Sophia sebenarnya sudah menolak diajak makan siang sama Juna, kan dia sudah bilang di awal kalau dia hanya ingin berbuat baik dan berencana untuk segera pulang ke The Bean untuk melanjutkan pekerjaannya, tapi gara - gara satu permintaan Juna untuk mengantarkannya kembali ke penginapan baru sudah disetujuinya, sekarang berkembang lagi jadi makan siang yang sulit ditolaknya. Sophia belum tahu kalau semua keinginan Juna itu akan sulit di tolak, mamanya saja tidak berhasil, apalagi wanita ... wajah tampan Juna yang sudah memohon sulit diabaikan.Tapi Sophia mengikuti keinginan Juna sebenarnya bukan karena dia terpesona pada Juna tapi karena dia juga sudah lapar.
."Kamu yang pilih restaurant-nya, aku belum tahu apa yang enak disini," kata Juna ketika Sophia mengiyakan permintaannya,
"Aku yang traktir," lanjut Juna.
"Aku pikir kita akan makan siang dengan split bills."
"No ... aku yang mengajak berarti aku yang bayar, itu sudah peraturan tidak tertulis kalau jalan bersamaku."
"Hmm ... begitu ya?" ucap Sophia dengan nada meremehkan.
"Yup, ini sekaligus sebagai ucapan terimakasihku untuk kebaikan yang kamu buat hari ini."
Sophia terkekeh," Kebaikan ku ini karena hukuman yang harus aku jalani, yang aku perbuat tadi pagi memang buruk sekali," ucapnya sambil menggelengkan kepala mengingat apa yang sudah dia perbuat tadi pagi sampai - sampai dia harus berurusan dengan Juna sampai siang ini.
"Selalu ada alasan untuk memulai suatu hal kan? Karena keburukan yang kamu lakukan tadi pagi , akhirnya membawa kamu berbuat kebaikan padaku juga hari ini, kamu membuatku mendapat pekerjaan dan tempat tinggal baru, seri kan?"
Sophia tersenyum," Kalau seri kenapa kamu harus mentraktirku?" tanya Sophia.
"Kan sudah aku bilang tadi, kalau aku yang mengajak kamu makan, berarti aku yang bayar."
"Hmm .. baiklah, kalau kita makan disana, gimana?" tanya Sophi ketika melihat ada kedai kecil yang menjual burger, bukan dari merk franchise tapi kedai burger lokal.
"Ya boleh."
"Disana tidak terlalu mahal dan rasanya juga tidak jelek, aku khawatir kalau membawamu ke resto yang lebih besar akan membuatmu bangkrut, kamu saja baru akan mendapat pekerjaan dan tadi harus membayar sewa kamar."
Juna menarik sudut bibirnya, miris. Baru kali ini ada wanita yang takut dia bangkrut karena mentraktir makan siang, begini banget ya rasanya dianggap punya uang pas - pasan?
"Nanti kalau aku sudah gajian, aku akan mentraktirmu lagi di tempat yang lebih exclusive."
"Tidak perlu, kamu tidak berhutang apapun kok sama aku, jadi santai aja."
"Aku hanya mau kamu mencoba uang gajiku."
Sophia tersenyum sambil menggelengkan kepala mendengar Juna ngotot mau mentraktirnya.
Juna mengikuti langkah Sophia ke kedai kecil itu, Sophia yang duluan masuk setelah mendorong pintu kacanya, Juna menyusul. Kedai ini tidak ramai karena jam makan siang masih lima belas menit lagi, tapi Juna juga tidak tahu apa memang kedai ini selalu sepi?
Mereka memesan menu yang sama, itu juga karena Juna yang bilang, "Sama kan saja dengan pesanan kamu asal bukan Pork."
Dua beef burger, dua kentang goreng dan dua minuman soda kini sudah ada dihadapan mereka.
"Kamu alergi Pork juga?" tanya Sophia ketika mereka baru saja duduk, dia membuka kertas pembungkus burgernya.
Juna juga melakukan hal yang sama.
"No, aku memang tidak makan Pork, semua keluarga ku juga begitu, memangnya kamu alergi pork?"
"Uhm, sebenarnya aku belum pernah mencobanya sama sekali, tapi kata bibi Lyn aku alergi parah kalau makan Pork, bisa - bisa sesak nafas parah dan mungkin tidak akan tertolong."
Juna mengaitkan alisnya.
"Bagaimana kamu bisa tahu kalau kamu alergi padahal kamu belum pernah mencobanya sama sekali, aneh nggak sih?"
Sophia diam sebentar.
"Bibi Lyn dapat pesan dari mamaku, katanya dari hasil tes alergiku waktu bayi, dokter bilang aku tidak boleh makan makanan yang ada unsur Pork, wine atau minuman beralkohol lainnya, dan yang seperti aku bilang tadi, katanya alergi itu bisa menyebabkan aku sesak nafas atau bisa saja meninggal. Bukan kah itu sangat mengerikan? Hanya karena makanan dan minuman bisa berakibat fatal seperti itu. Aku memilih tidak mencobanya," jelas Sophia sambil sedikit mengangkat tangan dan membuka telapak tangannya, seperti orang sedang heran dengan kenyataan hidupnya sendiri.
"Dan Aku tidak terlalu tahu juga bagaimana cara tahu kita alergi tanpa mencoba dulu, aku hanya mengikuti saja, pasti mamaku sudah mencari tahu yang terbaik sejak aku kecil," tambahnya lagi.
"Bisa saja mungkin kamu dulu ada alergi sesuatu dan membuat kamu sakit, lalu mama kamu memeriksakan ke dokter dan dilakukan tes alergi. Dari hasil pemeriksaan laboratorium bisa saja ditemukan alergi lain juga selain alergi yang kamu derita saat itu. Dan kecenderungan alergi lain itu mungkin dari makanan yang kamu bilang tadi, makanya kamu sudah diingatkan agar tidak mengkonsumsi itu."
"Aku suka dengan analisamu, sudah seperti seorang dokter," ucap Sophia serius.
"Aku kebetulan tinggal dilingkungan yang orang - orangnya berprofesi sebagai dokter."
"Kamu tinggal di perumahan dokter?"
"Iya."
"Cool ... kenapa kamu tidak jadi dokter?"
"Aku tidak suka."
"Owh ... padahal aku pikir kalau kamu menjadi dokter sudah pas tadi."
Juna tersenyum," Aku suka menggambar dan menghayal dari kecil...tidak cocok jadi dokter."
"Harusnya kamu jadi pelukis aja."
"Ya mungkin bisa juga begitu kalau aku tidak dapat pekerjaan tadi."
Sophia tertawa.
"Selamat makan," ucap Sophia yang sudah siap memasukkan burger ke dalam mulutnya.
"Selamat makan."
Mereka mulai menikmati makan siang ala western itu.
"Kamu mau beli mobil apa memangnya?" tanya Sophia membuka pembicaraan lagi setelah diam sesaat.
"Mobil apa maksudnya?" Juna malah balik bertanya.
"Tadi kamu bilang mau kerja disini karena mau beli mobil baru."
"Owh itu ...ehm." Juna berdehem untuk berpikir cepat, dia tidak siap dengan pertanyaan ini, maklumlah, tadi dia berbohong.
"Mungkin mobil Jepang atau Korea."
"Kok mungkin?"
"Ya lihat nanti uangnya ada berapa."
"Hmm ... hebat ya, kerja untuk membeli mobil, aku kerja dari lama tidak pernah kepikiran untuk.membeli mobil, paling hanya untuk membeli kesenangan pribadi seperti nonton konser, ganti hape, atau belanja online untuk beli skincare."
"Ya kamu tidak kepikiran beli mobil karena transportasi disini lebih baik daripada di tempatku, dan di kota tempat aku tinggal banyak sekali mobil murah, apalagi kalau sudah bekas pakai beberapa tahun. Jadi walau nanti hanya dapat mobil bekas, setidaknya aku bisa beli mobil pertamaku dengan uang sendiri."
Jelas sekali Juna sedang dagang kecap nomor wahid dari Malika, si kedelai hitam pilihan. Mana dia tahu harga mobil bekas kalau di rumahnya selalu berderet mobil baru milik keluarganya, ada tujuh mobil di garasi dan carport rumahnya, bahkan jumlahnya lebih banyak dari jumlah anggota keluarganya yang hanya lima orang, belum lagi mobil asisten rumah tangga untuk mereka pergi belanja, itu saja dititip di rumah Yangpa karena tidak muat lagi. Yang tidak pakai supir hanya Juna, semua orang di rumahnya memakai supir, tapi Bitha dan Leah kadang berbagi supir kalau Bitha sedang mode malas menyetir.
Apakah sekarang cocok kalau Juna bicara soal mobil bekas?
Untungnya Sophia percaya dengan bualan Juna, karena terlihat dia sedang mengangguk sambil mengunyah makanannya.
"So, kamu tinggal sama bibi Lyn?"
"Ya, dia yang punya The Bean."
"Owwh, jadi kamu bekerja disana karena cafe itu milik tante kamu juga?"
"Yup ... tadi aku tidak bisa menjelaskan itu," jawab Sophia santai.
"Aku mengerti. Jadi aku beruntung mendapat pekerjaan dari Ervin karena kamu tidak mengambilnya."
"No, siapapun bisa mengambil pekerjaan itu."
"Tapi bukankah Ervin bilang aku masih harus bertemu ownernya dulu, berarti aku belum pasti diterima ya?"
"Jangan dipikirkan, Ervin pasti sudah merekomendasikan kamu sebelum kamu bertemu ownernya, dia pasti membantu."
"Semoga saja."
"By the way, apa masalah tempat tinggal kamu sekarang?" tanya Sophia setelah menyedot minuman sodanya.
"Aku tinggal di dorm dengan dua belas orang di dalamnya."
"Ada masalah? Bukan kah itu jauh lebih murah dari pada kamar tadi?" tanya Sophia yang jelas - jelas tidak menganggap remeh tempat tinggal Juna yang murah meriah itu.
"Ya ... setengah harga, tanpa uang jaminan seperti kamar sewa tadi."
"Bukankah itu bagus?"
"Ya bagus kalau saja aku tidak harus terbangun tengah malam karena mendengar orang sedang bercinta tepat dibagian bawah tempat tidurku."
"Seriously?" tanya Sophia sampai membesarkan matanya.
"Kamu tidak akan percaya."
"Sakit jiwa, kenapa kamu tidak menegur mereka?"
"Aku tidak akan sanggup menegur mereka saat mereka melakukan itu, aku cuma bisa menyimpan kesal saja dan menutup kupingku dengan bantal walau goyangan tempat tidur terus terasa."
Sophia terkekeh akhirnya, Juna melihat ke arahnya, secara tidak sengaja Sophia memamerkan gigi putih yang berderet rapi sampai gerahamnya.
"Kalau aku yang jadi kamu, aku akan bikin keributan saja sekalian biar mereka malu, benar - benar tidak tahu diri bisa melakukan itu di kamar yang berisi begitu banyak orang, benar - benar sakit jiwa."
"Masalahnya cuma aku yang sepertinya terbangun karena aku tidur di atas tempat tidur mereka, tempat tidurku bergoyang dan suaranya sangat jelas sekali, sedangkan yang lain tidur nyenyak sampai aku bisa mendengar dengkuran mereka juga."
Kali ini Sophia tertawa lebih keras," Benar - benar sial ya, pantas wajah kamu jadi mengerikan ketika aku menumpahkan kopi tadi pagi, sejujurnya aku cukup takut juga."
Juna tersenyum.
"Bagaimana tangan kamu, aku lihat tadi kena kopi panas agak merah."
"No problem, baik - baik aja kok," jawab Sophia sambil melihat ke arah punggung tangannya.
"Sorry ya, selain suntuk dan bingung karena belum dapat pekerjaan, ditambah kejadian tadi malam yang membuat aku harus pindah hari ini juga, eh ada yang menumpahkan kopi lalu membuat catatan yang aku sudah buat jadi tidak berguna sama sekali, bagaimana bisa aku bisa menahan emosi?"
"Ya, aku juga minta maaf."
Setelah makan siang dan ngobrol-ngobrol ringan, Sophia dan Juna mulai membahas topik yang lebih pribadi. Mereka duduk di kafe sambil menikmati suasana Melbourne yang panas, tapi untung di resto ini adem
."Eh, Soph, aku boleh tanya sesuatu?" kata Juna sambil menyedot sodanya memakai sedotan warna coklat.
"Boleh, tanya apa?" jawab Sophia.
."Kamu tinggal di Melbourne sudah lama ya? atau kamu asli orang sini?"
"Kamu tidak mau menebak?"
"Sepertinya asli orang sini ya?"
"Aku lahir dan besar di Melbourne."
"Sudah aku duga."
"Hmm."
"Kamu penganut umur dua puluh satu sudah pindah dari orang tua, ya? Biasanya kalau orang western lebih memilih tinggal di apartemen sendiri dibanding harus ke rumah bibi seperti yang kamu lakukan," tanya Juna penasaran.
"Sebenernya aku tinggal sama bibi Lyn, karena dia adik mamaku, bukan karena mau membebaskan diri dari orang tua, tepatnya sejak aku umur empat tahun. Dan karena dia yang punya kafe The Bean, makanya sejak masih sekolah aku kerja di sana juga untuk menambah uang jajanku, hingga sekarang," kata Sophia sambil melihat sekeliling kafe.
"Oh, jadi kamu sama bibi Lyn sejak umur empat tahun, di adopsi? Orang tua kamu kemana?" Juna bertanya hati-hati.
"Aku sudah tidak punya orang tua sejak aku kecil, mereka sudah meninggal lama. Papaku meninggal waktu aku umur dua tahun, mamaku menyusul waktu aku umur empat tahun, dan hanya aku keturunan yang mereka punya, dan bibi Lyn juga satu - satunya keluargaku, dia saudara kembar mamaku dan dia tidak menikah," jawab Sophia dengan nada sedih tapi tegar.
Juna terdiam sebentar, merasa bersalah telah menanyakan hal itu. "Maaf ya, Aku tidak tahu cerita hidup kamu seperti itu."
"No problem, aku sudah terbiasa lama seperti ini, aku tetap menjalankan hidup seperti biasa," kata Sophia sambil tersenyum getir sebenarnya.
"Kamu hebat."
" Terimakasih, tapi aku merasa biasa saja. So, bagaimana dengan kamu sendiri, bukannya Indonesia itu hebat? Temanku pernah ke Bali, dan dia bilang sangat bagus."
"Bali jauh dari tempat tinggalku, aku tinggal di Ibukota Indonesia, ramai dan macet, polusi."
"Oke, baru satu kalimat kamu sudah membuat penilaianku tentang Indonesia langsung berbeda."
Juna terkekeh.
"Dimana - mana ada kemacetan, di Bali juga begitu. Tapi sebenarnya aku banyak tinggal di Bandung, sekitar dua setengah jam dari Ibukota. Waktu keluarga ku pindah ke Jakarta, aku sempat ikut sebentar sebelum kembali lagi ke Bandung untuk kuliah, setelah selesai aku langsung ke sini."
"Orang tua kamu masih ada?"
"Ya ada, aku juga punya adik, satunya saudara kembar tapi perempuan."
"Benar kah? Pasti excited punya saudara kembar. Aku selalu penasaran mendengar cerita bibi Lyn tentang kedekatannya dengan mamaku sejak mereka kecil," ucap Sophia dengan mata berbinar.
"Biasa saja, aku malah sering berbeda pendapat dengan saudaraku itu, sepertinya kami memang berbeda tapi berada di dalam perut yang sama."
"Ah kamu mematahkan lagi pandanganku soal anak kembar," ucap Sophia dengan nada kecewa.
Juna tertawa, sudah dua kali dia membuat Sophia kecewa dengan pikirannya sendiri.
Sophia melihat ke arah ponselnya untuk melihat jam disana.
"Kamu sudah harus kembali?"
"Ya, aku masih bisa bekerja tiga jam lagi."
"Baik lah."
"Setelah ini kamu bisa kembali ke dorm untuk membereskan barang, titip saja disana dulu, nanti jam tiga kamu ke tempat Ervin dan setelahnya kamu ke The Bean dengan membawa barang - barang mu sekalian, aku akan antar ke tempat Michael."
"Oke."
"Peginapan mu jauh?"
"Dekat The Bean."
"O bagus."
"Kamu selesai kerja jam berapa?"
"Jam empat."
"Kamu tidak ada acara lain?"
"O ada, tapi nanti malam. Aku mau pergi dinner sama pacarku."
"Oke baik lah."
"Bisa kita jalan sekarang?"
"Ya boleh," jawab Juna. Mereka berdiri sambil membawa nampan yang berisi gelas bekas soda dan kertas berkas burger beserta tisu untuk diletakkan ke tempatnya.
"Terima kasih untuk traktiran siang ini," ucap Sophia ketika mereka berjalan untuk naik bus menuju The Bean.
"Aku yang harusnya berterima kasih."
Sambil tersenyum mereka menaiki bus yang dituju.