Tempat Tinggal Baru

2060 Kata
Walau masih dengan perasaan kesalnya , Sophia tetap melangkah, Juna mengikuti dari belakang, hanya berjarak satu langkah saja. "Aku minta maaf," kalimat itu keluar dari bibir Juna, ini tidak pernah terjadi, mana pernah Juna minta maaf sama cewek. Sophia diam saja, langkahnya juga tidak berhenti. "Aku benar - benar minta maaf, mungkin karena baru kenal jadi ada sedikit prasangka." Sophia baru berhenti melangkah, dia langsung menoleh ke Juna," Prasangka? Kamu mau menuduh aku apa memangnya?" "Bukan gitu, tapi sudahlah, aku yang salah ... maaf ya." "Hmm." Sophia enggan menjawab, dia melangkahkan kaki lagi. "Apa kamu punya referensi kamar sewa di area sini? Aku sekarang tinggal di dorm dan masa tinggalku disana habis hari ini. Aku belum punya ide mau tinggal dimana, yea you know ... aku tidak terlalu paham area sekitar sini, dan budgetku juga sangat terbatas," ucap Juna tidak peduli Sophia masih marah atau tidak, dia juga sedikit berbohong soal masa tinggalnya yang masih tersisa empat hari itu, omelan mamanya dan kejadian tadi malam membuatnya harus segera pindah. Lagi - lagi Sophia berhenti lalu menatap Juna sambil menghela nafas pendek. Sekarang Juna sedang menebak, kalau dia bicara dan Sophia menatapnya apakah artinya dia sedang berpikir seperti tadi pagi? Kok beda dengan wanita lain yang biasanya menatap karena kagum ya? "Huh .. Okay, sepertinya ada satu tempat, aku akan kasih alamatnya dan kamu bisa pergi untuk mengecek sendiri ke sana, aku tidak tahu apakah ada yang kosong atau tidak." "Kalau Aku memilih ditemani, bagaimana? Nanti aku akan traktir kamu makan siang," ucap Juna menawarkan kebaikan untuk menebus rasa bersalahnya. "Tidak perlu, aku tidak minta bayaran." "No, Kamu pasti masih tersinggung soal yang tadi, aku sudah minta maaf, tapi maksudku mengajak kamu makan siang bukan sebagai bayaran, hanya ucapan terima kasih," jelas Juna. "Aku hanya mau memberikan kesan baik saja sebagai tuan rumah disini, jadi kamu tidak perlu repot - repot untuk membayar makan siang ku," jawab Sophia tak acuh dan melanjutkan jalan kakinya, lagi - lagi Juna melongo, Gadis antik, gumamnya. Juna mengejar langkah Sophia yang sudah berjalan terlebih dulu, dia khawatir di tinggal. "Tapi kamu tetap akan mengantarkan ke tempat sewa itu kan?" "Hmm." Walau jawabannya singkat tapi Juna paham kalau Sophia mau mengantarkannya. "Sophia, apakah rumahnya dekat dari sini?" tanya Juna yang sudah mensejajari langkah Sophia, tidak ada tanda - tanda mereka akan menaiki kendaraan umum seperti tadi. Sophia sebenarnya merasa aneh ketika ada yang memanggilnya Sophia, biasanya hanya Sophi ... atau Soph, terdengar lebih akrab. Tapi dia membiarkan saja Juna memanggilnya seperti itu, toh mereka memang tidak akrab, dan tidak akan pernah akrab. "Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi kita harus naik tram," jawab Sophia sambil terus berjalan. Owh Juna salah kira, dia pikir cuma jalan kaki. Mereka berjalan tidak terlalu cepat tapi tetap dalam diam. Juna pun mencari alasan untuk ngobrol. "Udara disini enak ya.." "Panas." "Ah iya benar sedang musim Panas, tapi dua bulan lagi kan dingin." Benar - benar pembicaraan random yang asal - asalan. "Hmm." "Walau panas tapi minim polusi, enak juga buat jalan kaki. Di tempatku kalau panas begini tambah sesak kalau ditambah polusi udara, langit biru seperti ini jarang sekali terlihat, lebih sering tertutup awan, kalaupun tidak ada awan, biru langitnya juga beda ... seperti biru pudar." Sophia sampai sedikit mendongak ketika Juna menyebut langit biru, dia tidak pernah memperhatikan, dia kira diseluruh dunia sama saja langitnya biru begini, ternyata orang di sebelahnya ini malah jarang melihat birunya langit, katanya. "Rumah kamu jauh dari sini?" tanya Juna yang belum mendapat tanggapan dari Sophia. "Dekat The Bean," jawab Sophia menyebutkan nama coffee shop tempat dia bekerja, berarti cukup jauh dari sini. "Oowh." Mereka menaiki Tram dari tempat pemberhentiannya, enaknya naik Tram ini selain gratis untuk rute tertentu, mereka bisa keliling kota Melbourne ini dengan nyaman. Tapi ternyata hanya dua pemberhentian saja. Sophia dan Juna melompat keluar dari Tram yang mereka tumpangi dari pusat kota Melbourne tadi. Kalau suasana di tengah kota tadi ramai dengan lalu lalang orang yang tergesa - gesa, apalagi ada banyak deretan kafe yang dipenuhi pengunjung, kalau sekarang tempatnya tidak terlalu hiruk pikuk. Juna menikmati pemandangan lain di kota ini, soalnya baru hari ini dia jalan - jalan di pusat kota dan sekitarnya. Sudah banyak Negara yang dia datangi saat liburan sekolah dulu bersama orang tuanya, memang rasanya berbeda ketika dia harus menjelajahi kota ini sendirian dan tinggal untuk waktu yang lama. "Ini pertama kali aku tinggal di luar negeri,” ucap Juna, padahal tidak ada yang tanya. tapi Sophia yang mendengarnya malah mengartikan kalau ini adalah pertama kalinya Juna ke luar negeri, perbedaan yang sangat jauh. "Tapi untung ada kamu yang bantuin," tambah Juna lagi. "Uhm." "Walau terlihat tidak ikhlas." Sophia mendengus, Tidak tahu diri sekali sih nih orang, sudah bagus diantar, masih pake bilang tidak ikhlas, sepertinya dia benar - benar perlu menjalankan rencana gilanya tadi,yaitu meninggalkan pria ini di dalam bis tujuan luar kota, ide yang bagus kan?. Pikiran buruk dan perasaan kesal menari - nari di kepala Sophia. "Kamu pasti sedang mengumpat aku ya?" Awalnya Sophia hanya diam tanpa menoleh tapi tanpa diduga dia malah terkekeh. Pria ini bukan penjahat, tapi gila! pikir Sophia. Juna jadi ikut tersenyum karena ucapannya membuat Sophia tertawa. "Kamu itu manusia aneh," ucap Sophia sambil menatap Juna. "Kamu juga." "Tapi setidaknya aku tidak menyebalkan kayak kamu." Juna hanya mengangkat bahunya santai. Sesama orang aneh tidak harus saling menuduh kan? Mereka berjalan beberapa blok hingga sampai di sebuah bangunan berlantai dua dengan fasad yang sederhana namun terlihat apik dan bersih. Kalau tidak dengan Sophia, mana mungkin Juna sampai di tempat ini. Sophia mendorong pintu depan untuk masuk ke dalam bangunan itu. Tampak seorang pria paruh baya sedang duduk di sofa dalam ruang yang sepertinya berfungsi sebagai ruang tamu atau malah resepsionis? Ntah lah. "Selamat pagi, aku mau bertanya soal kamar kosong disini, apakah ada?" Ini memang sudah menjelang siang, apalagi musim panas yang sudah berasa tengah hari ini, tapi mereka terbiasa mengucapkan selamat pagi kalo belum sampai jam dua belas teng, apalagi sekarang masih jam sebelas kurang sedikit. ."Selamat pagi, ya Kami ada satu kamar tersisa," jawab pria itu dengan ramah. "Saya Michael, yang mengurus tempat ini. Mau aku tunjukkan kamarnya sekarang?" "Sure," jawab Sophia. Dia senang karena Michael to the point, tidak membuang waktunya. Sophia dan Juna mengikuti Michael menaiki tangga ke lantai dua. "Bagaimana kamu tahu kalau disini tempat penyewaan kamar?" tanya Michael. "Temanku namanya Daniel pernah tinggal disini dua tahun sebelum dia pindah ke Brisbane bulan lalu." "Ah I see, aku tahu dia ... Daniel pemain basket itu kan?" "Betul ... aku pernah mampir kesini satu kali, dan aku terkesan dengan tempat ini, so aku membawa temanku kesini, dia sedang mencari tempat tinggal." Ada perasaan nyaman ketika Sophia menyebutnya sebagai teman, setidaknya dia sudah tidak semarah tadi, pikir Juna. "Ingatanmu bagus sekali," puji Michael sambil mengeluarkan kunci dan membuka pintu dihadapannya. "Ini kamar yang tersedia untuk disewa," ucapnya sambil mendahului masuk lalu diikuti Juna dan Sophia yang melangkah belakangan, mereka langsung disambut oleh penampakan sebuah kamar berukuran sekitar tiga kali tiga meter. Tidak besar, tetapi cukup untuk Juna yang tinggal sendirian. Di sudut kamar terdapat tempat tidur single yang belum ada seprainya, mungkin kalau sudah ada yang menyewa baru dipasang, lalu sebuah meja kecil dan lemari pakaian satu pintu. Penerangan kamar juga bagus apalagi jendelanya cukup besar. Yang membuat Juna merasa lega adalah kamar mandi yang bersih walau ukurannya imut - imut tapi terletak di dalam kamar. Kamar yang sedang dilihatnya ini bahkan hanya seukuran seperempat kamarnya di jakarta. "Ini lokasinya sangat strategis." jelas Michael tersenyum sambil berpromosi. "Memang, tempat ini tidak jauh dari tengah kota dan dekat dengan tempat kerja kamu nanti. Itu salah satu keunggulannya," ucap Sophia yang kini berdiri di samping Juna. Kemudian dia bertanya ke Michael, "Bagaimana dengan fasilitas lainnya? Ada dapur atau ruang bersantai?" "Ya, tentu saja ada, di lantai bawah, ada dapur yang bisa digunakan bersama. Kami juga punya ruang bersantai dengan beberapa sofa dan televisi," jawab Michael. "Jadi, penghuni di sini bisa bersosialisasi kalau mau," tambahnya lagi sambil menyibak gorden. "Lihat lah pemandangan dari sini, bagus kan?" "Ya," jawab Juna yang mendekat ke arah jendela. Pemandangan bagus menurut Michael itu adalah rumah - rumah orang di seberang jalan, pohon - pohonnya tidak terlalu banyak. Kamar ini terlihat sangat terawat, tidak ada bau lembab atau sejenisnya, mungkin karena pencahayaan yang cukup dari jendela tadi. "Ada fasilitas air hangat dan air dingin dan juga pendingin dan pemanas ruangan." Juna mengangguk, merasa cukup puas dengan penjelasan Michael apalagi sambil ditunjukkan langsung apa yang dia sebutkan. "Oke, bagaimana dengan biaya sewanya?" "Harga sewanya dua ratus lima puluh dollar per minggu,"jelas Michael, kalau di rupiahkan sekitar dua juta lima ratus ribu per minggu, tergantung kurs hari itu untuk harga sewa kamar ukuran tiga kali tiga meter itu. "Dan ada uang jaminan sebesar seribu dolar yang harus dibayar di awal. Tapi itu akan dikembalikan kalau kamu tidak melanggar peraturan dan kamarnya dalam keadaan baik saat kamu keluar nanti." Juna merenung sejenak, benar ucapan Sophia tadi. Juna mulai berhitung di kepalanya. Kalau dia menghitung dari gaji yang akan diperoleh dari bekerja nanti maka gajinya per dua minggu itu masih bisa ditabung setelah dikeluarkan untuk membayar sewa dan kebutuhan hidupnya."Oke, saya setuju, Saya akan menyewa kamar ini." "Bagus," kata Michael sambil tersenyum lebar, "Kamu bisa mulai mengisi formulir sewa dan bisa mengatur pembayarannya, mungkin nona ini bisa membantu kamu dalam mengisi formulirnya." Sophia mengangguk. "Tentu saja, aku akan membantu menyelesaikan urusan semuanya." Sebelum mereka turun lagi, Juna melihat sekali lagi ke dalam kamar itu," Perfect!" serunya dalam hati. Sesampai di lantai bawah, Juna disodori formulir sewa sekaligus cara pembayaran, Sophia membantunya untuk mengisi formulirnya. "Kamu punya kartu kredit?" tanya Sophia. Juna menggeleng, "Adanya debit card." "Bagaimana bisa kamu tidak punya kartu kredit?" "Aku belum bekerja, bagaimana bisa mendapatkan kartu kredit? Di Indonesia tidak bisa." "Kan bisa apply kartu tambahan dari rekening orang tua." "Apakah semua orang tua bisa memberikan kartu tambahan pada anaknya?" Sophia melihat Juna dengan pandangan heran. "What?" tanya Juna membalas tatapan heran Sophia. "Lupakan." Sophia menatap lagi kertas formulir sewa. dan menuliskan sesuatu di kolom - kolom pertanyaan, tentu saja dia bertanya pada Juna kalau dia tidak tahu jawabannya. Setelah semua formalitas selesai, Juna merasakan campuran perasaan lega dan antusias. "Pembayaran pakai debit ya?" tanya Michael ketika membaca formulir Juna dan mencatat di laptopnya. "Ya." "Boleh aku minta sekarang?" "Ya, bisa." Juna mengeluarkan dompetnya dan mengambil kartu debit yang diterbitkan oleh salah satu bank Australia, tentu saja kartu debit baru, hari ke dua datang di Melbourne ini dia bersama Anton dan Rudi Wu langsung membuka rekening bank. "Kamu akan pindah kapan rencananya?" tanya Michael. "Sore ini, aku akan mengambil barang - barang dari tempatku menginap." "Kamu sudah tahu jalan kembali ke sini?" Juna tahu tapi dia inginnya berkata tidak saja. kini malah menoleh ke Sophia. "Aku baru tiga hari disini, sepertinya aku belum terlalu hafal jalan dan kendaraan umum yang akan dipakai," jawab Juna masih sambil melihat ke arah Sophia, dan menunjukkan wajah minta dikasihani. Dia membuat seolah - olah yang bertanya tadi adalah Sophia, padahal Michael, benar - benar lemparan bola yang cantik dan langsung disambut Sophia dengan berputarnya bola mata hazelnya. "Baiklah, ini terakhir ... akan aku pastikan kamu sampai disini nanti sore tanpa nyasar." Juna menyambut ucapan Sophia dengan senyum lebar, Michael juga. "Kamu memang gadis yang baik ... dan kamu beruntung mengenalnya," ucap Michael tertuju pada Shopia lalu beralih ke Juna. "Baiklah kami akan pergi dulu dan akan kembali lagi nanti," pamit Sophia. "Ini kunci kamar, kalau aku tidak ada sore nanti, kamu bisa langsung masuk saja, Aku tidak selalu standby disini, kunci ini untuk pintu depan dan pintu kamar," jelas Michael sambil menyerahkan dua anak kunci pada Juna. "Ok terimakasih." "Sophi, terima kasih ya sudah temani aku," kata Juna tulus ketika mereka sudah berada di luar tempat tinggal Juna yang baru. Untuk pertama kali Sophia merasa nyaman dengan panggilan Juna barusan, selain namanya disebut dengan benar, suaranya juga enak didengar. "Ya sama - sama. Ini baru awal petualangan kamu di Melbourne. Semoga semuanya lancar. Tapi aku masih penasaran, kamu sebenarnya mencari apa sih ke sini, sampai maunya datang jauh - jauh dari Negara kamu?" "Aku mau kerja untuk cari uang dan pengalaman." "Kamu kuliah?' " Sudah selesai." "Lalu kenapa kerja begini? Aku aja kalau lulus kuliah mau kerja kantoran." "Memangnya kenapa? Aku mau kerja apa aja untuk menabung." "Memangnya kamu mau beli apa?" "Mobil."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN