Meta menatap makanan yang tersaji di hadapannya. Hanya dua buah gorengan dengan sambal kacang dan segelas teh manis hangat.
"Lo ga makan Ta?" tanya Gita, salah satu temannya yang sudah menempel sedari berkenalan pagi tadi.
"Ini aja. Kan makan juga. Masih kenyang, tadi gue sarapan banyak banget."
Ian yang sedari tadi berdiri tak jauh di belakang Meta, mendengar samar percakapan mereka.
"Bang!" sapa Gita yang duduknya berhadapan dengan Meta.
Ian hanya mengangguk dan mengangkat tangannya. Masker hitam masih setia menutupi sebagian wajahnya. Ian berjalan lurus melewati meja mereka, mendekati salah satu gerai yang menjual nasi campur kegemarannya.
"Eh, anak Umi yang paling ganteng dateng juga. Mau makan apa kasep?"
"Ian, Mi. Bukan Asep!"
"Kasep! That's mean ganteng pisaaan!"
Ian tertawa renyah. Yang mengantri di gerai itu pun ikut tertawa.
"Mi, Ian mau pesen buat cewe yang duduk di depan pohon itu, yang rambutnya panjang."
'Plak!' perempuan yang disapa Umi itu menampar lengan Ian.
"Lah, Mi? Kunaon atuh?"
"Nakut-nakutin aja!" omel Umi.
"Kok nakutin?"
"Duduk di depan pohon, rambutnya panjang. Gimana Umi ga takut?"
"Ya Allah, Umi... Lihat dulu atuh, Mi. Meuni geulis begitu dikira kunti? Lagian siang bolong gini kunti juga lagi rebahan, Mi."
Umi terkekeh.
"Tapi nanti jangan bilang dari Ian. Bisa ga, Mi?" bisik Ian sangat pelan hingga hanya terdengar olehnya dan perempuan paruh baya itu.
Perempuan itu tersenyum hangat.
"Apa lauknya?"
"Itu ikan apa, Mi?"
"Tuna balado. Mau?"
"Iya, pake itu, Mi. Sayurnya yang ada udangnya ya, Mi. Sama tolong bikinin jus alpukat pake keju."
"Okeh!"
Umi membuatkan pesanan Ian. Lalu beranjak membawa makanan itu ke meja yang di duduki Meta dan Gita.
Umi meletakkan makanan itu di depan Meta. Meta dan Gita saling memandang, kemudian menggeleng bersamaan.
"Maaf, Bu. Kami ga pesan. Mungkin buat meja yang lain, Bu." Ucap Meta sesopan mungkin.
"Iya, Umi tau. Umi yang bikin, Umi keinget anak Umi yang sakit maag kalau makannya seperti kamu. Saha atuh namana neng geulis?"
"Meta, Bu. Ini Gita, teman saya."
"Panggil saya Umi saja. Dihabiskan ya, Neng."
"Terima kasih, Umi."
Tepat ketika perempuan paruh baya itu melangkah, beberapa orang yang dikenali sebagai panitia MPF mengisi penuh meja di samping Meta dan Gita. Ian mendekati mereka sambil membawa piring makannya dan segelas air putih hangat, kebiasaan sedari kecil yang tak bisa dihilangkannya.
Ian berdiri di antara kedua meja.
"Ndlosor aja lo di situ!" ucap Tara, disambut kekehan teman-temannya yang lain.
Ian tak menanggapi. Ia meminta Gita bergeser, lalu ia duduk berhadapan dengan Meta. Meta sedang meneguk air mineral dari tumbler-nya ketika —
'Pruuuuuut!'
Air itu menyembur dari mulut Meta ke wajah Ian. Meta terkejut melihat wajah yang sangat dikenalinya ketika pria di hadapannya membuka maskernya.
"Ian..." lirih Meta.
Ian dan Meta sama-sama membeku saling menatap. Sementara Gita masih menganga, terkejut karena tingkah Meta yang tak sengaja dilakukan sahabatnya itu.
Tara berdiri, mengeluarkan beberapa lembar tissue dan mengusapkannya ke wajah Ian. Semua yang melihat kejadian itu tak bersuara. Jika dalam kondisi lain, mungkin Ian akan jadi bahan lelucon selama satu tahun, tetapi berbeda dengan saat itu, entah mengapa aura mencekam mengelilingi mereka.
Ian diam saja, mengambil tissue dari tangan Tara dan mengusap wajahnya sendiri. Berpaling sejenak menatap Tara seraya bergumam pelan "I'm ok, Tar."
Tara kembali ke tempat duduknya, menatap lekat Ian dan Meta.
Pandangan Meta turun ke d**a Ian. Melihat nama yang tertera di name tag-nya. BRIAN PUTRA DEWANTARA. Benar, pria itu adalah Ian–nya yang ia tinggalkan dua tahun lalu.
Ian masih diam. Hanya tangannya yang bergerak, mengaduk nasi campur yang sudah bercampur dengan air yang Meta semburkan tadi. Ian membuka mulutnya, akan memasukkan suapan pertamanya siang itu.
"Jangan, Yan." cegah Meta sambil memegang tangan kanan Ian.
Ian menyentuh tangan Meta, melepaskannya dari tangannya. Diam saja. Ia benar-benar menyuap makanan itu ke dalam mulutnya. Pandangannya tertunduk, hanya menatap makanan di piringnya, enggan menatap Meta.
"Ian..."
Meta mulai terisak. Semua mata memandang mereka berdua. Aneh dengan pemandangan itu. Biasanya yang mereka lihat, Ian selalu acuh ketika memutuskan pasangannya, menampilkan wajah tak perduli dan tak bersalahnya. Hanya sang perempuan yang akan menangis, marah, atau kadang menamparnya kemudian berlalu pergi. Kali ini, wajah Ian, pias. Seakan ia yang diputuskan saat sedang sayang-sayangnya.
"Yan..."
Meta mencoba lagi. Ian bergeming. Tak mau menanggapi sama sekali. Meta terus menatapnya. Hidangan di hadapannya – yang baru ia lahap beberapa suap – Meta diamkan begitu saja.
Di beberapa suapan terakhir, Ian makan sambil meneteskan air matanya. Pilu hatinya teringat betapa perempuan di hadapannya setega itu padanya. Memberikannya ciuman hangat saat Ian mengantarkannya ke stasiun kala itu, kemudian menghilang bak ditelan bumi. Berkali-kali Ian menyambangi kota Jogja, mencari keberadaan Meta yang tak jua ia dapati. Ian sadar, Meta membohonginya. Meninggalkannya tanpa perasaan.
Meta menutup mulutnya, takut isak tangis yang semakin membuatnya sesak menyembur begitu saja karena pilu semakin menyerangnya begitu melihat air mata Ian tak henti menetes. Ian menyudahi makannya, menguatkan diri dan menghapus sisa air mata di sudut netranya, berdiri, beranjak pergi membawa piring kosongnya kembali ke gerai Umi.
Saat akan meninggalkan kantin, Ian kembali melewati meja Meta. Meta masih memandangnya dengan uraian air mata. Jauh di dalam hatinya, ia sangat merindukan pria yang selalu membelanya itu. Pria yang membuatnya jatuh cinta karena ketulusannya. Pria yang tak pernah menolak keinginannya. Pria yang tau banyak tentang kehidupan kelamnya dan hal-hal yang disukainya, seperti jus alpukat dengan keju, hanya Ian yang tau betapa Meta menyukainya. Tetapi Ian tak tahu jika Meta berhenti meminum itu sejak berpisah dengannya.
"Makan, Ta. Jus–nya dihabiskan. Seenggaknya, kamu harus bahagia dan baik-baik aja setelah ninggalin aku!" ucap Ian pilu. Sudut bibirnya bergetar menahan sesak. Ia melangkah pergi meninggalkan Meta yang tergugu pedih diiringi padangan penuh tanda tanya dari sekelilingnya.
"Kok lo diem aja sih?" sulut Tara pada Meta.
"Gue udah kenal Ian dari kami belum bisa jalan. Ian adalah orang paling periang dan paling tulus yang gue kenal. Sepanjang hidupnya sampai saat ini, baru dua kali gue liat dia sedih. Satu, waktu Eric – sahabat baiknya – meninggal. Kedua, gue ga tau kenapa, tapi dia dateng ke rumah gue dan tiba-tiba nangis. Gue ga tau lo punya masalah apa sama Ian, tapi gue sekarang tau kalau lo yang bikin dia sesedih itu. At least, lo harus jelasin ke dia kenapa lo bikin dia seemosional itu. Kalau mau jahat, jahat sekalian, non! Jangan ngebelenggu orang yang sayang sama lo! Biarin dia move on dari lo, ngelanjutin kisah cintanya, lupain lo!"