5. Kesepakatan Kilat

2300 Kata
“Enggak, enggak. Masa Pak Hanif? Aku aja udah sembarangan sama dia. Mana mau!” Aku menggeleng keras, menyingkirkan ide yang tak seharusnya tercetus di otakku. Ide yang sebenarnya konyol, tetapi cukup masuk akal untuk dilakukan. Terlebih, sepertinya akan terjalin simbiosis mutualisme jika benar-benar terealisasi. Namun, apa Pak Hanif akan mau setelah kutipu sedemikian rupa? Kurasa tidak. Bisa jadi juga, waktu itu dia hanya butuh pengakuan sementara saja. Cukup agar Bu Lala mengira dia sudah memiliki calon, lalu selesai. Kedepannya tidak perlu lagi ada sandiwara. Ya, bisa saja seperti itu. Lebih baik aku cari orang lain. TAPI SIAPA? Masalahnya, sudah sejak SMA aku hidup di Jakarta. Di Semarang, aku tidak punya banyak kenalan teman laki-laki. Saat SMP aku juga cukup pendiam. Aku bisa agak unjuk diri justru saat masuk SMA. Mentalku mulai terlatih dari sana sampai akhirnya bisa seperti sekarang ini. “Argh!” Aku meremas rambutku keras. “Mbuh-lah! Pusiiing!” Aku menarik selimut, lalu memejamkan mata. Belum ada satu menit kemudian, wajah Pak Hanif sudah terbayang-bayang di ingatanku. Aku menurunkan selimut, lalu menatap kosong pada langit-langit kamar. “Gimana, ini?” Sebenarnya mudah saja aku menghubungi Pak Hanif jika memang ingin. Tentu saja lewat Mbak Isna. Namun, bukankah lucu bagaimana aku minta nomor pacar sendiri ke orang lain? Maksudku, kemungkinan Mbak Isna sudah tahu gosipnya karena dia sudah kembali berangkat ke kampus. Akhirnya, aku meraih ponselku dan mencari akun sosial media Pak Hanif. Hanif Giandra Putra. Aku ingat betul namanya karena bagiku itu nama yang bagus. Apalagi kalau lengkap dengan gelarnya. Rasanya banar-benar gagah. Hehe! “Ah! Ketemu! Orangnya punya IG* ternyata.” Akunnya bernama giandrahanif. Foto profilnya bentuk siluet yang kuyakini adalah dirinya sendiri. Itu diambil saat senja. Entah di mana. Ada total lima belas postingan di instagramnya. Hampir semuanya berisi foto kegiatan. Ya seminarlah, wisudalah, naik gununglah. Feed-nya rata-rata berisi foto beramai-ramai. Hanya ada satu foto dirinya yang benar-benar seorang diri, yaitu saat wisuda doktor. “Keren banget udah S3. Mana ganteng, ih! Berapa, ya, umurnya?” Karena terlalu asik menatap fotonya, tanpa sadar aku menyentuh tombol like. Aku terperanjat sendiri, lalu buru-buru menghapusnya. “Ih, begeee banget! Ketahuan, dong, kalau stalking!” Aku semakin syok ketika dalam sekejap giandrahanif sudah menambah pertemanan. Akunku memang private, jadi butuh mengonfirmasi untuk berteman. “Anjirlahhh! Dia lagi main instgram. Pak Dosen gabut amat main i********: jam segini?” Aku melirik jam dinding, saat ini sudah pukul sebelas malam. “Terima atau enggak, ya? Udah basah, nyebur sekalian aja, kali, ya?” Akhirnya, aku menerima permintaan pertemanan. Baru juga dua menit, sudah ada dm masuk dari giandrahanif. giandrahanif Kasih nomormu yang benar. Jangan menipu lagi. “Dih! Buat apa? To the point amat orang ini.” Satu pesan kembali masuk. giandrahanif Cepat, Rizda. Akhirnya, aku mengetikkan nomor ponselku dan mengirimnya. Tidak ada pilihan lain. Meski kubilang ‘tidak’ berulang kali, tetapi untuk saat ini memang hanya dia yang ada di otakku. Jangan salah paham! Ada di sini lebih kepada hanya dia yang sepertinya masuk akal untuk kuajak kerja sama. Aku tidak bisa membayangkan nama lain, bahkan teman yang pernah dekat sekalipun. Di saat aku masih sibuk dengan pikiranku, ada pesan w******p yang masuk. Jelas sekali, pesan itu berasal dari orang yang baru saja menanyakan nomorku. 085xxxxxxxxx Hanif. Aku melongo menatap pesan itu. “Gitu doang? Hanif. Ya ampun! Basa-basi dikit, kek!” Akhirnya, kubalas pesannya dengan ‘Y’. Kalau dia mau irit, aku juga bisa lebih irit. Kupikir pesannya akan berhenti di situ, tetapi ternyata aku salah. Pak Hanif kembali mengetik. Entah kenapa, aku mendadak berdebar. Aku penasaran dengan apa yang akan dia katakan setelah ini. Apakah dia akan marah karena aku mengerjainya? Atau dia akan marah karena injakan kakiku yang betubi-tubi? Atau justu marah karena keduanya? 085xxxxxxxxx Besok kita ketemu di Café Red­ Rose jam tujuh malam. Aku mendelik membaca pesan itu. Kuulangi sampai tiga kali, barangkali aku salah. “Tiba-tiba banget ngajak ketemuan?” Karena aku tak kunjung menjawab, tiba-tiba nomor Pak Hanif menelepon. “Laaah! Malah telepon! Mau ngapain? Udah malam, ih!” Panggilannya kubiarkan sampai mati sendiri. Dan ternyata, ada panggilan susulan. Ada pesan juga yang mengatakan kalau aku harus mengangkat panggilan itu. Akhirnya, aku menyerah. “Kenapa, Pak? Kenapa tiba-tiba telepon?” tanyaku tanpa basa-basi. Aku bahkan tak mengungcapkan hallo lebih dulu. “Kamu sampai stalking akun saya. Kamu butuh saya, kan?” “Idih! Pede amat, Anda!” “Lalu? Setelah menipu saya, kenapa kamu mencari akun saya? Tidak mungkin tidak ada kepentingan.” “E-eee, iseng aja, sih.” “Saya butuh bantuanmu.” “Enggak mau.” Bodoh! Egoku terlalu tinggi. Padahal, aku juga butuh bantuannya. “Imbalannya masih berlaku, Rizda.” “Bantuan apa, emang? Masih seputar Bu Lala?” “Besok saya jelaskan saat ketemu.” “Saya sibuk, Pak.” “Apa kegiatan pengangguran pada jam tujuh malam? Nonton drama?” Sialan! Perlukah diperjelas kalau aku pengangguran? “Ya banyak. Banyak banget yang harus saya kerjain. Intinya saya enggak mau—” “Da, Rizda!” Aku terkesiap ketika tiba-tiba mendengar suara Ibu. Dalam sekejap, beliau membuka pintu kamarku. Pintunya memang belum kukunci karena aku masih ada rencana turun ke dapur untuk mengambil minum. “Lagi teleponan sama siapa?” tanya Ibu begitu mendekat ke arah ranjang. “A-ah, itu. Te— eh, pacar, Bu. Aku udah punya pacar aslinya.” Aku meringis. “Pacar? Jangan bohong! Tadi aja reaksimu enggak menunjukkan kalau kamu udah punya pacar. Jangan coba-coba kibulin Ibu, Da!” “Tadi aku bohong karena masih belum siap jujur. Soalnya pasti aku bakal diinterogasi. Ini karena udah ketahuan, jadi ya udah. Aku ngaku, deh!” Aku berani bersumpah, apa yang kukatakan pada ibu adalah jawaban spontan. Aku tidak tahu setelah ini akan bagaimana. Aku mengatakannya tanpa pikir panjang. “Kasih hape-nya ke Ibu, Ibu mau ngomong sama pacarmu.” “Lah! Ya jangan!” “Kenapa, kok, enggak boleh?” “Lain kali aja—” “Cepat, Da! Kalau enggak mau, itu artinya kamu bohong dan cuma mau ngibulin Ibu.” “Kasih saja, Da.” Aku agak kaget karena itu suara Pak Hanif. Dia ternyata menyimak. Akhirnya, kuserahkan ponselku pada Ibu. Kini, aku harap-harap cemas. Jujur, aku bahkan bingung dengan kondisi macam apa saat ini. Semuanya serba mendadak dan spontan. “Hallo? Oh, iya. Iya, iya. Enggak papa, kok. Siapa? Oh, Hanif. Boleh, boleh. Kapan-kapan suruh Rizda ajak Nak Hanif ke rumah. Iya, iya. Santai saja.” Duh, ibu! SKSD banget! Setelah ngobrol sebentar, Ibu mengambalikan ponselku. Berikutnya beliau meletakkan satu botol air putih di atas nakas. Ternyata Ibu naik ke kamarku karena ingin mengantar air. “Ibu udah percaya, kan?” tayaku pelan. “Ibu turun dulu.” “Yaaa.” Begitu Ibu pergi, aku langsung menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya. Aku juga kembali melompat ke atas ranjang. “Hallo? Pak Hanif masih di sana?” “Sudah saya duga. Kamu pasti ada perlu dengan saya.” Aku memejamkan mata, merasa kalah karena tidak bisa mengelak lagi. “Baiklah, besok kita ketemu di Red Rose jam tujuh. Saya tutup dulu teleponnya!” *** Pukul tujuh lebih lima menit, aku baru tiba di Café Red Rose. Aku berangkat dari rumah pukul setengah tujuh. Jadi lama karena sempat kena macet. Aku pun sudah mengabari Pak Hanif kalau aku akan telat lima sampai sepuluh menit. Saat aku masuk, aku langsung celingukan. Ada setidaknya setengah menit sampai aku menemukan Pak Hanif yang kini duduk di salah satu meja yang terletak dekat dengan air mancur berbentuk duyung. Dia mengenakan kemeja warna hitam. Sepertinya, di mana pun tempatnya, style-nya adalah formal dan semi formal. Atau dia dari kampus belum pulang? Entahlah! Aku bergegas menghampirinya, dan aku langsung nyengir begitu dia melihatku. “Malam, Pak Hanif. Saya boleh duduk?” “Ya. Saya pesankan jus apel sesuai permintaanmu tadi.” Aku mengangguk. “Oke.” Aku meraih jus apel di depanku dan mulai menyeruputnya. Tadi saat di jalan memang dia sempat menanyakan aku ingin pesan apa agar dia pesankan sekalian. Selama minum, sesekali aku melirik Pak Hanif. Jujur, aku menciut melihat tatapannya. “K-enapa galak b-banget natapnya?” tanyaku agak terbata. “Saya cuma telat lima menitan.” “Dasar kekanakan!” “H-hah? Kenapa tiba-tiba bilang saya kekanakan?” “Kamu pikir lucu, menipu soal nomor dan menginjak kaki dengan brutal seperti itu?” “A-ah …” lagi-lagi aku nyengir. “Bisakah kita lupakan soal hari itu? Saya minta maaf.” Aku menunduk dalam-dalam. “Saya betul-betul minta maaf, Pak.” “Apa masalahmu sampai harus mengakui saya sebagai pacar di depan ibumu?” “Sebelum saya jawab, gimana kabar Bu Lala? Terus gimana soal tanggapan para dosen? Ini sudah berlalu beberapa minggu, tapi kok Mbak Isna diam saja? Apa dia enggak tahu?” “Dia sudah tahu.” “Terus? Kok enggak nanya saya?” Tidak ada jawaban. Yang ada hanya kedikan bahu pelan. Barangkali Mbak Isna sedang sangat sibuk, jadi dia belum sempat bertanya padaku. Rasanya mustahil sekali kalau dia abai begitu saja. Bagaimanapun juga, aku tetaplah adiknya. “Ngomong-ngomong, Pak Hanif waktu itu mau kasih saya imbalan, kan? Tiga sekaligus?” “Saya enggak pernah bilang tiga sekaligus. Kamu yang memetakannya menjadi tiga.” “Oh, iya juga. Tapi intinya ada imbalan, kan?” “Iya, itu kalau hanya menguntungkan saya. Tapi kalau saling menguntungkan, kamu juga harus kasih saya imbalan.” “Lah! Jadi impas maksudnya?” “Ya.” “Enggak bisa gitu, dong!” “Ya sudah. Kamu mau minta apa? Akan saya coba kabulkan. Tapi kamu juga harus mengabulkan permintaan saya untuk ganti rugi karena sudah ngaku-ngaku. Kalau tidak, saya akan bongkar rahasiamu di depan ibumu.” “Jangan, jangan, jangan!” aku menggeleng keras. “Curang banget, sumpah!” “Tinggal pilih.” Aku berdecak pelan. “Ya udah. Sekarang gini aja. Pak Hanif bilang dulu gimana kelanjutan yang waktu itu? Apa sandiwara masih dilanjutkan, atau Pak Hanif sudah jujur ke semua dosen?” “Mereka masih mengira kalau kita adalah pasangan. Tidak ada yang saya katakan lagi ke mereka.” “Terus? Mau diklarifikasi, atau mau lanjut?” “Lanjut.” “Alasannya?” “Bu Lala.” “Ya kenapa?” “Ya karena dia.” Aku menggeram kesal. “Ya saya tahu memang karena dia. Maksudnya, jawab yang lebih spesifik. Ngomong kan gratis, Pak, kenapa irit banget jawabnya?” “Karena dia belum menyerah juga. Dia masih seperti biasanya meski sudah tahu kalau kita ada hubungan. Katanya, selagi janur kuning belum melengkung, dia tidak akan berhenti.” “Secara langsung bilang begitu?” “Ya.” “Wah! Ngeri juga manusia kaya gitu. Kalau saya calon Pak Hanif beneran, saya labrak, sih!” “Sana labrak.” “Idih! Emang beneran? Kan enggak!” “Di mata mereka, kita sungguhan.” “Ya bukan berarti saya harus labrak Bu Lala. Enggak mau!” “Harga dirimu dipertaruhkan. Calon suamimu digoda perempuan lain.” Aku menatap Pak Hanif ngeri. “Jangan bikin seolah kita ini calon suami istri beneran, dong! Merinding, saya, dengernya.” “Jadi? Apa masalahmu? Kenapa saya sampai harus dikorbankan untuk kepentinganmu?” “Oh, iya. Itu, Pak …” Aku menggaruk alisku pelan, mendadak agak ragu. “Sejujurnya, saya mau dijodohkan sama seseorang. Enggak mau, saya.” “Kenapa tidak mau?” “Ya enggak mau aja dijodoh-jodohin. Kaya orang jaman dulu aja. Ditambah lagi, orang yang mau dijodohin sama saya punya bibit-bibit narsistik.” Aku bergidik ngeri. “Saya enggak bisa bayangin hidup sama orang seperti itu. Nobody’s perfect, emang. Tapi berkomunikasi dengan orang narsistik itu capek.” “Lalu?” “Orang tua saya akan membatalkan perjodohan itu kalau memang saya sudah ada pacar atau sejenisnya. Nah, kemarin saya tercetus ide gitu aja. Kebetulan, Pak Hanif pernah manfaatin saya. Jadi, gantian boleh, dong?” aku meringis. “Spontan aja, gitu, Pak.” Jujur, sebetulnya sejak tadi aku masih menahan takut dan ciut. Malam ini entah kenapa Pak Hanif agak menyeramkan. Bukan, bukan wajahnya, melainkan aura serta pembawannya. “Bagaimana jika nanti orang tuamu minta saya untuk segera menikahimu?” “Enggak, kayaknya. Eh, enggak tahu juga, ding. Itu pikir nanti. Minimal ngulur waktu dulu. Sambil saya cari cara. Otak saya lagi buntu karena sejak kemarin ditekan terus.” “Oke.” “H-hah? Oke aja?” “Lalu saya harus bilang apa?” “Beneran enggak papa?” mataku melebar kaget, tak percaya kalau Pak Hanif akan setuju secepat ini. “Kita bisa lanjut sandiwaranya, Pak? Eh, tapi Ibu saya agak banyak omong. Mungkin akan sering bikin enggak nyaman.” “Saya sudah bilang oke. Jadi apa masalahnya? Kamu sebenarnya butuh saya atau enggak?” “Butuh, butuh, butuh!” jawabku cepat. “Jangan galak-galak, dong. Saya kan make sure aja barusan.” “Kalau memang begini ceritanya, saya enggak mau kalau hanya dimanfaatkan. Harus ada timbal balik.” “Baiklah.” Aku mengangguk. “Apa yang harus saya lakukan agar kita impas?” “Seminggu kedepan, dua sampai tiga kali muncullah di kampus. Kita makan siang berdua.” “Ha? Untuk?” “Agar Bu Lala yakin kalau kita pasangan yang harmonis dan dia menyerah tanpa menunggu janur kuning melengkung.” “Tapi kalau misal saya butuh Pak Hanif datang ke rumah, Bapak harus mau, lho!” “Ya.” Seketika, senyumku langsung terbit. “Oke. Kalau gitu, deal?” aku mengulurkan tangan. “Kalau tangan saya diabaikan lagi, saya tabok juga!” Kali ini Pak Hanif tersenyum, dan demi apa pun senyumnya manis sekali. “Deal.” Akhirnya, Pak Hanif mengulurkan tangan dan menjabat tanganku. Kuberanikan diri menatap matanya, ternyata tidak kuat lama-lama. Aku hanya berani menatapnya tiga detik, lalu melengos dan menarik tanganku. Jujur, dalam hati aku mendadak khawatir. Kira-kira, apa keputusanku ini benar atau justru gegabah? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN