“Lalu apa yang ada di dalam sini kalau bukan itu? Kenapa wajahmu tampak panik dan kedua tanganmu sampai disilang di depan d**a?” Aku menelan ludah, lalu kudorong Mas Hanif kuat. Setelah itu, aku langsung keluar mobil cepat-cepat. Aku memukuli keningku saat menyadari aku sudah salah mengira. Ini benar-benar memalukan. Bagaimana bisa aku hanya kepikiran hal itu saat bicara nafkah batin? Padahal nafkah batin itu banyak. Yang Mas Hanif sebut itu tepat sasaran. Tapi sebentar … bukannya jika bicara nafkah batin, biasanya orang akan ingat yang satu itu? Maksudku, yang paling dekat memang hal itu. Iya, kan? “Udah, Da. Enggak perlu malu. Mas paham kenapa hal itu yang pertama kali muncul di otakmu. Rata-rata orang memang begitu.” Aku menoleh dengan bibir cemberut. “Mas juga, dong, berarti?” “