Ian gelisah mundar mandir di depan sebuah bangunan berlantai dua dengan warna dominan merah bata. Di pagar depan rumah itu tergantung sebuah papan bertuliskan KOST PUTRI – Jam Kunjung Hingga 22:00 WIB. Pagar gerbang rumah itu terlihat terbuka karena memang jam baru menunjukkan pukul 19:00 WIB. Beberapa penghuni atau mungkin tamu berkali-kali keluar masuk bangunan itu. Ian ragu untuk melangkah, tetapi nasi dan ayam goreng yang ia bawa akan segera dingin jika tak segera dilahap.
Ian menutup netranya, menarik nafas panjang, menahan sesaat di paru-parunya dan menghembuskannya perlahan. Beberapa kali. Tepat di pengulangan ke lima, ia membuka netranya, menguatkan diri melangkah menuju ke lantai dua dengan nomor kamar 14 yang tergantung di pintunya.
'tok – tok'
'tok – tok'
'tok – tok'
'cekrek'
Pintu terbuka. Meta dengan setelan kaos abu-abu yang sudah lusuh dan celana pendek di atas lutut muncul di hadapan Ian.
Ian membeku. Meta pun belum bersuara. Mereka masih saling memandang.
"Aku mau numpang makan." ucap Ian akhirnya.
"Ian..." lirih Meta.
"Di depan ditulis jam malam jam sepuluh." lanjut Ian.
Ian menyapu pandangannya melewati Meta. Melihat semangkuk mie rebus yang didampingi termos kecil berwarna biru. Bisa disimpulkan mie itu hanya disiram air panas, kemudian ditutup beberapa menit. Bukan dimasak di atas api seperti yang selalu Ian lakukan. Ian menghembuskan nafas lelah. Menatap Meta lagi. Tangannya terulur, mengusap lembut pipi Meta, membuat perempuan itu tergugu dengan bibir yang bergetar dan netra yang berkaca–kaca.
"Aku lapar, Ta. Ini keburu dingin." Ucap Ian lagi seraya mengangkat plastik berisi nasi, ayam goreng, dua botol air mineral dan dua botol teh manis kemasan.
"Masuk, Yan." Balas Meta, dengan suara parau.
Ian duduk di samping meja kecil tempat Meta meletakkan mangkuk berisi mie seduhnya. Meta memberikannya sebuah piring plastik. Ian mengeluarkan semua makanan dan minuman yang ia bawa. Menyingkirkan mangkuk berisi mie setengah matang itu.
"Makan ini aja ya, Ta."
Ian menyodorkan piring plastik yang di atasnya berisi sebungkus pecal ayam lengkap dengan tambahan sambal dan lalapan.
"Ayam dan sambalnya juara banget, Ta. Kamu harus nyobain."
"Makasih, Yan."
Meta tak ingin menolak. Ia memang tak bisa makan dengan layak. Uang yang ia bawa dari Surabaya sudah habis ia gunakan untuk membayar kosan dan membeli beberapa keperluan. Sementara ia belum mendapatkan pekerjaan sampingan yang gajinya bisa ia gunakan untuk membiayai hidup.
Mereka makan dalam diam. Sesekali saling memandang. Begitu makanan di hadapan mereka tandas, Meta berdiri membereskan bungkus makanan keduanya.
Ian menepuk-nepuk lantai di sampingnya, mengajak Meta duduk di dekatnya. Meta menurut, duduk dengan posisi miring agar bisa menatap Ian.
"Ian ga apa-apa? Tadi Meta lihat Ian jatuh."
Ian terkekeh. Malu sendiri.
"Lihat ya tadi?"
"Lihatlah."
"Ga apa-apa, Ta."
Ian tersenyum. Menunjukkan lesung di pipi kanannya. Membuat Meta mengulurkan tangannya, mengusap lembut lesung pipi Ian.
"Masih ada." ucapnya pelan.
"Ya ga mungkin hilang, Ta. Aku ganteng kan Ta sekarang?" canda Ian.
Meta tersenyum, mengangguk.
"Mantan aku banyak lho, Ta."
Meta mengangguk lagi.
"Aku dapat julukan badboy fakultas."
Lagi-lagi Meta mengangguk.
Ian menatap netra kelam milik Meta yang memantulkan bayangan dirinya. Selalu cantik! Meta selalu cantik di pandangan Ian.
"Kamu sehat, Ta?"
"Sehat."
"Kamu —"
"Meta baik-baik aja, Yan."
Ian terdiam, tatapannya berubah dingin.
"Baguslah!" ketus Ian.
Meta tersentak. Tak menyangka dengan nada sarkas Ian. Sunyi. Mereka berdua terdiam lagi.
"Kak Tara —"
"Kenapa Tara?"
"Pacar Ian?"
"Bukan. Dia sepupu jauh. Nenek kami kakak adik. Dia ngomong macem–macem?"
"Ngga. Keliatan akrab banget aja. Meta pikir pacar Ian. Tadi juga kan Kak Tara manggil Ian sayang, my love gitu..."
Ian terkekeh.
"Dia itu pas pembagian muka dateng duluan, pas pembagian otak datengnya belakangan!"
Meta terkekeh.
"Ian ih!"
"Tara emang gitu, jahilnya ga ketolong. Pacarnya Tara namanya Fandi. Sama gilanya dengan Tara. Pasangan paling absurd sefakultas. Nanti kamu juga tau."
"Pacar Ian siapa?"
"Ga ada. Baru aku putusin semalam."
"Oh."
Meta memberengut, entah kenapa membuat Ian merasa lebih tenang.
"Meta punya pacar?"
Meta menggeleng.
"Sejak Meta pergi, Meta ga pernah pacaran lagi." jawabnya pelan.
Ian menatapnya lekat. Mengusap lembut rambut panjangnya seraya tersenyum tulus.
"Ian... Meta minta maaf."
Bulir bening mengalir dari kedua netra Meta. Pilu. Selama dua tahun ia begitu merindukan Ian. Pria yang selalu berusaha menjaganya. Jika saja saat itu ia mau mendengarkan Ian. Jika saja ia tak tergoda dengan ajakan kekasihnya saat itu. Jika saja ia tak gelap mata karena cinta. Mungkin kejadian suram itu tak pernah Meta alami.
Ian memajukan posisi duduknya. Mengusap lembut kedua lengan Meta. Meta meletakkan kepalanya di bahu Ian, terisak pilu. Ian membiarkannya. Tak berkata apapun. Satu tangannya berpindah ke punggung Meta, menepuk-nepuk lembut. Satu tangan lagi beranjak ke kepala Meta, mengusap lembut helaian rambutnya. Ian tahu, sebagian hatinya belum bisa memaafkan Meta, tapi sebagian lagi begitu merindukan perempuan pujaannya itu.
Meta mengangkat wajahnya. Mengusap sisa air mata yang tadi membasahi pipinya.
"Meta tau, Yan. Meta keterlaluan. Meta ga pantas Ian maafin. Meta terlalu malu."
Ian masih diam.
"Ngomong dong, Yan..."
"Ngomong apa, Ta?"
"Apa aja. Caci aku kek. Marah kek!"
"Apa itu bisa ngerubah semuanya? Apa itu bikin kamu ga ninggalin aku dulu?"
"Ian..."
"Udahlah, Ta. Ga ada gunanya ngungkit yang sudah lalu."
Ian menunduk, menahan emosi yang membuat dadanya terasa sesak. Sementara Meta menangis sunyi kembali.
"Ada yang kamu perlu, Ta? Siapa tau aku bisa bantu."
Meta menggeleng.
Ian mengeluarkan amplop putih dari ranselnya. Meletakkan benda itu di atas paha Meta.
"Pakai buat kebutuhan kamu sementara kamu nyari kerja sampingan. Jangan sampai kuliah kamu terganggu ya, Ta."
"Ga usah, Yan. Meta masih ada tabungan."
"Simpan aja tabungan kamu. Itu dari Papi."
"Ian..."
"Kamu ga akan kost sejauh ini dari kampus kalau kamu baik-baik aja, Ta. Ga akan jalan kaki ke kampus. Bahkan sepatu yang kamu pakai benar–benar ga nyaman kan? Lihat kaki kamu babak belur begitu! Kamu juga ga akan makan siang hanya dengan dua gorengan dan teh manis. Ga akan makan malam dengan mie seduh. Berhenti bilang kamu ga apa-apa! It's ok to not be ok!"
"Ian tau semuanya dari mana?"
"Papi of course! Aku ga akan bohong! Aku minta suruhan Papi ngikutin kamu tadi. Kamu jalan sejauh itu dari kampus ke sini, Ta!" omel Ian.
Meta diam saja.
"Aku ga suka tiap kamu bilang kamu ga apa-apa! Apanya yang ga apa-apa? Kenapa kamu ga pernah mandang aku, Ta? Kenapa kamu ga pernah nganggap aku? Kenapa kamu ga mau mengandalkan aku? Apa aku gak pantas buat kamu? Apa aku ga pantas untuk kamu cintai?"
Meta menatap lekat Ian. Ia tak sanggup lagi menahan sesak di dadanya.
"Aku cinta sama kamu, Yan! Aku cinta sama kamu!"
Ian tertawa sinis. Pedih.
"Bullshit!"
Meta tergugu.
Ian mengusap kasar wajahnya.
"Besok pagi aku jemput. Jangan coba–coba kabur lagi!"