“Da, Rizda, Rizda!”
Terdengar suara Mbak Isna dari arah dalam. Suaranya tegas dan lantang. Aku sendiri kini sedang memberi makan ikan peliharaan Ayah di belakang. Mbak Isna memang sedang mampir ke rumahku, tetapi sengaja kutinggal.
Ini pun aku sudah menebak apa yang akan dia katakan setelah ini. Memangnya apa lagi? Sudah pasti soal Pak Hanif.
“Dipanggil kok diam aja, to, Da?”
“Soalnya udah tahu Mbak mau ngomong apa.”
“Kalian pasti cuma sandiwara, kan?” tanya Mbak Isna to the point. “Aku udah syok banget saat pertama kali tahu dari Bu Ami. Kamu sama Pak Hanif katanya pacaran diam-diam dan udah lama LDR. Terpaksa ngaku karena mumpung kamu main ke kampus. Ini aneh banget! Aku nahan-nahan buat enggak ngeluarin uneg-unegku di depan teman-teman dosen. Makanya ini aku mastiin dulu ke kamu.”
“Anehnya di sebelah mana, sih, Mbak? Namanya juga diam-diam, ya emang pada enggak tahu. Jangankan Mbak Isna yang beda rumah. Ayah sama Ibu aja enggak tahu.”
Mbak Isna tetap menggeleng. Dia sama sekali tidak percaya dengan kalimatku.
“Enggak, enggak. Aku yakin kalian cuma sandiwara. Gara-gara Bu Lala, kan? Jujur aja, Da. Enggak papa, kok. Aku bisa jaga rahasia. Apa Pak Hanif kasih imbalan sampai kamu mau?”
“Imbalan cinta dan kasih sayang.” Aku tersenyum lebar dan Mbak Isna langsung menatapku geli.
“Sependiam Pak Hanif dapatnya kamu? Enggak masuk akal!” Lagi-lagi Mbak Isna menggeleng. “Jujur aja, please. Enggak papa banget. Aku bakal tutup mulut. Janji, Da.”
“Jujur apa, sih, Mbak? Serius, lho, hubungan kami ini.”
“Oke. Anggap aja serius. Sekarang aku tanya. Kamu kenal di mana sama Pak Hanif? Dia S1 dan S2 di Semarang. S3 di Jogja. Terus kamu? SMA dan kuliah di Jakarta. Jarang pulang, pula. Kapan ketemu dan kapan kenalan plus gimana sampai jadian? Jangan coba bodohin aku, Da!”
Aku menghentikan aktivitasku, lalu menatap Mbak Isna sembari tersenyum semanis mungkin. “Mbak … Mbak ini hidup di zaman batukah? Apa fungsi hape dengan harga sampai puluhan juta kalau enggak bisa buat main sosmed?”
Mbak Isna seketika terdiam. Sepertinya dia melupakan yang satu ini.
“Apa Mbak paham arahnya ke mana?”
“Kalian kenal dan dekat lewat sosmed?”
“Yes! Of course!” aku menjawab mantap.
Jujur saja, tiap kali aku bohong, sebenarnya aku merasa bersalah. Namun, aku terpaksa melakukan ini. Untuk hal-hal yang tidak perlu jawaban pasti, aku akan menjawabnya dengan jawaban yang mengambang.
“O-oh … ya masuk akal, sih. Orang kaya Pak Hanif juga kayaknya sulit buat kenalan sama cewek secara langsung. Dia sependiam itu. Ngomong sepatah dua patah doang. Agak panjang kalau lagi perlu aja.”
“Enggak, ah. Sama aku enggak pendiam, tuh! Malah suka ngeledek juga.”
“Masa?”
“Iya! Aku kan spesial buat dia.”
Mbak Isna mencibir. “Tapi aku masih belum percaya kalau kalian pacaran. Apa jangan-jangan kamu udah nipu dia waktu kenalan? Kenapa dia sampai mau sama kamu? “
“Ya ampun! Penghinaan amat, Mbak. Pak Hanif ganteng, aku cantik. Pak Hanif dosen, aku calon dokter. Kenapa kesannya aku enggak pantas buat dia? Ya okelah, dia udah doktor. Tapi besok aku juga mau ambil PPDS kalau bisa.”
“Bukan gitu, Da. Masalahnya ini Pak Hanif. Pak Hanif, lho! Orang terpendiam yang pernah aku kenal. Sedangkan kamu? Kalau nyerocos udah kaya kereta api gerbong seratus.”
“Ya itu kan sama Mbak dan teman-teman lain. Sama aku, dia enggak sependiam itu. Ada, kok, tipe orang yang kalau sama orang lain diem, tapi sama orang terdekat cenderung lebih banyak ngomong. Enggak cuma ada doang, tapi banyak, malah.”
“Iya, sih. Tapi pokoknya aku masih enggak percaya. Apalagi kamu kan suka iseng dan enggak jelas.”
“Mbak ini, lho! Kenapa, sih, seenggak percaya itu? Nanti kalau aku sama Pak Hanif nikah, enggak akan percaya juga?”
“Ya udah, buruan suruh Pak Hanif nikahin kamu. Kalau sampai nikah, baru aku percaya.”
Aku refleks menelan ludah. Sepertinya, aku salah bicara.
“O-oke. Siapa takut. Tapi jangan maksa cepet!”
“Kan Pak Hanif udah matang. Udah mapan juga. Sama aku aja tuaan dia. Agak banyak, pula. Nunggu apa lagi?”
“Ya nunggu akulah! Aku lulus UKMPPD aja belum. Gimana, sih?”
“Oh, iya juga. Ya udah, oke. Anggap aja sekarang aku percaya. Tapi kalau nanti kamu udah selesaiin serentetan proses buat jadi dokter beneran dan kalian enggak nikah-nikah, fix, kalian cuma sandiwara.”
“Terserah Mbak Isna, deh.”
“Eh, iya. Terus kenapa kamu manggilnya masih Pak Hanif aja?” Mata Mbak Isna menyipit. “Mana ada orang pacaran manggilnya Pak. Mana kamu juga bukan mahasiswanya Pak Hanif.”
“Ya karena aku lagi ngomong sama Mbak Isna. Ya masa aku nyebut dia sayang-sayang mulu? Geli, yang ada!”
“Emang kamu manggilnya sayang?” Mbak Isna bergidik ngeri dan aku tertawa.
“Enggak, manggilnya Mas aja. Belum ada kata sayang sebelum sah.” Aku nyengir.
Aku berusaha untuk menjawab sesantai mungkin agar Mbak Isna percaya. Kalau aku agak gagap dan panik, jelas akan mudah ketahuan.
Oh iya, Mbak Isna ini memang lebih muda dari Pak Hanif. Seperti yang tadi dia bilang, jedanya agak banyak. Umurnya sekarang baru dua puluh tujuh kalau tidak salah. Itulah kenapa kami bisa sangat dekat. Jarak umur kami tidak terlalu jauh, jadi obrolan kami masih sangat nyambung.
“Ini beneran, ya, kalian pacaran?” lagi-lagi Mbak Isna menunjukkan keraguannya.
“Terserah Mbak Isna, deh! Percuma juga aku bilang. Orang Mbak menolak percaya. Kalau enggak percaya sama aku, tanya noh Pak Hanif.”
“Enggak berani.”
“Dih! Gimana, sih, teman kerja kok enggak berani?”
“Auranya itu, lho. Kalau diem kaya mau makan orang. Makanya aku heran kok dia mau sama kamu.”
“Aku kan pakai pelet Jaran Goyang.”
Mbak Isna bergidik. “Dasar sinting!”
Akhirnya, Mbak Isna kembali masuk rumah. Begitu dia tak tampak lagi dari pandangan, aku langsung mengusap d**a lega. “Aduh! Leganya enggak sampai keceplosan yang aneh-aneh!”
***
Misi pertama akhirnya dimulai juga. Hari ini aku mampir kampus Pak Hanif dan kami makan bersama. Konsepnya adalah, kami seolah agak sembunyi-sembunyi di publik, tetapi sebetulnya kami sedang menunjukkannya.
Untuk misi awal, kami makan di kantin dosen dan staf, di mana untuk makan di sana disarankan ada kartu anggota. Kata Pak Hanif, Masing-masing kartu hanya bisa digunakan maksimal dua orang.
“Wah! Harganya enggak masuk akal.” Aku geleng-geleng kepala, tak percaya. “Sejak kapan bakso di Semarang cuma delapan ribu?”
“Itu gunanya kartu anggota.”
“Jadi harga ini bagi yang punya kartu aja, Pak?”
“Ya.”
“Tapi orang luar boleh masuk enggak, sih? Maksudnya yang enggak ada kenalan dosen atau staf.”
“Boleh.”
“Kalau soal harga?”
“Beda.”
Aku menatap Pak Hanif gemas. “Pak! Bisakah ngomongnya agak banyakan dikit? Masa ngajak ngobrol doang harus usaha dulu? Waktu di café aja bisa agak banyakan.”
“Memangnya ada urgensi kita bahas harga menu di sini?”
Aku langsung memejamkan mata. “Sabar … lihat aja! Saya akan bikin Pak Hanif banyak ngomong mulai dari sekarang.”
Tak kusangka, Pak Hanif malah tersenyum. Aku langsung berdehem pelan karena jantungku tiba-tiba berdebar.
Sebenarnya ada apa dengan senyumnya? Kenapa selalu berhasil menyita perhatianku?
“Saya mau bakso urat aja, deh. Saya suka yang berurat-urat.”
Pak Hanif langsung menatapku, dan aku pun balik menatapnya. Kedua alisku terangkat, bingung.
“Kenapa?”
“Enggak papa. Oke. Bakso urat dua.”
“Mau ikutan saya?”
“Biar simple.”
“Bentar, Pak—”
“Bisakan kamu ubah panggilanmu? Ini di kampus.”
“O-oh, iya. Maksudnya Mas, Mas Hanif.” Aku nyengir.
Baiklah, mulai sekarang aku benar-benar harus membiasakan diri memanggilnya Mas Hanif di mana pun dan kapan pun. Kalau berubah-ubah, aku akan sering lupa. Itu pasti!
“Minumnya mau apa?”
“Saya minumnya air putih aja, dingin.”
“Ya.”
“Saya cari meja dulu, ya.”
“Ya.”
Ya lagi, ya lagi.
Benar sekali kata Mbak Isna. Pak Hanif— maksudku Mas Hanif, hanya akan bicara banyak kalau ada perlu. Seperti saat membahas tentang sandiwara, dia relatif lebih banyak bicara daripada saat ini. Mungkin dia merasa tidak ada yang penting yang harus dibahas, jadi dia sangat pasif. Dari tadi dia hanya bicara jika perlu menanggapi kalimatku.
Benar juga kata Mbak Isna. Kepribadianku dan Mas Hanif terlalu jauh. Meski Mas Rifqi—calon suami Shenna— juga agak pendiam, tetapi pendiamnya jauh lebih masuk akal. Dia masih ramah dan kadang menyapa lebih dulu. Membangun obrolan dengannya juga lebih mudah karena dia cukup responsif.
Tidak seperti Mas Hanif, dia benar-benar menyebalkan. Kalau bukan karena aku butuh, sepertinya aku akan menolak berinteraksi dengannya. Jujur, aku agak lelah kalau apa-apa harus aku dulu yang mulai.
“Saya lihat kakakmu,” ucap Mas Hanif begitu dia kembali. “Maksud saya, Bu Isna, kakak sepupumu.”
“Oh, ya? Di mana?”
“Dia duduk di sudut kanan. Barusan saat saya lewat, dia sedang mengamati meja kita.”
“Aih! Mbak Isna ini, lho!”
Aku sengaja melirik arah yang dimaksud Mas Hanif, dan ternyata benar. Memang ada Mbak Isna di sana.
“Dia bilang apa saja ke kamu?”
“Banyak, deh. Garis besarnya, dia kaget dan enggak percaya kalau kita pacaran sungguhan. Percayanya nunggu kita nikah. Saya bilang terserah!”
“Coba kamu berhenti pakai saya. Ini juga akan terbawa kalau nanti kita ngobrol dan ada yang enggak sengaja mendengar.”
“Ya Mas Hanif juga pakai saya mulu dari tadi.”
“Kamu dulu yang mulai.”
“Susah, ih!” Aku cemberut. “Manggil Mas Hanif aja masih kerasa asingnya buat saya. Ini saya ngubah panggilan juga masih proses adaptasi. Padahal kita kenal belum lama-lama amat, tapi panggilan Pak udah melekat aja rasanya.”
“Makanya dibiasakan mulai sekarang. Sesekali keceplosan pakai saya, enggak papa. Tapi sebisa mungkin pakai aku.”
“Mas Hanif juga, tapi, ya? Kalau salah satu aja, mana bisa!”
“Baiklah, Mas akan coba.”
Aku langsung bergidik ngeri mendengarnya. “Agak geli, jujur. Kalau kita pasangan beneran, ya memang bagus. Tapi kita kan … cuma begini.”
“Tapi umur kita terlalu jauh untuk aku-kamu, Rizda.”
“Iya, sih. Baiklah. Geli dikit it’s ok. Saya— eh, aku akan berusaha mengabaikannya.”
“Atau begini saja, anggap saja saya adalah saudara laki-lakimu.”
“Tapi saya punya saudara laki-laki. Dua malah.”
“Adik atau kakak?”
“Adik semua. Saya anak sulung.”
“Ya sudah. Kalau gitu, untuk mengurangi rasa aneh dan membiasakan semuanya agar enggak keceplosan di luar, anggap saja saya ini kakakmu. Saya juga akan memposisikanmu sebagai adik.”
“Agar lebih akrab juga, ya?”
“Ya, kurang lebih begitu. Enggak lucu kalau kita mengaku LDR sudah lama, tapi terdengar kaku kalau sedang ngobrol.”
Aku terdiam agak lama, lalu akhirnya mengangguk. “Baiklah. Dipikir lagi, ini ide bagus. Kakak dan adik so much better buat mengurangi rasa canggung dan mengakrabkan diri. Saya— eh, aku akan anggep Mas Hanif sebagai kakak.”
“Oke. Mas akan anggap kamu sebagai adik. Ingat ini tiap kali kamu merasa aneh.”
“Siap!”
Berselang beberapa saat, bakso pesanan Mas Hanif datang. Saat aku hendak membuka tutup kecap, aku kesusahan.
“Sini, Da, biar Mas aja.”
“Ehm!” Aku berdehem pelan. “Asli, masih geli banget. Ini kita kenal belum lama, lho!”
“Ingat, kita ini kakak adik.”
“Tapi kan—”
“Kalau enggak dibiasakan, akan aneh terus. Masa transisi memang begini.”
“Iya, deh, iya!”
Gara-gara istilah kakak-adik, aku jadi ingat Shenna dan Mas Rifqi. Mas Rifqi sempat menganggap Shenna hanya sebatas adik dan Shenna tersinggung berat. Mereka bahkan sempat perang dingin sebelum akhirnya berdamai.
Namun, memang, kasus mereka sangat jauh berbeda dengan kasusku dan Mas Hanif. Kalau istilah kakak adik menjauhkan mereka, yang ini justru untuk mendekatkan kami. Benar-benar seperti utara dan selatan!
“Coba sesekali lihat kanan, Da. Kakakmu mamantau. Tapi jangan sampai dia tahu kalau kita udah sadar keberadaanya.”
“Iya, aku udah lihat barusan. Dia juga chat, tapi enggak aku balas. Males!”
Daripada terus merasa geli sendiri, sepertinya aku harus benar-benar menyesuaikan diri. Mas Hanif saja bisa santai, kenapa aku tidak bisa? Aku tidak mau sampai terbawa perasaan hanya karena panggilan. Itu tidak lucu sama sekali.
“Mas, Mas … berhenti dulu.”
“Kenapa?”
Tanganku terulur dan mengusap alis Mas Hanif yang terdapat serpihan putih entah apa. Kupikir dia akan kaget dan mungkin refleks menepis tanganku, tetapi aku salah besar. Yang ada, dia malah tersenyum.
“Ini ada putih-putih enggak tahu apa.”
“Terima kasih.”
“Bisalah, buat bahan akting.” Aku terkekeh.
Lagi-lagi aku melirik arah kanan, Mbak Isna masih menyimak. Niat sekali, dia!
“Mbak Isna ini skeptis parah, lho, Mas! Soalnya dia paham Mas Hanif itu gimana dan aku gimana. Mas itu tambahin, dong, ngomongnya. Maksudnya, jangan cuma kalau ada perlu aja.”
“Harus ngomong apa emangnya?”
“Ya maksudnya lebih responsif, gitu? Lebih ekspresif juga kalau bisa. Misal aku nanya, jangan cuma jawab. Tapi diusahain nanya balik.”
“Oke. Akan Mas usahain.”
Aku tersenyum. “Enggak harus instan, kok, Mas. Tapi kalau bisa, usahain dikit-dikit mulai sekarang.”
“Ya.”
“Ya lagi? Mulai, deh!”
“Lalu Mas harus jawab apa?”
Aku cemberut. “Terserah! Lama-lama capek!”
Aku makan baksoku sambil cemberut. Menyebalkan sekali orang ini. Akting sudah lumayan bagus, tetapi setelan pabriknya agak aneh. Jatuhnya nanggung.
“Rizda …”
“Apa?”
Tiba-tiba saja, tangan Mas Hanif sudah terulur hendak menyuapiku. Mataku mengerjap, tetapi kemudian sebelah tangan Mas Hanif menyentuh tanganku seolah memberi kode.
“Ada Bu Lala,” ucapnya gamang dengan bibir tak bergerak. Saat aku melirik, ternyata benar, ada Bu Lala yang baru saja turun ke kantin.
Melihat itu, aku langsung memajukan wajah dan melahap bakso yang ada di depanku. Mas Hanif tersenyum, jadi aku pun ikut tersenyum.
“Lagi, Mas!”
“Oke.”
Suapan pertama mungkin aku biasa saja, tapi suapan kedua jantungku mendadak berdebar kencang. Terlebih setelah Mas Hanif mengambil tisu dan mengusap bibirku pelan.
Ini sangat adegan sinetron sekali, tetapi kenapa jantungku seberdebar ini?
***