Yasmin sedang menyiram bunga ketika mendengar suara mobil masuk ke rumahnya. Perempuan itu meletakkan selang airnya dan berlari ketika melihat Kavin turun dari mobil. Laki-laki itu membawa sebuket bunga mawar dan memberikannya pada Yasmin.
"Kenapa kamu tak bilang akan datang?" tanya Yasmin sambil mengajak Kavin masuk ke rumah.
"Apa aku harus bilang setiap kali ke rumahmu? Aku selalu datang ke sini setiap minggu," kata Kavin.
Laki-laki itu melepas sepatunya dan masuk ke rumah Yasmin dengan santai. Hari ini, laki-laki itu memakai kaos putih dan celana bahan hitam. Berbeda dengan Kavin di hari kerja yang terus memakai jas hitam formal. Laki-laki yang tiga tahun lebih tua dari Yasmin itu bekerja di firma hukum swasta terbesar di Jakarta. Seorang pengacara dengan jam kerja tinggi yang sangat sibuk hingga tak bisa bertemu setiap hari dengannya. Kavin hanya datang ke rumah Yasmin setiap akhir pekan atau kadang-kadang, laki-laki itu menyuruhnya keluar di malam hari dan bilang jika ia merindukan Yasmin.
"Apa yang kita lakukan hari ini?" Yasmin mengambil vas bunga dan menata bunga pemberian Kavin. "Apa kita ke bioskop saja? Ada film yang sangat ingin ku tonton," kata Yasmin.
Kavin duduk di sofa dan menyalakan televisi. "Kamu tahu aku tak suka menonton film," kata laki-laki itu.
Yasmin tersenyum kecil ketika seperti biasanya - Kavin menonton berita di televisi. Yasmin membersihkan mejanya dan meletakkan bunga itu di depan Kavin. Perempuan itu duduk di samping Kavin dan memperhatikan kekasihnya itu.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan hari ini?" tanya Yasmin lagi.
"Apa Yasa di rumah?" tanya Kavin.
"Tidak. Dia ada acara di kampus," jawab Yasmin.
Kavin tersenyum tipis, "Bagus. Kalau begitu aku hanya ingin di sini. Berdua denganmu," kata Kavin sambil mendekatkan wajahnya pada Yasmin.
"Tidak ada yang bisa kita lakukan di sini. Lebih baik kita keluar, Kavin. Kita sudah lama tidak berkencan. Ada kafe bagus yang ingin kutunjukkan padamu," kata Yasmin dengan lembut.
Kavin memegang tangan Yasmin. "Aku baru pulang dari Singapura tadi malam, Yasmin. Aku masih lelah, bisakah kita di sini saja? Banyak yang bisa kita lakukan." Tangan Kavin mengusap lengan terbuka Yasmin. "Asalkan kamu mengizinkan aku melakukannya," kata
Yasmin tersenyum kecil lalu mengecup bibir Kavin dengan cepat. Perempuan itu langsung menjauhkan wajahnya, tapi Kavin menarik pinggang Yasmin mendekatinya.
"Apa itu, Yasmin? Aku butuh lebih dari sebuah kecupan. Kamu tak tahu betapa aku merindukanmu hari ini?" kata Kavin sambil mendorong Yasmin berbaring di sofa.
Laki-laki itu mencium Yasmin dengan kuat. Menahan tangan Yasmin di atas kepalanya dengan mencengkeramnya kuat. Kavin perlahan naik ke atas tubuh Yasmin. Yasmin merasakan tubuhnya menegang ketika kaki Kavin menekan pangkal pahanya. Tubuh Yasmin bergerak tak nyaman dan Kavin semakin kuat menahannya. Hingga ketika Kavin melepas tangannya, Yasmin segera mendorong da-da Kavin dan langsung berdiri.
"Aku harus mandi," kata Yasmin dengan cepat.
Kavin mematikan televisi dan berdiri, "Apa kamu harus seperti ini, Yas? Aku tak peduli kamu sudah mandi atau belum. Kamu hanya ingin menghindariku, kan? Kenapa?"
"Aku tidak menghindarimu, Kav. Aku hanya ingin mandi. Kamu tak melihat aku sangat berkeringat?" ujar Yasmin.
"Halah! Aku tahu itu hanya alasan. Bilang saja kamu tidak ingin aku sentuh. Kenapa? Apa alasanmu melakukan ini? Kamu tidak mempercayaiku, Yasmin? Kita sudah berpacaran selama tujuh tahun, Yasmin! Tujuh tahun! Apa itu masuk akal jika kamu tak pernah membiarkanku menyentuhmu?" kata Kavin dengan nada tinggi.
"Sudah kubilang aku tidak akan melakukannya sebelum menikah," ucap Yasmin.
Kavin menyentuh kepalanya dan tertawa kecil. "Karena itulah! Bukankah kita akan menikah? Aku sudah pasti akan menikahimu. Aku sudah pasti akan menjadi suamimu, jadi apa bedanya melakukan itu sekarang dan nanti? Aku juga tidak akan berterima kasih jika memiliki istri yang masih perawan. Memangnya apa yang harus dibanggakan dari itu?" kata Kavin.
Yasmin terkejut dengan perkataan Yasmin. "Jadi maksudmu, tak apa aku tidur dengan laki-laki lain sebelum menikah denganmu?"
"Bukan itu yang aku maksud Yasmin. Maksudku adalah kita akan menikah. Akulah yang akan menjadi suamimu. Jadi itu tak masalah jika aku ingin menyentuhmu sekarang," jelas Kavin dengan sedikit kesal.
Mata Yasmin terbuka lebar. "Memangnya benar kita akan menikah. Apa kamu bahkan memikirkannya, Kav?" tanya Yasmin.
Kavin mendekati Yasmin, tapi perempuan itu mundur ke belakang. "Tentu saja aku ingin menikahimu. Aku sangat mencintaimu, Yasmin. Kalau tidak, mengapa aku bertahan berpacaran denganmu selama tujuh tahun meskipun kamu membentengi dirimu seperti ini?"
"Aku tak tahu, Kavin. Aku mulai ragu apakah kamu benar-benar ingin menikahimu atau tidak. Kamu bahkan belum pernah menyinggung pernikahan sebelum ini." Yasmin menatap Kavin dengan berkaca-kaca. "Kamu pikir aku tak tahu orang tuamu tidak merestui hubungan kita. Mereka membenciku dari awal," kata Yasmin.
"Aku akan berbicara dengan orang tuaku, kamu tak perlu khawatir," kata Kavin.
"Kadang, aku mulai lelah dengan hubungan kita," ujar Yasmin.
"Apa yang kamu katakan? Kamu lelah? Aku juga lelah, Yasmin. Kamu selalu seperti ini! Menjadikan aku orang jahat hanya karena aku ingin menyentuhmu! Aku ingin memahamimu, tapi aku benar-benar tak mengerti. Kenapa kamu tak mau melakukan hal yang membuatku bahagia? Apa kamu benar mencintaiku, Yasmin?" kata Kavin dengan nada tinggi lagi.
"Apa cinta harus ditunjukkan dengan cara seperti itu?" tanya Yasmin.
Kavin mengangguk, "Iya. Harus ditunjukkan dengan cara itu. Aku bukan anak berusia 17 tahun, aku lelaki dewasa berusia 32 tahun. Apa kamu paham apa yang kurasakan?"
Yasmin hanya diam dan Kavin lanjut berkata. "Aku merasa ini bukan karena kamu ingin melakukannya setelah menikah, kamu menolakku hanya karena kamu tak mempercayaiku. Kamu tidak mencintaiku, benarkan?"
Yasmin menatap Kavin dengan kecewa, lalu pergi meninggalkan laki-laki itu. Yasmin berjalan ke lantai dua menuju kamarnya. Saat membuka pintu kamarnya, sebuah tangan menahan dirinya.
"Dan kamu selalu menghindar ketika membicarakan hal ini. Kenapa aku merasa berjuang sendiri di hubungan kita, Yas?"
Yasmin memutar tubuhnya menghadap Kavin. "Kamu tak akan mengerti, Kavin. Akulah lebih mencintaimu. Dan selalu aku - selalu aku yang berjuang untuk hubungan kita. Selalu aku.." kata Yasmin lalu melepas tangan Kavin dan masuk ke kamarnya.
****
Yasmin selesai mandi dan tengah berganti pakaian ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.
"Yasmin, kamu mendengarku? Aku minta maaf. Aku salah. Aku minta maaf, jadi keluarlah, Yas. Apa kamu marah dengan perkataanku tadi?" kata Kavin dari balik pintu.
Yasmin membungkus rambutnya dengan handuk lalu membuka pintu kamarnya. Melihat Kavin dengan wajah khawatir berdiri kaku di depan pintu. Laki-laki menghembuskan napasnya dengan lega ketika melihat Yasmin. Yasmin membuka pintunya lebih lebar, membiarkan Kavin masuk ke kamarnya.
"Apa kamu marah padaku?" tanya Kavin sambil memegang tangan Yasmin.
"Kamu pikir?" tanya Yasmin sambil mengangkat alisnya.
"Aku minta maaf, aku sadar telah memaksamu. Aku telah mengatakan hal yang tidak-tidak. Aku tidak ingin akhir pekan kita rusak karena hal ini. Jadi, apa kamu memaafkanku Yasmin?" kata Kavin dengan wajah memohon.
Yasmin mengangguk dan Kavin langsung memeluknya. "Aku pikir kamu marah karena tidak keluar dari kamar," kata Kavin.
"Kamu tak lihat? Aku habis mandi," kata Yasmin sambil melepaskan pelukan Kavin.
"Kamu tak pernah mandi selama ini."
"Aku mandi selama itu jika dengan keramas," kata Yasmin.
Melihat Kavin ingin duduk di tepi ranjangnya, Yasmin segera menariknya keluar. "Aku akan turun dan memasak untukmu. Jadi lebih baik kamu menunggu di luar," kata Yasmin lalu menutup pintu kamarnya.
Dengan cepat, Yasmin mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Perempuan itu keluar setelah rambutnya kering. Melihat Kavin sedang menelepon seseorang di samping kolam renangnya. Yasmin membuka kulkas dan mengambil semua bahan-bahan untuk memasak. Saat itulah perempuan itu mendengar ketukan di pintu rumahnya.
Yasmin melepas apronnya dan berjalan ke pintu. Perempuan itu sedikit terkejut ketika melihat Kaelan. Laki-laki itu berdiri di depan rumah Yasmin dan tampak santai menyapa Yasmin. Tak seperti biasanya, Kaelan hanya memakai celana pendek hitam, kaos pendek, dan sandal japit.
"Ada apa kamu ke sini? Yasa tidak ada," kata Yasmin cepat.
"Aku tahu. Yasa sudah menghubungiku dan memintaku untuk menunggu di sini sampai dia pulang," ujar Kaelan.
"Kamu pikir aku akan percaya? Yasa tak mungkin melakukan itu."
Kaelan melihat sepatu asing di depan rumah Yasmin dan tersenyum kecil, "Aku benar-benar ada keperluan dengan Yasa. Ada tugas yang harus kami kerjakan," kata Kaelan sambil menunjuk tas ransel hitamnya.
Yasmin masih menghadang pintu dengan kedua tangannya. "Kamu bisa menunggu di kafe atau menemuinya di kampus langsung. Kenapa kamu ke sini saat tahu Yasa tak ada?"
Mata Kaelan menatap sesuatu di belakang Yasmin. Perempuan itu berbalik dan melihat Kavin berjalan mendekati mereka. Yasmin segera menurunkan tangannya.
"Siapa, Yas?" tanya Kavin yang sudah berdiri di belakang Yasmin.
"Ah, ini -"
"Teman jurusan Yasa. Aku Kaelan-" Kaelan mengangkat tangannya, menunggu Kavin menjabat tangannya. "Kamu pasti pacar Yasmin. Yasmin banyak bercerita tentangmu," kata Kaelan yang langsung mendapat pelototan dari Yasmin.
Kavin menatap bingung Kaelan. "Kamu memanggil kakak temanmu dengan namanya? Orang lain mungkin mengira kalian seumuran," kata Kavin.
Kaelan tersenyum tipis, "Aku tinggal di luar negeri selama lima tahun ini. Di sana semua orang memanggil dengan nama panggilan." Kaelan tak melepaskan tatapannya pada Yasmin. "Dan Yasmin tak keberatan dengan itu. Benar kan, Yas?" tanya Kaelan.
"Aku tak masalah. Lagian itu tidak menghapus kenyataan kalau aku lebih tua darinya delapan tahun," kata Yasmi sambil melirik Kaelan.
Kaelan terdiam ketika melihat Kavin meletakkan tangannya di pinggang Yasmin. Laki-laki itu mengalihkan pandangannya dan mencoba tersenyum lagi.
"Aku ada perlu dengan Yasa. Apa boleh aku menunggu Yasa di sini? Apa aku mengganggu kalian?" tanya Kaelan.
Kavin terlihat tidak setuju, "Ehmm, sebenarnya -"
"Yasa akan segera datang, jadi lebih baik aku menunggunya di dalam," potong Kaelan lalu melepas sandalnya dan masuk melewati Yasmin dan Kavin dengan santai.
Kavin memperhatikan Kaelan sampai laki-laki itu belok ke ruang keluarga. Kavin melihat Yasmin dengan curiga.
"Kamu dekat dengan laki-laki itu?" tanya Kavin.
Yasmin kembali menutup pintunya dan menggeleng. "Tidak. Aku tidak dekat dengannya," kata Yasmin.
"Lalu kenapa laki-laki itu seenaknya masuk ke rumahmu saat Yasa tak ada di rumah. Kalau aku tak ada di sini, apa kamu akan berduaan dengannya di rumah ini?" tanya Kavin.
"Tidak, Kavin. Kalau aku sendiri di rumah, aku pasti akan mengusirnya."
Yasmin berjalan ke ruang keluarga dan berhenti ketika melihat Kaelan sudah duduk santai di sofa. Laki-laki itu bahkan mengambil cemilan yang ada di kulkas dan membawanya untuk menonton film.
Melihat Kavin menatap tak suka pada Kaelan, Yasmin sedikit takut kedua laki-laki itu akan bertengkar. Apalagi jika Kaelan mengatakan bahwa ia menyukai Yasmin. Dua laki-laki itu harusnya tak bertemu seperti ini.
"Aku akan ke dapur dan lanjut memasak. Kamu ingin membantuku?" tanya Yasmin berharap Kavin akan mengikutinya ke dapur agar tak berduaan dengan Kaelan.
Namun, Kaelan malah menggeleng kuat. "Tidak bisa, Yasmin. Aku harus memberitahu anak itu dulu kalau ia tak bisa masuk ke rumah ini seenaknya," kata Kavin sambil duduk di samping Kaelan.
"Kamu pasti teman baru Yasa. Aku tahu sering melihat teman Yasa, tapi aku tak pernah melihatmu."
Kaelan menoleh. "Aku bukan teman baru Yasa. Kami sudah mengenal selama lebih dari tiga tahun," balas Kaelan.
"Tapi aku tak pernah melihatmu. Yasa juga tak pernah bercerita memiliki teman bernama Kaelan."
"Kalau begitu, mungkin kamu belum cukup mengenal Yasa," kata Kaelan dengan datar.
"Apa katamu? Tentu saja aku mengenal Yasa dengan baik. Aku sudah mengenalnya sejak sepuluh tahun yang lalu dan dia adik dari perempuan yang aku cintai. Tentu saja aku mengenalnya," balas Kavin.
Kaelan melirik Kavin dan tersenyum kecil, "Oke-oke. Kamu tak perlu menatapku tajam seperti itu." Kaelan menatap sekelilingnya mencari Yasmin. "Dimana Yasmin?" tanya Kaelan pada Kavin.
"Kenapa kamu menanyakan Yasmin? Bukannya kamu datang ke sini untuk Yasa?"
Kaelan tertawa lagi, kali ini dengan wajah sedikit menantang di hadapan Kavin. "Aku tak menyangka kamu tipe kekasih yang pencemburu. Aku hanya bertanya dimana Yasmin. Kenapa kamu tampak was-was seperti ini?"
Kavin tak bisa menyembunyikan kekesalannya, "Apa katamu?"
"Kamu tahu kenapa orang bisa merasakan cemburu?" Kavin melihat Yasmin berjalan menuju meja makan di belakang sofa membawa banyak makanan. "Ada dua alasan. Satu, karena kamu tidak percaya dan meragukan pasanganmu. Dua, karena kamu tahu takut kehilangan pasanganmu karena hubungan kalian tidak baik-baik saja. Apa memang itu yang terjadi?" tanya Kaelan dengan santai.
Kavin mengepalkan tangannya, "Aku memang tak menyukaimu sejak tadi. Sekarang katakan jujur, apa kamu ke sini benar-benar ingin bertemu Yasa?" tanya Kavin dengan ekspresi marah.
Kaelan tak menjawab pertanyaan Kavin dan malah berdiri. Laki-laki itu berlari menghampiri Yasmin yang kewalahan membawa mangkuk besar berisi nasi. Kaelan mengambil mangkuk itu dan membawanya ke meja makan. Membantu Yasmin sampai semua makanan siap di meja.
Pemandangan itu membuat Kavin mengepalkan tangannya. Memperhatikan interaksi dua orang itu dengan fokus luar biasa. Hingga laki-laki itu sadar, ada yang sedang berusaha merebut miliknya saat ini. Kavin mengeraskan rahangnya hingga giginya gemetar.
Kavin menghampiri dua orang itu dengan langkah panjang. Lalu mendorong Kaelan ketika laki-laki itu menarik kursi di samping Yasmin.
"Ini kursiku. Dan aku tidak bilang kamu boleh ikut makan dengan kami," kata Kavin dengan ketus.