Bab 15: Rapuh

1081 Kata
"Pagi, pacar?" Raisa terkejut melihat Brian pagi- pagi ada di depan pintu kontrakannya. "Astaga, ngapain sih?" Raisa mengelus dadanya akibat terkejut, bukan apa- apa wajah tampan Brian benar- benar hanya beberapa senti saja dari wajahnya. "Mau olah raga kan?" Brian tahu dari pakaian yang di kenakan Raisa, tentu saja setelah mendengar sejak subuh Raisa beberesih dengan beberapa bunyi dari dalam kontrakannya, dan sejak tadi Brian terus memperhatikannya. Raisa mengangguk. "Ayo bareng," kata Brian sambil mengedikkan kepalanya. Pria itu juga mengenakan kaos dan celana training selutut dan handuk kecil yang melingkar di pundaknya, siap untuk berolah raga. Raisa menghela nafasnya lalu mulai berjalan mengikuti Brian. Mula- mula mereka berjalan pelan sambil menggerakkan tangan, seraya melakukan pemanasan, lalu mulai berlari kecil menyusuri jalanan. Brian menghentikan langkanya lalu menyetarakan dirinya dengan Raisa dan berlari kecil bersama, hingga mereka tiba di sebuah taman. Berlari beberapa putaran hingga merasakan lelah barulah Raisa berhenti. Mendudukan dirinya di rumput sambil meluruskan kakinya, Raisa melihat sekitarnya hingga tatapannya jatuh pada Brian yang berjalan ke arahnya dengan dua botol air minum di tangannya. Pantas sejak tadi pria itu tak ada, rupanya membeli air. "Minum dulu." Raisa menatap tangan Brian yang terulur memberikan satu botol yang baru saja dia buka, Raisa meraih botol tersebut lalu meminumnya. "Keringetan." Raisa hampir memuntahkan air minumnya, saat Brian mengusap keringat di dahinya. Brian tersenyum lalu menjauhkan tangannya dan duduk di sebelah Raisa. Raisa menghela nafasnya lelah, apa yang dia lakukan kemarin membuat Brian kembali mendekat dan Raisa kembali takut akan hal- hal buruk yang akan terjadi nanti jika dia terus bersama Brian, "Brian," panggilnya. "Hm?" Raisa menoleh dan tertegun, beberapa saat terpaku Raisa mengerjapkan matanya saat melihat yang tak seharusnya, Brian nampak tampan dan seksii, pria itu seolah tengah berpose untuk sebuah majalah dengan gaya, yang Raisa yakin tak dia buat- buat. Brian duduk berselonjor di sebelahnya dengan kedua lengannya di belakang untuk menyangga tubuhnya, lalu mendongak sambil memejamkan mata. Hembusan angin kecil yang turut ia rasakan juga menerbangkan beberapa helai anak rambut Brian yang berantakan, juga keringat di dahinya menambah kesan tampan yang tak bisa di hindari. Raisa memalingkan wajahnya dengan segera "Aku minta maaf soal kemarin, aku gak bermaksud untuk mempermainkan kamu," ucapnya dengan nada semakin mengecil di akhir kalimat, tentu saja karena dia merasa bersalah. Dan sepertinya Raisa mulai terbiasa bicara non formal pada Brian di luar pekerjaan mereka. Brian membuka matanya lalu menoleh ke arah Raisa "Kenapa? Lagi pula dengan begitu sekarang kamu jadi kekasihku kan," kata Brian ringan, pria itu bahkan bicara sambil tersenyum. "Brian." Raisa kembali mengeluh. "Kamu tahu sendiri apa yang terjadi kemarin hanya untuk membuat Pak Rendi menjauhi aku." "Dan aku sudah bilang, aku tidak suka di permainkan bahkan di manfaatkan." "Aku sudah minta maaf, apa yang harus aku lakukan supaya kamu melupakannya, anggap itu lelucon-" Brian menyeringai bengis "Mudah sekali kamu bicara begitu." Raisa menelan ludahnya saat Brian menatapnya amat tajam. "Kamu pikir karena aku OB kamu bisa mempermainkan aku seenaknya? Lelucon? Kamu pikir ini lucu? Perasaan tidak untuk di permainkan, Raisa, apa kamu puas setelah melakukan itu," ucapnya sengit, Brian bangkit dan meninggalkan Raisa begitu saja. "Brian, bukan begitu," kata Raisa. Namun, Brian melanjutkan langkahnya acuh. Raisa benar- benar merasa bersalah sekarang. Dia sungguh tidak bermaksud seperti itu. *** Setelah kejadian tadi pagi, Raisa berusaha menemui Brian untuk meminta maaf kembali, namun sejak siang setelah olah raga paginya Raisa tak menemukan Brian. Raisa bahkan sengaja mengetuk pintu rumah kontrakan Brian, tapi Brian sepertinya tidak di rumah. Esoknya Raisa bangun lebih pagi lalu bersiap dengan segera, berharap bisa bertemu Brian sebelum mereka berangkat bekerja. Namun saat Raisa keluar rumah ternyata pintu rumah Brian sudah tertutup rapat, apa Brian sudah pergi? Tidak! bahkan sejak tadi Raisa tak mendengar suara motor Brian, atau Brian tak pulang sejak kemarin. Raisa memasuki lobi saat para karyawan belum terlalu banyak yang datang, setelah melakukan absen Raisa pergi ke belakang gedung tempat ruangan khusus loker para OB berada. Raisa masih berusaha menemukan Brian untuk meminta maaf, semalam dia bahkan tak bisa tidur karena memikirkan wajah Brian yang penuh kekecewaan. Dan itu sungguh mengganggu hatinya. Raisa mencari mulai dari pantry, gudang, hingga ruang loker tapi Brian tak ada disana. Mungkinkah Brian tidak masuk kerja? Lalu kemana pria itu? Dia tidak di rumah, Juga tidak di kantor. Raisa memutar langkahnya, ke arah lift lalu menekan tombol paling atas yaitu atap, masih ada waktu beberapa saat lagi sebelum jam kerja mulai. Sia- sia saja Raisa datang pagi, dia bahkan tak sempat sarapan tadi, hanya karena berharap bisa bertemu Brian. Pintu lift terbuka Raisa pun melangkah keluar lalu berjalan beberapa meter hingga menemukan sebuah pintu, pintu yang mengarah ke rooftop. Ceklek.. Pintu terbuka, bukannya melangkahkan kakinya Raisa justru terpaku mana kala melihat seseorang di depan sana, Brian? Tidak! bukan hanya Brian saja, di sebelah Brian ada seorang lagi berseragam OB, yang membedakan mereka hanya jenis kelamin keduanya. Brian nampak menepuk pundak wanita di sebelahnya, lalu wanita itu mengangguk dan tersenyum. Raisa juga bisa melihat Brian mengatakan sebuah lelucon, lalu wanita di sebelahnya tertawa. Beberapa saat Raisa terdiam di tempatnya lalu merasakan sesuatu yang menggangu hatinya, ada apa dengan dirinya? Kenapa dia tak suka melihat Brian tertawa dengan wanita lain? Kenapa juga Raisa merasa kecewa saat ada wanita lain yang di bawa Brian ke sana? Kenapa Raisa berharap hanya dia dan Brian saja yang tahu tentang tempat sunyi itu, tempat yang bahkan enggan di datangi orang lain. Raisa menelan ludahnya kasar, dia berusaha berbalik untuk pergi, tapi kakinya justru tak sengaja menendang sesuatu hingga menimbulkan bunyi, dan membuat dua sejoli di depan sana menoleh dan menatapnya, Raisa terdiam sesaat, hingga menyadari tatapan Brian yang menatapnya dengan tatapan yang masih sama seperti kemarin sungguh- sungguh mengganggunya. "Maaf." Raisa tersenyum getir lalu pergi dari sana secepat yang dia bisa. Raisa tahu tak seharusnya dia merasakan perasaan ini, kenapa dia harus merasakannya di saat dia menghindari sebuah hubungan. Tidak! Dia tidak jatuh cinta! Tapi seperti apapun dia mengelak, perasaan itu memang perlahan telah tumbuh, sejak dia mengenal pria bernama, Brian. Dan sekarang yang Raisa rasakan justru perasan cemburu yang membakar saat melihat Brian bersama wanita lain. Tertawa dan bercanda dengan wanita lain. Raisa mengunci diri di toilet dan mendudukan dirinya disana, tanpa berniat buang hajat sama sekali. Meremas hatinya yang berdenyut, Raisa menangis terisak. Tidak! Raisa jangan pernah jatuh cinta, sebab jika itu terjadi mungkin kamu tidak akan bisa bangkit lagi saat merasakan luka. Karena sesungguhnya hatimu sudah semakin rapuh setelah berkali- kali tersakiti. Lalu apakah kamu siap untuk terluka lagi? Raisa menggeleng ... Dan sekali lagi Raisa menyangkal hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN