Bab18: Cinta Pertama

1394 Kata
"Brian, ada satu hal lagi yang harus kamu tahu, meski aku harap kamu tidak akan mundur, tapi jika itu terjadi, akan lebih baik kalau kamu mundur sekarang, agar rasa sakit hatiku tidak terlalu dalam nanti." Brian mengerutkan keningnya, apalagi ini? Pikirnya. Tapi pria itu diam dan menunggu ucapan Raisa selanjutnya. Raisa menghela nafasnya, mencari kekuatan untuk mengatakan kebenaran dirinya, "Aku ..." baru saja Raisa akan bicara dokter masuk untuk memeriksa keadaan Raisa. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya saat memasuki ruangan. "Oh, dokter. Sudah lebih baik dokter." "Aku datang untuk memeriksa, apa aku mengganggu?" "Tidak, dokter, silahkan." Brian menyingkir dan membiarkan dokter memeriksa keadaan Raisa Dokter mulai memeriksa, di belakangnya ada suster yang mencatat apa saja yang dokter katakan, "Bagus," katanya. "Kondisi kamu sudah stabil, kamu bisa pulang setelah demam kamu benar- benar reda," kata si dokter. "Aku akan buat resep obat, ada satu obat yang harus kamu minum sebelum makan, lalu pastikan kamu tidak telat makan lagi." dokter melihat ke arah Brian seolah mengatakan pria itu yang harus memastikannya. Raisa dan Brian mengangguk, "Terimakasih dokter." "Pastikan anda melunasi tagihan dahulu, Pak, dan ini resep obatnya," ucap suster pada Brian, sebelum dia benar- benar meninggalkan mereka. Brian mengangguk dan menerima resep obat untuk dia tebus dari sang suster tak peduli tatapannya pada Brian seolah meremehkan. "Oh, ya?" Raisa memiringkan wajahnya menatap Brian. "Bagaimana cara membayar tagihannya, Ini ruangan kelas satu kan?" tentu saja Raisa melihat kamar rawatnya nyaman dan tak ada pasien lain di sana. Brian melipat bibirnya, dia tidak berpikir tadi saat membawa Raisa, yang ada dia pikirkan adalah bagaimana Raisa bisa segera mendapat perawatan dengan maksimal, jadi dia meminta ruangan kelas satu yang pasti biayanya juga lumayan besar "Tidak masalah yang penting kamu segera sembuh." akhirnya hanya itu yang terucap. Raisa akhirnya kesal, gajinya kemarin sudah dia gunakan untuk belanja juga ke salon, dan sekarang uangnya tinggal sedikit, tapi mana mungkin dia juga merepotkan Brian, berapa biaya ruangan ini satu malam, dan berapa gaji Brian sebagai OB? Haruskah dia menghubungi orang tuanya? Raisa menggeleng, menghubungi mereka dalam keadaan seperti ini, pasti akan membuat mereka khawatir. Melihat Raisa terdiam seperti kebingungan akhirnya Brian menghela nafasnya dan berkata, "Aku punya tabungan, kamu tenang saja." "Tetap aja gak bisa gitu dong." masa dia menggunakan uang Brian "Aku pindah ke kelas dua saja, bisa juga pake bpjs kesehatan disana." Brian mengerutkan keningnya, dia ingin perawatan Raisa maksimal, meski perusahaan memberikan kelas dua untuk bpjs mereka, Brian belum cukup tenang. "Gak, lagian kenapa kalau memakai uang aku, aku menggunakannya untuk pacarku." Raisa tertegun, begitu pun Brian. Pria itu berdehem "Iya, kan?" "Hm." Raisa hanya bergumam dan Brian tersenyum, dia tahu Raisa malu, jadi dia tak akan membicarakannya lagi. "Sekarang istirahat, biar cepet sembuh." Brian merebahkan tubuh Raisa lalu menyelimutinya. "Kamu gak kerja?" Raisa baru teringat dengan pekerjaan, beruntung dia sudah menghubungi Sella tadi pagi dan berkata untuk membuatkan izin sakit. Tapi, Brian? "Aku izin, tadi sebenarnya sempat masuk, tapi waktu denger kamu sakit aku langsung pulang. Untung aja aku gak telat, pas aku masuk kamu udah pingsan." Raisa mengangguk "Makasih," ucapnya dengan senyuman, membuat Brian juga ikut tersenyum. Namun dahi Raisa mengeryit saat mengingat sesuatu "Oh iya, gimana kamu bisa masuk, seingatku aku kunci pintu." "Aku dobrak." "Hah?" "Ya, abis aku panik waktu dengar suara pecah dari dalam." "Terus gimana sama pintunya?" "Ya, rusak." "Ya ampun Brian, kenapa gak pergi ke ibu kontrakan trus minta kunci cadangan," keluh Raisa "Kalau udah rusak siapa yang perbaiki," keluhnya. "Ya, mana sempet mikir gitu, terus di belakang ada Bu Sri yang bilang, 'Dobrak aja Mas Brian'." "Lagian, kenapa harus mikirin pintu sih yang penting tuh kamu selamat!" Raisa terdiam "Ya, i-ya sih." "Ya udah, istirahat di suruh tidur kok malah ngomong terus." Brian menutupi mata Raisa dengan tangan besarnya "Merem!" titahnya. Raisa mencebik, tapi tak urung juga dia menurut. "Aku pergi tebus obat, abis kamu tidur." Raisa mengangguk masih dengan mata memejam, hingga dia merasakan kecupan di dahinya membuatnya tertegun. .... Brian baru saja membeli obat yang diresepkan dokter, lalu mengurus administrasi ruang inap Raisa di meja resepsionis. Suter yang berjaga saling melirik dan berbisik "Ganteng sih, tapi cuma OB," kata salah satunya. Brian melangkah dengan acuh setelah mendapat kembali kartunya dan membawa obat untuk Raisa, yang sudah lebih dulu dia beli. Melewati begitu saja suster yang sejak tadi bergosip untuk segera kembali ke kamar inap Raisa. "Ya, ampun badannya kayak model gak sih?!" seru si suster yang lain. "Iya, tinggi, tegap lagi." "Mungkin dia model abis pemotretan, terus perannya jadi OB." satu lagi wanita berpakaian putih menghampiri, bedanya dia tak mengenakan topi putih khas suster, dia baru saja melayani Brian mengurus segala administrasi yang di lakukan Brian. Kedua suster yang saling berbisik itu menoleh. "Oh, ya?" "Mana ada model seragam OB," kata keduanya berberengan. Si wanita mengangguk "Dia bayar pake kartu hitam," bisiknya, dan sontak saja kedua suster itu memekik terkejut. ***** Brian sudah kembali dan melihat Raisa masih terlelap, memutuskan untuk menunggu, Brian duduk di sebuah sofa di ujung ruangan lalu membuka ponselnya. Beberapa lama Brian berkutat dengan benda itu hingga terdengar suara serak dari Raisa. "Sudah bangun, gimana perasaan kamu?" tanya Brian menghampiri, dan memeriksa dahi Raisa. "Lumayan, udah gak terlalu lesu," jawab Raisa. Brian mengangguk "Minum obat dulu, yang ini ..." Brian memberikan satu obat "Abis itu kamu makan." saat apoteker menjelaskan Brian mendengarkan, seperti kata dokter yang mengatakan ada obat yang harus di minum sebelum makan. Raisa menurut dan meminum obatnya, setelah menunggu beberapa saat, Brian membuka makanan yang di sediakan rumah sakit. "Sekarang makan." Brian menyendok makanan lalu mengarahkannya ke mulut Raisa, membuat Raisa tertegun dengan wajah merah. "A- ku bisa sendiri." Raisa akan mengambil sendok tersebut dari tangan Brian, namun pria itu mencegahnya, dan menatap dengan tajam. "Ayo dong Sa." Raisa mencebik lalu membuka mulutnya dan mulai makan. "Nah, gitu makan yang banyak." "Kamu lihat hape aku?" tanya Raisa di sela kunyahannya, hari ini dia belum menghubungi orang tuanya, mereka pasti khawatir, meski mereka berjauhan baik Raisa atau orang tuanya selalu menyempatkan untuk memberi kabar setiap hari. "Aku langsung bawa kamu tadi, jadi gak sempet inget hape kamu," ucap Brian jujur. Dia yang panik tak ingat apapun dan hanya fokus membawa Raisa ke rumah sakit. Raisa mengangguk "Ada yang penting? Mau pake hape ku?" tanya Brian lagi. Raisa menggeleng "Nggak, nanti aja kalau udah pulang." "Ya udah, sekarang abisin makannya!" Brian masih menyuapi Raisa hingga makanan benar- benar berpindah seluruhnya ke perut Raisa. "Kamu sendiri udah makan?" tanya Raisa saat Brian hanya menyuapinya. "Aku gak punya riwayat mag, jadi tenang aja." Raisa mengerutkan keningnya, "Tetep aja kan, kalau di biasakan bisa kena juga." "Iya, aku udah beli, nanti aku makan." Raisa melihat satu bungkus makanan di atas nakas, lalu mengambilnya. Membuka kotaknya dan melihat isinya, lalu mulai menggunakan sendok yang terbuat dari plastik yang ada di dalamnya "Sekarang giliran kamu." Brian tersenyum lalu tanpa sungkan menerima suapan Raisa. **** Raisa kembali bekerja setelah cuti selama dua hari untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Sebenarnya setelah pulang dari rumah sakit kemarin Raisa sudah lebih baik, tapi, Brian memintanya untuk beristirahat lebih agar benar- benar sehat. Dan hari ini Raisa berangkat bersama Brian dengan motor bebeknya. "Nih," Raisa memberikan kotak makan untuk Brian. "Bekal, biar gak beli." Brian tersenyum lalu memasukannya ke dalam tasnya "Makasih. duh enaknya punya pacar pinter masak." Raisa tersenyum bersemu. "Berangkat sekarang?" Brian menyerahkan satu helm kepada Raisa untuk di kenakan. Begitu Raisa sudah siap dan duduk nyaman di belakang, Brian mulai melajukan motornya. ***** Rendi baru saja tiba dan menghentikan mobilnya saat melihat Brian dan Raisa baru saja datang. Ini belum jam kerjanya, karena masih pukul 7 pagi, tapi, dia sengaja datang lebih awal sebab ingin memastikan keadaan Raisa yang katanya sakit. Sejak tahu Raisa sakit, Rendi merasakan perasaanya tak enak. Tapi, karena sibuk dia tak bisa menjenguk Raisa. Terlebih dia tak tahu alamat rumah Raisa disini. Rendi sudah berusaha menghubungi, tapi Raisa tak pernah menerima panggilannya. Tangan Rendi terkepal erat manakala melihat di depan sana Brian melepas helm di kepala Raisa lalu melakukan elusan di kepalanya, bermaksud merapikan rambutnya. Awalnya Rendi kira Raisa hanya berpura- pura berpacaran dengan Brian agar dia menjauh, tapi, melihat ini hati Rendi memanas bukan main. Sial, Raisa adalah cinta pertamanya, begitu pun dia adalah cinta pertama Raisa, Rendi harap dia bisa kembali bersama Raisa, terlebih dia juga adalah pria pertama Raisa, pria yang pertama menerima kegadisannya. Mengingat itu bibir Rendi menyeringai. "Aku akan mendapatkan kamu lagi, bagaimana pun caranya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN