Bab20: Merasa Tak Pantas

1434 Kata
Pekerjaan Brian selama menjadi OB adalah keluar masuk ruangan para petinggi perusahaan dengan bebas, dengan alasan membersikan ruangan mereka. Tapi mereka tak tahu Brian bukanlah OB sebenarnya. Selain demi belajar dari tahap bawah Willi ingin Brian menyelidiki sebuah kasus penyelewengan dana oleh salah satu petinggi perusahaan. Maka dari itu Willi menunjuk Rendi keponakannya untuk menduduki posisi Direktur sementara waktu sebelum Brian benar- benar selesai dengan misinya, juga untuk menurunkan kewaspadaan tersangka agar Brian bisa mengumpulkan bukti dengan mudah. Tapi saat ini Brian justru meluangkan waktunya untuk menjalin kasih dengan sekertaris bernama Raisa, dan bukannya menangkap pelakunya dengan cepat lalu menduduki kursi Direktur, tapi malah menghabiskan waktu dengan bermain- main. Tentu saja hanya bermain- main, karena jodoh Brian sudah di tentukan seperti kata Rendi. Brian meremas rambutnya frustasi, saat memikirkan kerumitan hidupnya, awalnya dia memang berniat bermain- main dengan Raisa, sekertaris baru yang menarik perhatiannya. Tapi, semakin lama Brian mengenal Raisa, dia justru semakin jatuh cinta, Brian bahkan rela tinggal di kontrakan kecil di sebelah Raisa demi agar bisa lebih dekat dengannya. Meski sebelumnya Brian juga tinggal di rumah kos, demi peranannya sebagai OB. Brian bahkan tak membutuhkan waktu lama untuk merasakan cintanya, atau bahkan peduli pada status janda wanita itu. Dan sekarang saat dia menyadari cintanya dia mengingat bahwa dia sudah di jodohkan dengan wanita lain. Sialan. Setelah pertemuan terakhirnya dengan Pak Willi tempo hari, hari ini Brian di panggil untuk pulang, dan Brian tahu apa alasan pria tua itu memanggilnya. "Duduk Nak." Pak Willi berkata dengan lembut tapi tegas, seperti biasanya. Brian duduk di kursi di depan Willi. "Bagaimana penyelidikannya?" tanya Willi. "Ada beberapa orang yang terlibat, tapi buktinya masih belum kuat," jawab Brian. Willi menyandarkan punggungnya di sandaran kursi "Lalu kenapa kamu justru main- main?" "Main- main?" Brian mengerutkan keningnya. "Brian, Raisa sekertaris yang baik dan-" "Kalau Papa pikir aku main- main, Papa salah. Aku serius sama Raisa Pa." setidaknya sekarang, karena semakin lama hati Brian semakin yakin jika Raisa adalah wanita yang dia cintai. "Brian, ada Bella-" "Sejak awal aku gak pernah setuju perjodohan ini, Pa." Lagi, Brian menyela ucapan Willi membuat Willi menghela nafasnya kesal. "Kamu suka sekali menyela." "Pa, bisa kan perjodohannya di batalkan?" kali ini cara bicara Brian lebih lembut, pada dasarnya dia di besarkan oleh orang tua yang baik dan hangat seperti Willi dan Adelia, hanya saja dia memiliki watak sedikit keras, hingga kadang bersikap seenaknya, apalagi jika dia sudah kukuh dengan keinginannya. "Itu keputusan bersama Brian." Brian menghela nafasnya "Jadi, sebaiknya akhiri dengan Raisa, Brian. Dan selesaikan tugas kamu dengan cepat!" titah Willi tegas. "Kalau tidak?" "Brian!" "Aku cinta Raisa, Pa." "Kakek tidak akan setuju, Brian!" "Kakek sudah meninggal, dan kenapa harus aku, kenapa gak si Rendi yang menerima wasiat jodoh itu." "Karena kamu yang berhak mewarisi harta keluarga kita." Brian memutar matanya malas, ya, dia adalah korban perjodohan antara orang tua jaman dulu. Kakeknya dan Kakek Bella adalah sahabat dan mereka berjanji jika akan menjodohkan anak mereka kelak, tapi karena anak mereka sama sama laki- laki, mereka pun meneruskan janji perjodohan ketika mereka memiliki cucu nanti, dan tertujulah pada Brian. Dengan kata lain dia hanya menjalankan wasiat dari kakeknya yang bahkan telah tiada. "Si Rendi juga cucu kakek." Brian tak boleh menyerah. "Tapi Kakek kamu menyerahkan perusahaan bahkan surat wasiat itu pada kamu, Brian. Dan lagi, Rendi hanya anak tiri om kamu." Brian mendengus. "Terserah! Yang jelas aku gak mau, Pa. Lagian yakin banget kalau Bella cucunya kakek Hery, cuma karena dia bilang begitu." pada dasarnya Kakek Hery sahabat kakeknya sudah meninggal lebih dulu, dan saat Kakek Brian meninggal Willi harus mencari keluarga Kakek Hery, hingga dia menemukan Bella yang juga membawa wasiat dari Kakek Hery dan akhirnya Brian dan Bella di jodohkan. "Itu karena kamu terlalu menutupi hati kamu dengan kebencian pada Bella, coba buka hati kamu, Bri!" "Itu karena Bella itu bukan wanita yang baik, Pa," ucap Brian terus berkilah. Sebenarnya Brian mengenal Bella sejak mereka kuliah, dan wanita itu selalu mengejarnya, tapi Brian yang tak memiliki perasaan yang sama selalu menolaknya. Hingga suatu hari Bella datang dengan membawa wasiat yang di berikan kakek Hery, menjadikannya jodoh Brian dengan mutlak. "Jangan bicara seperti itu, Brian!" "Brian capek Pa," ucap Brian akhirnya. Perdebatan ini sepertinya harus terhenti lagi. Dia akan bangkit, namun Willi kembali bicara. "Makan dulu sebelum pergi Bri, Mama kamu sudah memasak." Brian hanya bergumam dan meninggalkan Willi yang hanya bisa menggeleng pasrah. .... Raisa melongokan wajahnya di pintu kontrakan Brian. "Eh, ngapain ngintip, sini." Brian melambaikan tangannya. "Lagi ngapain?" tanya Raisa saat memberanikan diri untuk masuk. "Lagi duduk," ucap Brian dengan tertawa, karena jelas dia memang sedang duduk beralaskan karpet, sambil bermain ponsel. Tidak banyak barang di rumah kontrakannya, sebab Brian hanya sementara disana, hanya ada beberapa barang yang penting dan benar- benar dia butuhkan saja. "Buka aja pintunya, Sa." Brian tahu Raisa merasa takut meski mungkin tak setakut bersama pria lain, tapi tetap saja dia merasa Raisa masih menanamkan kewaspadaannya. Brian tak tahu, apa yang terjadi pada Raisa di masa lalu hingga Raisa begitu ketakutan jika berdua saja dengan pria. Jika di pikir lagi bukankah Raisa dulu juga pernah menikah? Lalu bagaimana dengan pernikahannya jika dia saja tak bisa berdekatan dengan seorang pria. "Mau beli nasi goreng gak?" tanya Raisa. Brian mengeryit "Kamu mau?" "Hm, aku gak masak." Pulang dari klinik Raisa memang di perbolehkan pulang, namun karena pikirannya jadi tak menentu, Raisa justru tak mood memasak, dan ini sudah terlalu malam. "Oke." Brian beranjak dari duduknya dan segera meraih jaket juga kunci motornya. "Mau beli dimana?" tanya Brian saat dia akan menyalakan motornya. "Di ujung jalan pas pertigaan, disana nasi gorengnya enak," jawab Raisa. Brian mengangguk lalu memakaikan helm untuk Raisa. Raisa tersenyum "Padahal aku bisa pake sendiri." Tapi setiap akan pergi Brian pasti memakaikan helm untuknya. "Memastikan pacarku aman," ucap Brian dengan senyuman. Raisa tersipu. "Siap?" Brian melihat ke belakang dimana Raisa sudah duduk. "Hm." Raisa mengangguk dan Brian melajukan motornya. Saat motor melaju udara dingin dari angin malam menerpa tubuh Raisa dan terasa sampai ke tulang, hingga Raisa merapatkan sweater yang dia kenakan. "Dingin kan, sini." Brian meraih tangan Raisa dan menariknya untuk dia masukan ke saku jaketnya. Raisa tertegun, dengan begitu tubuhnya kini merapat dengan punggung Brian. Raisa memejamkan matanya saat merasakan kehangatan yang tercipta, sekarang dia semakin yakin jika dia tak merasa takut saat bersama Brian. Pria itu membuatnya merasa aman dan nyaman. Brian tersenyum saat merasakan pelukan Raisa mengerat. Mereka tiba di depan gerobak abang- abang nasi goreng, beberapa orang telah mengantri ada juga yang sudah mulai makan di tempat, sepertinya benar kata Raisa, nasi gorengnya enak karena pembelinya lumayan banyak. Setelah mengantri selama setengah jam Raisa dan Brian mendapatkan nasi goreng mereka. Duduk beralaskan tikar keduanya menikmati nasi goreng hangat itu di teras kontrakan "Punyaku pedas," ucap Raisa. "Nanti sakit perut loh, Yang." Brian menyuapkan nasi gorengnya "Hm, lumayan," katanya sambil mengunyah. "Iya, kan. Waktu pertama datang aku beli di sini dan langsung suka karena rasanya enak." Brian tersenyum mengangguk. Sepuluh menit kemudian nasi goreng Raisa habis, kini keduanya menikmati minuman jahe untuk menghangatkan tubuh. "Sa, ada yang ingin aku tanyakan." Brian memberanikan diri bicara. "Hm, apa?" "Gak apa kalau kamu gak mau bicara sebenarnya, tapi aku cuma penasaran ... Apa yang terjadi sebelumnya sampai kamu memiliki trauma itu?" Brian memperhatikan wajah Raisa yang tiba- tiba menunduk dan terlihat sedih. "Aku ..." lidah Raisa terasa tercekat, dan merasa sulit untuk berucap. "Gak papa Sa, kalau itu terasa menyakitkan, gak usah kamu ceritakan." Brian menggenggam tangan Raisa. Raisa menggeleng "Kamu memang harus tahu Bri." ya, jangan sampai Brian menyesal dan meninggalkannya saat perasaannya semakin dalam, karena itu pasti akan sangat menyakitkan untuknya. "Sebenarnya aku pernah mengalami pelecehan ..." Brian tertegun, wajahnya bahkan menegang. "Dan itu di lakukan oleh suamiku sendiri." mata Raisa mulai mengembun, kejadian menyakitkan itu begitu ingin ia lupakan, namun Raisa menyadari jika itu tidak akan hilang dari ingatannya "Dan itu hanya karena masa laluku." "Apa itu?" "Suamiku kecewa karena saat menikah dia tak menemukanku masih perawan, setelahnya dia menyiksaku dan memperkosaku. Menyakitkan, mendengar kata- katanya bahwa aku hanya w************n, dan tak punya harga diri." Raisa mengusap air matanya "Dan yang lebih menyakitkan, di pagi harinya dia menceraikan aku, aku di buang seperti p*****r setelah di gunakan." Raisa menoleh pada Brian yang masih terdiam "Ya, aku salah, karena masa laluku yang nakal aku kehilangan hal yang berharga, tapi, apakah aku pantas di perlakukan seperti itu?" Raisa menghela nafasnya dalam "Setelah ini, mungkin kamu juga akan jijik padaku-" ucapan Raisa terhenti saat Brian memeluknya. "Gak gitu Sa, perasaan ku gak akan berubah," ucapnya tegas. Dan entah kenapa sikap Brian yang menerimanya apa adanya, justru membuatnya merasa tak pantas bersanding dengan pria itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN