6. Pembahasan Kontrak

2256 Kata
Hari ini aku dan Pak Hanif bertemu lagi. Tujuannya adalah untuk membahas aturan-aturan tertulis selama kami menjalin kerja sama. Ini wajib dilakukan agar kami bisa tahu tentang apa-apa yang dibolehkan dan apa-apa yang tidak. Ini juga bertujuan agar kami tidak semena-mena satu sama lain. Kedua belah pihak harus sama-sama diuntungkan, bukan malah sebaliknya. Jujur, aku antara lega dan sedih. Leganya, urusan perjodohan sepertinya bisa diatasi dengan adanya Pak Hanif. Aku tidak perlu lagi berurusan dengan si Narsistik Daniel. Tapi sedihnya, ini semua hanya sandiwara. Semuanya palsu! Tolong jangan salah paham dulu. Sedih di sini bukan berarti aku berharap kalau aku dan Pak Hanif jadi sungguhan. Tidak, bukan begitu. Aku sedih karena mendadak insecure parah. Apa aku se-tidak menarik itu sampai masalah jodoh saja harus dicarikan orang tua? Dan sekalinya aku pacaran, adalah pacar bohongan? Kenapa kisah percintaanku semiris ini? Benar-benar miris rasanya. Aku mendadak merasa tidak pantas disukai, apalagi dicintai. Aku juga mendadak merasa tidak cukup bagus untuk siapa pun. Selama ini aku bukannya menutup diri. Tidak. Jika ada laki-laki yang memiliki potensi dan terlihat seperti ingin mendekatiku, aku membuka peluang itu. Tapi nyatanya, selama ini aku hanya bertemu dengan mereka yang sekadar penasaran. Bukan yang ingin menjalin hubungan serius. Mereka yang agaknya hanya tertarik secara fisik dan baru ingin main-main. Aku tidak mau laki-laki yang seperti itu. Itu hanya akan memberi efek buruk bagiku. Patah hati, misalnya. Kecewa juga karena terlanjur berharap. Diriku terlalu berharga untuk sekadar dijadikan mainan. Jujur saja, aku iri dengan Shenna. Kisaran tiga minggu yang lalu, dia ke Semarang untuk bertemu calon mertuanya. Iya, anak itu akan menikah dengan orang Semarang. Rumah mertuanya adalah tetangga kecamatan denganku. Aku iri karena dia sudah menemukan laki-laki yang mencintainya sepenuh hati. Laki-laki yang juga akan menjaganya. Laki-laki matang yang terlihat sangat menyayanginya. Bahkan dari tatapan mata saja, aku bisa merasakannya. Sedangkan aku? Boro-boro! Jangankan mendapatkan laki-laki yang kucintai dan mencintaiku balik, belakangan ini ada yang mendekatiku saja tidak. Mas Daniel tidak akan kuhitung karena kami dijodohkan. Itu pun aku berharap semoga agenda perjodohan ini lekas berakhir dan semua urusan selesai. Sebetulnya, semakin ke sini aku tidak berharap kehidupanku seperti di n****+ atau drama-drama romance yang kisahnya sangat sempurna. Jatuh cinta, dicintai balik, lalu menikah dan hidup bahagia. Bagiku, cinta memang penting, tapi bukan satu-satunya. Jika memang aku harus menikah dengan laki-laki yang belum kucintai, tetapi menunjukkan bibit-bibit husband material, aku mungkin akan mau. Cinta bisa dipupuk, tetapi karakter suami idaman tidak melekat pada semua laki-laki. Tidak semua laki-laki pantas jadi suami. Iya, kan? Jujur, aku pusing. Semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa buruk dan tidak tahu harus bagaimana. “Mau sampai kapan kamu akan melamun seperti itu?” “H-hah?” lamunanku tersadar saat ada kibasan kertas di depan wajahku. Pak Hanif menatapku tajam, membuatku langsung meringis tak enak hati. “M-maaf, maaf. Saya memang lagi agak banyak pikiran akhir-akhir ini.” “Lalu kenapa kamu mengajak saya bertemu hari ini kalau memang sedang banyak pikiran?” “Karena saya mau ke Jakarta besok dan di sana beberapa hari.” “Apa jangan-jangan kamu di Jakarta ada pacar?” “Enggak! Kan saya udah bilang waktu di parkiran. Ya meski secara implisit, sih. Tapi kan udah jelas mengarah ke sana. Kalau ada, kenapa saya mau sandiwara konyol begini? Mending saya sama pacar saya sungguhan kalau memang ada.” “Lalu saat di bandara?” mata Pak Hanif menyipit. “Ha? Apanya?” “Kamu menyebut kata sayang berulang kali.” “Oh, itu. Itu panggilan buat sahabat saya. Sahabat saya itu cewek. Seumuran juga, kok, sama saya.” “Kamu normal, kan? Tidak pecinta sesama jenis?” Aku melongo tak percaya mendengar pertanyaan Pak Hanif. “Pertanyaan macam apa, itu, Pak? Ya kali saya pecinta sesama jenis!” “Ya siapa tahu. Kan banyak orang yang rela pura-pura pacaran, bahkan menikah, untuk menutupi orientasi sesksualnya yang menyimpang.” “Oke, itu memang benar. Tapi saya bukan bagian dari mereka. Saya seribu persen normal. Saya masih suka laki-laki dan ingin menikah dengan laki-laki pula.” “Bagaimana kalau ungkapanmu ini hanya tameng untuk menutupi ketidaknormalanmu? Semua orang bisa bilang dirinya normal, padahal tidak.” “Bentar, deh!” tanganku refleks terulur ke depan. “Kenapa Pak Hanif tiba-tiba tanya tentang ini?” “Ya kalau kamu belok, meski ini cuma pura-pura, saya enggak mau.” “Lho! Justru andai saya belok, bukannya Pak Hanif malah aman? Kita bisa beradegan seperti orang pacaran sungguhan, tapi tanpa melibatkan perasaan. Iya, dong?” “Jadi benar, kamu pecinta sesama jenis?” “Wah …” aku kembali melongo. “Enggak, Pak! Kan barusan saya bilangnya andai. Saya normal seratus persen.” “Ada bukti?” “Pak Hanif gay, ya?” “Apa?” mata Pak Hanif melebar sesaat. “Kenapa jadi menuduh saya gay?” Aku sengaja bertanya itu. Aku tidak mau kalau hanya menjadi pihak yang diserang. Aku juga ingin menyerang balik. “Ya biasanya orang menyerang orang lain demi melindungi dirinya sendiri. Bu Lala kan cantik, berprestasi pula. Kenapa Pak Hanif enggak mau? Udah dikejar bertahun-tahun tetap enggak luluh. Curiga, saya, kalau ternyata Pak Hanif yang belok dan suka batangan. Ewh!” “Jangan asal menuduh!” “Saya cuma ikutan. Coba sekarang buktiin kalau Bapak enggak gay.” “Saya tidak butuh penilaianmu.” “Wah! Beneran gay, ternyata?” “Rizda!” “Apa?” mataku melebar, sengaja menantang. “Enggak bisa buktiin, kan? Orientasi seksual enggak bisa dilihat secara kasatmata. Bahkan kadang laki-laki yang kelihatan gemulai malah normal, yang kelihatan maco abis malah suka sesama batangan. Saya benar, kan, Pak?” Pak Hanif diam. Dia jelas tidak bisa menampik kalimatku karena kenyataannya memang begitu. Banyak orang gay dan lesbi yang pandai menyembunyikan orientasi seksualnya. Bahkan kadang melebihi yang normal. Ngomong-ngomong, sejujurnya aku agak kaget karena hari ini Pak Hanif cukup banyak bicara. Sangat berbeda dengan saat di bandara ataupun saat jaga ujian. Saat di ruang dosen juga dia hanya diam sembari makan roti. Apa bicaranya tergantung mood? Atau tergantung lawan bicara? Atau tergantung kepentingan? Entahlah! “Ya sudah. Intinya, kamu sepakat dengan aturan yang tadi,” ucap Pak Hanif akhirnya. “Sini kertasnya, biar saya baca ulang buat mastiin.” Pak Hanif mengulurkan kertas di tangannya dan aku menerimanya. “Ehm!” aku berdehem pelan. “Pertama, kita adalah pasangan jika dan hanya jika ada orang lain. Jadi, segala bentuk tindakan yang bisa meyakinkan orang lain bisa dilakukan, dengan catatan hanya seperlunya. Kedua, kontak fisik juga hanya seperlunya saja. Boleh sedikit intens jika sangat urgent dan demi melindungi sandiwara agar tidak terbongkar. Ketiga, jika selama sandiwara menemukan seseorang yang disukai, maka tidak boleh membatalkan secara mendadak. Sekurang-kurangnya satu sampai dua minggu dan harus dibicarakan berdua agar tidak terlalu merugikan pihak lain. Keempat, tidak boleh menghalangi satu sama lain untuk jatuh cinta dengan siapa pun. Dengan catatan, ketentuan nomor tiga berlaku. Kelima, alias terakhir, jika sengaja membocorkan atau merusak sandiwara ini tanpa persetujuan pihak lain, maka ada denda satu milyar. Wah … nominalnya enggak main-main, ini.” “Karena sandiwara ini juga tidak main-main. Jadi, kita tidak bisa asal merusak sandiwara ini kecuali mau membayar denda. Inti dari segala inti adalah, hubungan ini sifatnya simbiosis mutualisme. Keuntungan untuk kedua belah pihak, bukan hanya salah satu.” Aku mengangguk. “Baiklah.” “Sekarang, tanda tangan materai.” “Pakai materai segala?” jujur, aku tidak espek untuk ini. “Agar sah dan bisa diurus kalau sewaktu-waktu kamu ingkar janji.” “Pak Hanif, kali, yang mau ingkar.” “Cepat, tanda tangan.” “Hm.” Aku mengambil bolpoin dan langsung menandatangani surat perjanjian ini. Agak konyol, memang, tetapi sangat serius di saat bersamaan. “Sudah.” Aku menyerahkan surat itu, lalu Pak Hanif menyerahkan satu lagi. “Kok masih?” “Yang ini saya pegang, yang itu kamu pegang.” “Emang ini sah, ya, kalau enggak ada saksinya?” “Sudah saya rekam.” “Maksudnya?” Pak Hanif menunjuk ponselnya yang sedari tadi tengkurap di meja. “Sejak tadi ponsel saya merekam pembicaraan kita. Itu untuk backing-an kalau sewaktu-waktu dibutuhkan.” “Ah, oke. Baiklah.” Setelah tanda tangan lembar kedua, aku segera memasukkan kertas itu ke dalam tas. Kutaruh di bagian depan agar nanti mudah ditemukan ketika dicari. Sesampainya di rumah, akan kusimpan di tempat yang menurutku paling aman. Jangan sampai ada orang rumah tahu, terutama Ayah dan Ibu. “Surat itu disimpan di tempat yang aman, Pak. Jangan sembarangan.” “Pasti.” “Soalnya kalau ketahuan, bisa gawat.” “Iya.” Aku menyeruput minumanku yang tinggal separuh, juga menghabiskan gigitan waffle yang tinggal sedikit. Waffle ini enak. Manisnya pas, teksturnya juga juara. “Ada satu hal yang hampir terlupakan.” Kunyahanku terhenti. “Soal?” “Panggilan.” “Maksudnya?” keningku mengerut bingung. “Apa masuk akal kalau kamu masih manggil saya dengan sebutan Pak?” “Oh!” aku cepat-cepat menelan waffle-ku. “Bener, bener. Saya manggil Mas Hanif gitu, ya? Toh Pak Hanif bukan rekan kerja saya juga.” “Ya.” “Tapi kalau boleh tahu, Pak Hanif— eh, Mas Hanif umur berapakah?” Sebenarnya agak canggung mengubah panggilan secara tiba-tiba. Tapi kurasa memang lebih baik diubah sekarang daripada ditunda-tunda. Karena semakin lama akan terasa semakin melekat. Kalau sudah melekat, maka akan semakin sulit pula untuk menggantinya. Kalau sekarang, aku hanya perlu penyesuaian sedikit saja. “Tiga puluh dua.” “Hah? Tiga puluh dua?” mataku seketika mendelik lebar. “S-serius?” “Kenapa sekaget itu?” “Saya tahu, Pak— eh, Mas Hanif pasti lebih tua dari saya agak jauh. Tapi saya pikir palingan dua puluh sembilan atau maksimal tiga puluh.” “Kamu hanya meleset dua tahun, kenapa heboh?” “Saya dua puluh lima aja belum ada, loh, Mas. Bentar lagi, sih. Kita beda tujuh tahun lebih, dong!” “Lalu? Ada masalah dengan itu?” “Ya enggak. Cuma rasanya jauh amat! Kita enggak kaya kakak dan adikkah?” aku nyengir. “Nanti enggak ada yang percaya sama sandirwara kita.” “Saya kira kamu sudah dua puluh sembilan, malah.” Aku kembali mendelik. “Ih! Penghinaan! Emang wajah saya setua itu?” Aku refleks mengambil kaca di tas dan menatap wajahku dari pantulannya. “Masih imut-imut gini kok dibilang dua puluh sembilan! Ngaco banget!” “Imut?” “Emang enggak?” aku tersenyum. Tidak ada jawaban. Yang ada, Pak Hanif hanya menatapku dengan kening yang mengerut samar. Itu benar-benar menjengkelkan. “Gimana kita mau akting kalau Mas Hanif udah bikin saya keki begini? Kelihatan setua itukah wajah saya, Mas?” “Saya hanya bercanda.” “Bercanda gimana?” “Ya bercanda.” “Ya bercandanya di bagian mana?” jujur, aku mendadak butuh validasi. “Kamu masih cocok jadi mahasiswa S1 alih-alih sudah selesai koas. Puas?” Seketika, senyumku mengembang lebar. “Dilarang menarik kembali kata-kata yang ini, lho!” “Hm.” “Oh iya, saya jadi ingat. Masa iya kita kalau lagi interaksi di umum masih pakai saya-sayaan? Bukannya itu terlalu formal? Udah kaya Pak Dosen sama mahasiswanya aja, nanti.” “Jadi kamu maunya apa?” “Ya aku-kamulah. Ini minimal.” Aku meringis. “Jangan sayang-sayangan juga, tapi. Enggak kuat!” Aku bergidik. “Saya juga enggak mau.” “Ya udah. Itu tadi aja, Mas. Aku-kamu.” “Saya harus aku-kamu dengan anak kecil sepertimu?” “Anak kecil?” aku menatap Pak Hanif tak terima. “Kalau bukan? Saat saya kuliah, kamu masih SMP.” Ini benar dan tak terelakkan. Namun, aku tidak terima kalau dianggap anak kecil. “Terus, kenapa mau bersandiwara sama anak kecil?” “Karena yang ada dan besedia cuma kamu.” Aku memutar bola mata malas. “Terserah, deh! Terus kalau enggak mau aku-kamu, apa dong?” “Nanti saya pikir—” “Atau Mas Hanif manggil Mas kaya waktu di ruang dosen aja. Geli dikit enggak ngaruh.” Aku terkekeh pelan. “Oke. Itu saja. Dan itu berlaku kalau memang diperlukan.” Aku mengagguk. “Yep!” “Ya sudah. Malam ini cukup sampai di sini.” “Okay!” “Saya permisi.” “Iya.” Pak Hanif akhirnya berdiri dan meninggalkanku. Benar-benar langsung pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi. Aku sendiri masih duduk sendirian, menatap pemandangan di bawah sana. Ngomong-ngomong, saat ini aku sedang berada di café salah satu hotel paling bagus di Semarang. Pak Hanif yang mengusulkan tempat ini karena kami perlu tempat yang private untuk membahas kontrak. “Miris banget hidupmu, Da, Da! Shenna kalau tahu pasti bakal ngetawain. Atau kalau enggak, dia pasti ngomel.” Selain mengomel, Shenna juga pasti akan mengataiku bodoh. Ya, aku memang bodoh. Tapi untuk saat ini aku tidak punya pilihan lain. Aku merasa lebih baik bekerja sama dengan Pak Hanif daripada dipaksa segera menjalin hubungan serius dengan orang yang memiliki bibit NPD. Sudah membuatku hilang mood, konsen belajarku juga terpecah. Ujian kompetensiku dipertaruhkan. Setidaknya sampai UKMPPD selesai, aku tidak mau memusingkan soal perjodohan lebih dulu. Sembari aku melihat bagaimana perkembangan kedepannya. Setelah puas menatap pemandangan luar sekaligus meratapi nasib, akhirnya aku berjalan menuju kasir. Pertemuan kemarin Pak Hanif yang bayar, jadi kali ini aku. Kami sudah sepakat di awal. “Permisi, Mbak. Saya mau bayar tagihan untuk meja nomor sembilan.” “Baik, sebentar.” Petugas itu mengecek layar tablet di depannya. “Atas nama Rizda, ya?” Aku mengangguk. “Iya, betul.” “Sudah dibayar, kak. Tadi sama calon suami kakak. Ini tertandanya begitu.” Mataku seketika melebar kaget. “G-gimana? Calon s-suami?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN