Bab19: Brian Wilson

1304 Kata
Raisa merapikan berkas yang harus dia serahkan pada Rendi sebelum memasuki ruangan Direkturnya itu. Setelah mengetuk pintu Raisa pun masuk. "Permisi Pak, ini berkas yang harus anda tanda tangani," ucapnya begitu memasuki ruangan. Rendi mengangguk "Bawa kemari." Rendi melepas dasinya dan menampilkan d**a bidangnya dari dua kancing kemeja yang terbuka. Bagi setiap wanita pastilah akan menelan ludahnya karena merasa tergoda saat melihat pemandangan tersebut, tapi tidak bagi Raisa, perempuan itu justru merasa enggan untuk mendekat, dan tiba- tiba merasa takut. Raisa bahkan menundukkan wajahnya agar rasa takutnya tak kentara. Lain dengan Raisa, Rendi justru menyeringai. Dia tahu tak akan ada yang mampu menolak pesonanya, tidak akan ada yang tak tergoda melihat keseksiian tubuhnya, bahkan para wanita yang biasanya mendekat selalu mengaguminya. "Sa," panggilnya. "Ya, Pak?" "Kenapa cuma menunduk." Rendi mulai menanda tangani berkas yang di bawa Raisa. Raisa tak menjawab, keringat dingin bahkan sudah mulai muncul di dahinya. Perasaan takut mulai menghantuinya, apalagi tatapan m***m dari Rendi nampak jelas terlihat. Apa yang Rendi inginkan dengan berpenampilan seperti itu? Apa Rendi kira dia akan tergoda? Rendi meletakan berkas terakhir sambil beranjak mendekati Raisa "Sa," panggilnya. Raisa berjalan mundur saat Rendi mendekat "Kamu tahu, aku rindu kamu." Raisa mengerjapkan matanya. "Apa mau kamu?" tanya Raisa sedikit bergetar. "Aku cuma mau kita kembali, Sa. Aku tahu kamu juga menginginkan aku lagi kan? Aku menyesal Sa, aku bahkan selalu mengingat saat pertama kali kita bercinta." "Kamu gila Rendi, menjauh dariku." tubuh Raisa mulai gemetar hebat. "Ayo dong, Sa." Rendi mengusap tangan Raisa dan menjalar ke atas, seolah memberi godaan. Namun yang Rendi lakukan membuat rasa takut Raisa semakin muncul. "Aku tahu kamu menginginkannya juga." Rendi memiringkan wajahnya dan hendak mencium Raisa tepat di bibirnya, Rendi yakin dengan kemampuannya Raisa akan segera takluk dalam pesonanya. Raisa merasakan tubuhnya melemah dengan jantung yang berdetak cepat. Raisa berjongkok dan berteriak "Pergi, jangan menyentuhku!" teriaknya. Rendi tertegun "Tidak, aku mohon hentikan!" Raisa menutup telinganya berikut matanya yang memejam, seluruh tubuhnya gemetar. Belum juga Rendi mencerna apa yang terjadi pintu ruangannya terbuka menampakan Brian "Ahk!" jeritan dari Raisa membuat Brian berlari dan meraih Raisa. "Sa, Raisa tenang!" Brian mencoba meraih Raisa, namun Raisa mendorongnya menjauh. "Ku bilang jangan mendekat, Akh!" Raisa beringsut menjauh. Brian terus berusaha menenangkan, tak peduli Raisa terus berontak, Brian memeluk Raisa dengan erat "Tidak, jangan lakukan lagi!" Raisa terus berteriak dan menjerit, membuat semua karyawan mendekat karena penasaran dengan apa yang terjadi. "Tidak ada yang terjadi, Sa. Tenang!" "Sakit, sakit, sakit." Tangisan Raisa semakin lirih hingga akhirnya perempuan itu jatuh pingsan. Brian merasakan tubuh Raisa terkulai pun segera membawa Raisa, dan menggendongnya ala bridal "Ini belum selesai, Randi!" desisnya tajam saat melewati Rendi. Sedangkan Rendi justru masih tak bisa mencerna apa yang terjadi pada Raisa barusan, padahal dia belum melakukan apapun padanya. Brian yang panik segera membawa Raisa ke klinik perusahaan, untuk memeriksa keadaan Raisa. "Apa dia baik- baik saja?" "Hanya pingsan." dokter memberikan kayu putih di beberapa bagian tubuh Raisa lalu menempelkannya di depan hidung Raisa. "Apa yang terjadi padanya?" tanya Dokter. "Aku tak tahu Dokter, dia berteriak histeris lalu pingsan." Dokter mengangguk mendengar penjelasan Brian. "Mungkin dia memiliki ketakutan berlebih, atau mungkin sebuah trauma, hingga dia histeris. Apa dia pernah mengalami kejadian buruk?" Mungkin, Brian tak tahu. Tapi saat di lift beberapa kali Raisa juga melakukan hal yang sama, yang terpenting Raisa akan merasa takut saat hanya berdua saja dengan seorang pria. Brian menatap Raisa yang masih memejam "Apa yang sudah terjadi sama kamu, Sa?" gumamnya pada diri sendiri. Beberapa menit kemudian Raisa terbangun dan melihat Brian ada di dekatnya "Sa, kamu bangun, apa yang kamu rasakan?" Raisa menggeleng "Aku baik- baik aja," gumamnya. "Apa yang terjadi? Apa yang Pak Rendi lakukan?" Raisa menelan ludahnya lalu menggeleng. Brian menggenggam tangan Raisa "Bilang sama aku Sa! Kamu gak perlu takut." "Aku- aku gak tahu, mungkin ini cuma perasaanku, karena terlalu takut. Tapi- tapi dia," tubuh Raisa kembali bergetar. Brian mengeratkan genggamannya "Dia seperti akan menciumku, juga- juga ..." Brian meraih Raisa dan memeluknya, "Aku gak tahu, tapi saat bersama kamu aku gak merasa setakut itu ... Tatapannya seperti ingin melecehkan aku-" Raisa terus bicara meski tersendat- sendat, air mata bahkan mulai keluar dari kedua sudut matanya. Di balik punggung Raisa, Brian mengeraskan rahangnya. Sialan Lo Rendi! .... Dengan tergesa Brian memasuki rumah besar milik Pak Willi. "Dimana Rendi?" tanyanya pada salah satu pelayan yang sedang bekerja. "Oh, di ruang kerja Pak Willi, Mas." Brian melanjutkan langkahnya, tampak sekali wajahnya merah karena menahan marah. "Loh, Bri ... Kamu pulang?" Adelia tersenyum, namun senyumnya surut saat Brian melewatinya begitu saja. Brak! Pintu ruang kerja Willi terbuka dan menimbulkan suara nyaring, sebab Brian mendorongnya dengan keras. "Loh, Bri?" baru saja Willi akan bertanya Brian lebih dulu menarik Rendi dan melayangkan pukulan di rahang pria itu. Bugh ... Bugh ... "Brian!" jeritan Adelia menggema, membuat suasana semakin mencekam. "Sebentar, Bria-" Bugh, Brian tak membiarkan Rendi bicara dan terus menghajarnya. "Papa, pisah dong, kok diem aja!" seru Adelia. Pak Willi menghampiri dan memisahkan keduanya, lebih tepatnya mencegah Brian melayangkan kembali pukulannya. "b******k Lo Ren!" teriaknya. "Sialan, salah Gue apa, b******k!" maki Rendi. "Lo, masih gak nyadar salah Lo apa?!" "Ya, jelas Lo dateng langsung mukul Gue!" Brian kembali tersulut amarah dan hendak kembali menerjang Rendi, apa dia lupa apa yang dia lakukan pada Raisa tadi. "Ada apa ini Brian? Datang- datang kamu langsung hajar Rendi!" "Papa, tanya dia, apa yang tadi dia lakuin sama sekertarisnya!" Willi menatap Rendi "Dia hampir melecehkan Raisa Pa," ucap Brian lagi. Wajah Rendi menjadi pucat pasi "Seperti itu, Direktur sementara yang Papa tunjuk!" Brian benar- benar marah. Willi menghela nafasnya "Benar itu Rendi?" "Aku gak bermaksud begitu Om," jelas Rendi, tentu saja dia tak bermaksud begitu, dan tak menyangka jika Raisa akan histeris seperti tadi. "Jangan main- main kamu Rendi! Kamu tahu sendiri maksud Om kirim kamu sebagai pengganti." Rendi menghela nafasnya "Ya, Om," katanya pasrah. "Sekarang duduk dan kalian jelaskan!" Brian masih menatap Rendi dengan tajam lalu mendudukan dirinya berhadapan dengan Rendi. "Raisa mantan pacarku Om, dan aku gak bermaksud untuk melecehkannya, aku hanya berpikir memerlukan usaha lebih agar dia mau kembali." "Dengan cara melecehkannya," dengus Brian. "Gue bilang bukan gitu Bri, Gue cuma berusaha menggunakan pesona Gue. Gue bahkan gak tahu Raisa bisa sehisteris itu." "Tetep aja yang Lo lakuin salah! Dan yang harus Lo inget, Raisa pacar Gue sekarang." Willi dan Adelia menoleh "Brian?!" Brian diam. Rendi menyeringai. "Dengar Rendi, Om minta kamu disana sementara, dan jangan membuat ulah, sampai saatnya Brian menjabat." Rendi menunduk. "Aku ngerti Om." Ya, dirinya hanya sebagai pengganti sementara, hingga Brian benar- benar siap untuk menjabat sebagai Direktur utama, yang Rendi tak mengerti kenapa Brian harus menjadi OB disana? Jika ingin bekerja kenapa tidak langsung saja menggantikan Om Willi, malah buang- buang waktu menggunakannya sebagai Direktur sementara. "Dan kamu Brian, bukan saatnya kamu main- main sekarang! Fokus dengan pekerjaan kamu, lalu menggantikan Papa disana!" seru Willi dengan tegas. Brian mendengus kesal "Aku gak main- main sama Raisa Pa." "Brian!" Willi menatap Brian dengan tajam. "Tenang, Pa." Adelia mengusap punggung Willi. "Brian, minta maaf!" titah Adelia tegas. Brian beranjak "Maaf, Ma. Brian lagi marah." Setelahnya Brian meninggalkan ruang kerja Willi, menyisakan Willi, Adelia dan Rendi. "Om, aku juga pulang dulu," kata Rendi akhirnya, pria itu meringis merasakan perih di wajahnya karena di hajar Brian. "Gak obati dulu lukanya, Ren?" "Gak Tante, nanti aja." Setelahnya Rendi pun segera pergi. Di depan rumah Rendi melihat Brian baru saja menaiki motornya. "Udah Gue bilang Bri, takdir Lo udah di tentuin, termasuk jodoh Lo. Jadi, sebaiknya Lo lepasin Raisa dari sekarang, sebelum Lo buat dia sakit hati." Rendi sengaja menghadang Brian agar pria itu tak pergi. "Dan harus Lo tahu Rendi, yang nentuin bukan Lo!" Brian tak peduli dan mulai melajukan motornya keluar dari pelataran rumah orang tuanya. Ya, orang tuanya. Tapi, karena saat ini dia tengah menjalankan sebuah misi, Brian harus menyembunyikan identitasnya. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN