Bab16: Cemburu

1026 Kata
Raisa berjalan lesu ke arah ruangannya, meski makeup nya sudah kembali rapi dan tidak ada jejak lagi, Raisa masih merasa lemas, belum lagi dia yang belum sarapan membuat tenaganya seperti habis terkuras padahal yang dia lakukan hanya menangis selama setengah jam di dalam toilet. Matanya dan hidungnya masih merah, meski ia samarkan lewat kaca mata baca yang sengaja ia kenakan, juga make up yang dia buat agak tebal. Raisa menggerakan tangannya untuk menyalakan laptopnya dan mulai bekerja, hingga saat Rendi datang, Raisa menyempatkan untuk berdiri dan menunduk hormat. Rendi memasuki ruangannya bahkan tanpa menoleh, dan Raisa menghela nafas lega, setidaknya rencananya membuat Rendi menjauh mungkin sudah berhasil, meski kini resikonya dia menyakiti Brian, mengingat itu kepala Raisa berdenyut nyeri, rasanya beban dihatinya sangat berat. Di siang hari Raisa memaksakan diri memasukan makanan ke perutnya, yang sudah terasa tak nyaman karena tak makan sejak pagi, dan akibat dari itu Raisa merasa perutnya tak nyaman, mual dan pusing. "Masuk angin," keluhnya "Atau mag." Raisa menyandarkan kepalanya di meja kerja setelah istirahat makan siang. Raisa merasakan matanya memberat karena pusing luar biasa, hingga seseorang mengguncang bahunya "Ya?" Raisa mengangkat wajahnya yang sudah terlihat pucat, keringat dingin juga memenuhi dahinya. "Mbak baik- baik saja?" Samar- samar Raisa seperti mendengar suara Brian. Tapi, sosok di depannya tampak tak jelas hingga Raisa mengeryit "Ya." Brian menghela nafas "Jangan tidur di jam kerja nanti dimarahi Pak Direktur!" peringatnya lalu pergi dengan wajah datar. Raisa mengerjapkan mata beberapa kali mencoba menetralkan matanya yang rasanya perih. Nada suara Brian sangat ketus, dan apa katanya tadi? Jam kerja? Raisa melihat ke arah ponsel nya lalu menghela nafas pukul 13: 45 pantas saja, sudah masuk jam kerja ternyata, padahal dia merasa tidak tidur sama sekali. Raisa mengusap matanya lalu bangkit untuk mencuci wajahnya, dia butuh menyegarkan diri. Setelah mencuci wajahnya, Raisa kembali bekerja, meski dia menjadi tidak terlalu fokus karena kondisi tubuhnya yang tak terlalu fit. Sementara itu setelah memperingatkan Raisa, Brian memasuki ruangan Rendi, sebelum benar- benar masuk, Brian melihat kembali ke arah Raisa dan melihat Raisa beranjak pergi. Sebenarnya ada rasa khawatir di hati Brian, apalagi melihat raut wajah Raisa yang nampak pucat, apa dia sedang sakit? Brian menghela nafasnya lalu membuka pintu ruangan Direktur, tentu saja setelah mengetuk lebih dulu. "Anda memanggil saya?" tanya Brian saat memasuki ruangan Rendi. "Masuk Bri, duduklah." Brian menurut dan duduk di depan Rendi. "Ada yang ingin aku tanyakan," kata Rendi. Pria itu menyingkirkan berkas yang baru dia lihat dan meletakkannya dengan rapi di depan Brian. Brian mengangkat alisnya menunggu ucapan Rendi selanjutnya. "Sebenarnya apa hubungan kamu dengan Raisa?" Brian semakin menaikan alisnya, tapi kini pria itu juga melipat tangannya di d**a "Membicarakan hal pribadi di jam kantor?" Rendi menghela nafasnya "Ayolah Bri, Lo tahu sendiri kenapa gue ada disini kan sekarang?" Rendi menghilangkan bahasa formalnya. Brian mengedikkan bahunya acuh. "Tibang jawab doang, apa susahnya sih Bri," kata Rendi lagi. "Memang kenapa kalau iya?" Brian menyandarkan dirinya di sandaran kursi sehingga lebih nyaman. Rendi mendesah kecewa "Lo tahu siapa Raisa?" "Seorang mantan?" "Bukan hanya sekedar mantan, dia sangat berarti untuk gue." Brian menyeringai, "Tak peduli apa yang terjadi dulu, Raisa adalah milik gue sekarang, kekasih gue." Brian menekankan kata- katanya, matanya bahkan bicara sangat datar seolah di depannya bukan siapa- siapa yang harus dia takuti. "Bri-" "Lagi pula, jika dia berarti, kenapa lo ninggalin dia?" Brian menjeda ucapannya. "Jelas terlihat bukan, bahkan dari lo yang memaksa Raisa untuk kembali?" Brian benar karena dia menyakiti dan meninggalkan Raisa, makanya Raisa tak ingin kembali, tapi bukan berarti dia tak memiliki kesempatan kan? Tentu saja Rendi berharap lebih. Brian bangkit dari duduknya, tapi Rendi belum menyerah, jadi pria itu meraih tangan Brian untuk mencegahnya "Tunggu Bri." Brian memutar matanya malas "Apa? jangan harap gue ngelepas Raisa demi lo, ya!" "Raisa tahu tentang lo?" Brian menatap dengan dingin tangannya yang di pegang Rendi. Rendi terkekeh "Jadi Raisa gak tahu?" Rendi melepas tangannya. "Termasuk siapa lo?" Brian masih diam, membuat Rendi semakin yakin kalau Raisa memang tak tahu. "Menurut lo, gimana kalau Raisa tahu?" senyum Rendi melebar, "Kalau gitu gue tinggal tunggu sampai Raisa tahu dan lo tahu Raisa paling gak suka sama penipu." Bria masih menatap Rendi dengan datar lalu melangkah mendekat dan mencondongkan tubuhnya ke arah Rendi yang hanya terhalang meja kerja Rendi "Bukan urusan lo, dan lo pikir gue bakal ngelepas dia dengan mudah?" Brian menarik diri dan melanjutkan niatnya keluar dari ruangan Rendi. "Takdir lo udah di tentuin Bri, dan lo gak akan bisa ngelawan!" Brian mendengus acuh dan pergi. Rendi mengepalkan tangannya kuat, sial, dia paling benci sifat angkuh Brian, padahal pria itu selalu bersikap ramahnya di depan orang lain. "Palsu," desisnya kesal. Rendi tak akan menyerah untuk mendapatkan Raisa kembali, tak peduli siapa lawannya, bahkan Brian sekalipun. Saat keluar ruangan Rendi, Brian kembali melihat Raisa, wajah Raisa masih pucat, dan sepertinya dia tak baik- baik saja. Di saat yang sama seseorang menepuk punggungnya "Mas Brian?" Brian menoleh "Eh, Ya, Mir?" tanyanya pada seorang berseragam OB sepertinya. "Ini, Bu Tika minta aku foto copy ini, tapi aku masih bingung caranya." Brian menatap beberapa berkas di tangan Mira, OG baru di sana. "Ayo, aku ajarin." Mira mengangguk tersenyum lalu mengikuti Brian ke arah mesin foto copy di ujung ruangan. Brian mengajari, sedangkan Mira terus mengangguk masih dengan senyumnya, dan sesekali memperhatikan wajah Brian. Sepanjang kegiatan mereka ada sepasang mata yang tak lepas dari keduanya sejak tadi. Lagi, Raisa merasakan hatinya yang memanas. Benar dia adalah OG yang dia lihat bersama Brian di rooftop tadi pagi. Raisa mengigit bibirnya kesal, kenapa semakin di sangkal dia semakin merasa cemburu melihat Brian dengan wanita lain. Meski sikap Brian biasa saja, tapi melihat keramahan dan ketampanan pria itu membuat siapa saja meleleh, lihatlah tatapan wanita itu begitu penuh kagum pada Brian yang tengah mengajarinya. .... Di sore hari Brian pulang, namun dia sudah tak menemukan Raisa di depan halte, lalu saat tiba di rumah, Brian menoleh ke rumah Raisa yang nampak sepi. Apa Raisa belum pulang? Brian ingin mengetuk pintu, untuk memastikan kondisi Raisa, apalagi mengingat wajah pucatnya tadi, apa dia baik- baik saja? Tapi, akhirnya dia urungkan, sebab mengingat kejadian kemarin, Brian merasa kesal dengan sikap Raisa yang memperlakukannya seenaknya dan mempermainkan perasaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN