama, Mas penuh kebencian dan kamu justru mencintai dia, Sa." Ia memberi peringatan pada Sahira." Kamu nggak perlu bertahan lama menyukai orang seperti dia, nggak juga bakal jadi pendamping hidup."
Angin bertiup lembut, memberi kesejukan tersendiri bagi sepasang kakak – adik yang terlibat perbincangan panjang di gubuk sawah.
" Kalau Mas nggak bisa berbaikan dengan Agam, itu kan hak Mas dan aku berhak juga mencintai dia sampai kapan pun." Sahira keras kepala, tidak peduli akan larangan Abim." biar nanti berakhir nggak memiliki, yang penting aku bahagia."
Abim geleng – geleng kepala, tidak mengerti cara berpikir sang adik." Nggak baik Sa mencintai orang berlebihan seperti itu, dia sudah akan menikah dan kamu masih stuck di dia, itu sakit. Dia nggak bisa memikirkan perasaan orang yang peduli dengan kehidupannya. Agam itu egois, kamu saja yang belum ketemu sama sikapnya satu itu."
Sahira manggut – manggut, bangun dari duduknya. " Aku akan benerin tuduhan Mas, kalau suatu saat nanti Agam memang benar – benar menunjukkan betapa egoisnya dia sebagai lelaki. Tanpa Mas minta, aku akan melupakan perasaan ini. Aku balik ya, sekalian mau mampir ke rumah Bude Marsih."
" Ngapain?"
" Ibu minta tolong diambilkan baju seragam nikah Mas Agam, apes sekali nasib adik Mas ini." Ia memberengut, meraih kunci motor." Sedang patah hati ditinggal menikah, justru menyodorkan wajah di sana."
Abim terkekeh, menatap kasihan pada Sahira." Hati – hati loh, awas ketemu Agam."
Sahira hanya mengerucutkan bibir, sebagai jawaban. Meninggalkan Abim sendirian, menuju motornya yang berjarak cukup jauh dari gubuk sawah di mana mereka tadi sedang berteduh.
MAS DOSEN
Suasana resepsi di desa sangat khas sekali, kalau dikota selalu mengandalkan jasa wedding organizer jauh berbeda dengan kehidupan desa saat acara pernikahan. Sangat kekeluargaan, nilai – nilai yang ditanamkan nenek moyang masih teraplikasikan begitu kental.
Sahira menatap ke sekeliling, beberapa bapak – bapak sibuk membuat tenda tamu undangan di halaman rumah. Anak kecil tampak asik bermain dan berlarian, dibelakang ada ibu – ibu yang berlalu lalang membersihkan daging, sayuran dan segala macamnya persiapan makanan pernikahan. Mengingatkan masa – masa kecilnya bersama temannya dulu, ia selalu antusias ketika salah satu tetangganya mengadakan acara resepsi.
Calon istri Agam sangat beruntung, pernikahannya disambut hangat.
" Loh, Sahira." Panggilan yang menyadarkan lamunan remaja cantik berhijab didepan pintu masuk." Kok melamun di luar, ayo masuk." Ajakan yang membuat Sahira hanya menyuguhkan senyuman salah tingkah.
" Iya Bude." Jawabnya tergagap." Jadi ingat masa kecil dulu, paling senang kalau ada walimahan." Katanya lagi pada pemilik rumah.
" Sekarang gantian kamu yang memikirkan walimah pernikahan sendiri, kapan pulang ke rumah ibumu?"
" Tadi malam Bude, ini juga baru sempat mampir." Ia menyalami Ibunda Agam." Ibu tadi titip pesan sebelum berangkat ke sekolah, katanya minta diambilkan baju seragam pernikahan Mas Agam."
" Masuk rumah dulu, jangan buru – buru." Marsih mengajak remaja cantik itu ke dalam rumah." Mas – mu juga baru tadi malam baru balik dari kota."
" Maksudnya Mas Agam, Bude?"
Baru saja namanya disebut, lelaki yang menjadi objek obrolan keluar dari kamar. Sama – sama kaget, sebab Agam hanya mengenakan celana pendek dilengkapi kaos hitam berlengan pendek, bentuk tubuhnya terukir jelas.
Sahira berdehem, mengalihkan tatapan." Sahira nggak bisa lama – lama Bude, nanti keburu Ibu balik ngajar."
Marsih menatap wajah Sahira yang berubah kemerah – merahan, tertawa kecil." Bantuin Bude sebentar ya Sa, sudah lama juga kamu nggak main ke rumah kan?"
Mau tidak mau, Sahira menurut. Diam – diam lelaki yang duduk di sebelah Marsih mencuri pandang pada remaja yang menjadi mahasiswi bimbingannya beberapa waktu lalu. Tanpa ekspresi, juga tidak penasaran. Hanya ingin saja, tanpa alasan.
" Acara walimahnya kapan Bude?" Tanya Sahira, mencairkan suasana yang sempat canggung.
" Minggu depan, calonnya Agam tiba – tiba minta ulur waktu lagi." Suara Marsih menyiratkan kekecewaan." harusnya besok sudah akad nikah. Enggak tahu kenapa, dia mengulur – ngulur waktu terus." Marsih melirik anaknya lelakinya dan sikap Agam justru terlihat tidak peduli.
" Oh, gitu." Sahira tidak tahu harus menjawab apa.
" Mulai besok kamu bantu Bude di rumah ya, sekalian siapkan seserahan Mas – mu ini, dia yang akan menikah dan dia yang nggak peduli." Sindir Marsih lagi, tatapannya tertuju pada Agam.
Sahira hanya manggut – manggut atas permintaan Ibunda Agam, pikirannya mulai sibuk menebak. Mengapa Ibunda Agam terlihat sedih, padahal pernikahan anaknya ada di depan mata. Namun tidak berlarut lama, ia memilih untuk tidak ikut campur. Walaupun Agam orang yang disukai, namun hanya dirinya tidak dengan Agam. Lelaki itu justru akan menikah dengan kekasih pilihannya sendiri. Banyak yang tidak Sahira ketahui, setahunya Ibunda Agam tinggal sendiri saja. Suaminya memilih menetap di kota, mungkin bersama Agam. Kabar yang pernah didengar, Yanda Agam adalah seorang anggota dewan. Maka dari itu, Agam lebih dekat dengan Ibundanya daripada sang Yanda. Kehidupan mereka serba tercukupi, Agam juga anak semata wayang, keluarga bahagia. Hanya itu yang terlihat dan terbaca, selebihnya Sahira buta tentang kehidupan pribadi keluarga lelaki yang ia taksir.
" Ibunda yang ngomong ke Yanda, aku malas!" Katanya ketus, menatap Marsih dengan tajam. Setelah berhasil membawa Ibundanya menjauh dari Sahira, Agam meluahkan isi hati mengenai pernikahan yang akan digelar dalam waktu dekat.
" Jangan begini Gam, pikirkan perasaan orang tua sendiri." Perempuan itu memberi pengertian," hari bahagia keluarga masa harus berantakan, jangan egois." Ujar Marsih semakin melembut." Pernikahan sudah di depan mata, orang sudah banyak tahu. Kalau tiba – tiba batal, kamu mau buat semua orang kalang – kabut?"
" Masih belum telat Bun untuk membatalkan pernikahan." Agam tetap teguh pendirian." Menikah juga bukan perkara main –main, berhadapan langsung pada Tuhan. Aku belum ada persiapan untuk memulainya, perempuan itu bukan pilihan aku. Melainkan pilihan keluarga, demi kepuasan Yanda sendiri." Mata Agam memanas, mengalihkan wajahnya dari tatapan Marsih." Yanda selalu saja membesarkan ego, pernah memangnya peduli dengan perasaanku? Sedikit saja, kalau tidak bisa sebagai anak setidaknya sebagai tumbal perusahaan." Agam terpancing emosi.
Marsih duduk di sisi Agam, menggenggam jemari anaknya penuh kehangatan." Nggak salah untuk kamu memulai sebuah pernikahan, sudah cukup usia dan semua impian – impian yang kamu inginkan sudah terwujud. Wilona perempuan yang baik dan berpendidikan tinggi. Profesi kalian sama, berasal dari keluarga yang berada. Gantian, bahagiakan Yanda sekali ini saja."
Agam menatap Marsih tidak mengerti." Menurut Ibunda, harta mampu membeli kebahagiaan?" Agam tertawa meremehkan ucapan Marsih." Kalau Ibunda berpikir, setelah menikahi Wilona aku mampu meraup harta keluarganya, salah besar Bun. Aku bukan anak yang kehausan harta sampai menjadi buta."
Marsih tertohok mendengar jawaban Agam, tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
" Apa Yanda pernah membahagiakan Ibunda dengan baik? Enggak kan, percuma tumpukan harta – harta yang selama ini Ibunda dapatkan kalau sebenarnya justru tertekan, ingin mengakhiri segala kesakitan tentang tingkah laku suami yang sudah nggak bisa diberi pengertian lagi. Ibunda berusaha bahagia, kuat dengan cara sendiri." Agam menatap sinis, mendengus tidak terima.
" Kamu betul, tapi yang harus kamu tahu. Ibunda bertahan sampai detik ini karena memikirkan kamu Gam, sebagai anak dari Yanda." Jawaban Marsih beralih membuat Agam tidak mampu berkata – kata lagi.
TBC