[Rumah Lux, pukul 23:41]
Malam itu hujan masih turun dengan deras, suara guntur dan kilatan petir di atas sama terus beradu. Beberapa jam lalu Lux tiba di rumahnya, gadis itu terpaksa pulang karena perintah dari sang kakek. Berat? Tentu saja, ia kini dihantui rasa gelisah karena merindukan pria kesayangannya itu.
Lux menyudahi acara belajarnya, ia tak bisa berkonsentrasi pada buku yang sejak tadi menemaninya. "Aku benar-benar akan gila, kenapa kakek harus setega itu."
Lux berdiri, ia menghampiri jendela kamarnya dan membuka tirai putih yang menjadi penutup kaca. Gadis itu menatap rintik hujan, bahkan mengamati beberapa orang mabuk yang melewati kawasan tempat tinggalnya.
"Orang-orang aneh yang menghabiskan waktunya untuk mabuk," ujar Lux.
"Sangat menjijikkan." Gadis itu segera menutup tirai, ia melangkah ke arah ranjangnya dan berbaring di atas sana. Mata Lux menatap langit-langit ruangan, sedangkan tangannya direntangkan ke atas.
"Satu wortel, dua wortel, tiga wortel. Astaga … kakek begitu jahat!" maki Lux pelan.
Suara gadis itu terdengar menggema, bahkan ia merasa terganggu karena suaranya sendiri. Lux menggeliat, tangannya tanpa sengaja menyentuh tas berwarna putih.
Dengan cepat Lux segera duduk, ia mengingat keanehan buku itu dan ingin mengeceknya sekali lagi. Rasa penasaran membuatnya membatalkan niat untuk tidur, rasa ingin tahu segera menerjang dan memberontak kasar.
Tangan Lux dengan cepat mengeluarkan buku dongeng tua, ia menatap sampul berwarna coklat itu dan merasa semakin aneh. "Kenapa buku ini terlihat semakin tipis?"
Lux segera membuka buku tersebut, ia merasa aneh saat melihat banyaknya halaman yang sudah terkoyak. "Matilah aku! Siapa yang merobek buku ini?"
Lux mencoba mengingat beberapa hal, ia hanya meninggalkan tas dan buku itu diatas meja cafe dan itu juga tidak berlangsung lama. Saat itu Lux sedang berbincang masalah tugas kuliahnya bersama seorang teman, dan ia meninggalkan mejanya untuk pergi ke toilet.
Apa mungkin temannya yang melakukan hal separah itu? Tetapi apa motifnya? Ribuan pertanyaan kini berbaris dengan rapi, bahkan Lux sendiri sampai mempertanyakan apa temannya itu sangat membenci kakeknya atau juga dirinya.
"Tidak. Kina bukan orang seperti itu," ujar Lux.
"Kenapa hari ini begitu aneh?" tanyanya kemudian.
Lux segera membaringkan tubuhnya, ia menatap lembaran yang masih tersisa dan membacanya. "Hei buku tua, apa kau ingin menakutiku?"
"Kenapa sekarang ada tulisan di kertasmu? Apa kau buku berhantu?"
"Kenapa kakek bisa begitu menyayangimu? Apa istimewanya buku dongeng menyebalkan sepertimu?"
Sebanyak apa pun Lux bertanya, ia tetap tidak mendapat jawaban. Dan ia merasa bodoh karena bicara pada buku tua, terlebih lagi itu buku dongeng.
Lux memutuskan untuk melihat-lihat halaman yang tersisa, ia mengamati gambar peperangan dan kehancuran. Apa yang terjadi? Bukankah buku itu adalah dongeng yang sering dibaca sang kakek berulang kali dengan wajah berseri-seri? Apa kakeknya menyukai cerita yang tragis?
Lux merasa kepalanya begitu pusing, ia tak sanggup membaca hati orang yang membesarkannya. Gadis itu meletakkan buku tua di atas kepalanya, ia kemudian memejamkan mata dan mencoba untuk tidur.
"Buku tua, sebaiknya kau cepat kembali seperti semula. Kakekku, begitu mencintaimu."
Setelah mengatakan hal itu benar-benar tertidur. Gadis itu merangkai mimpi dan mencoba untuk lebih tenang.
…
Suara kicau burung terdengar ribut, embusan angin sepoi membelai kulit lembut yang kini terpapar cahaya matahari pagi. Ombak di pantai masih setia menghantam bebatuan, bahkan beberapa orang kini berkumpul sambil menatap aneh ke arah seorang gadis yang tidur nyenyak di atas pasir.
Bisik demi bisik terdengar, mata demi pasang mata terus mengamati. Tetapi gadis itu masih terlelap dan menikmati mimpi indahnya.
"Siapa gadis itu? Kelihatannya dia orang asing," ujar salah satu wanita paruh baya. Wanita itu mengenakan gaun panjang dan mengembang, ia juga membawa beberapa kain putih ditangannya.
"Entahlah, aku curiga jika gadis itu salah satu b***k yang kabur." Suara seorang pria juga terdengar, ia menggendong bocah laki-laki dan masih setia mengamati gadis asing tersebut.
"Sebaiknya kita melaporkannya kepada Kaisar, jika gadis itu bangun aku takut akan membahayakan warga sekitar."
"Tunggu. Jangan sembarang melapor, bagaimana jika dia salah satu putri bangsawan yang sedang menikmati matahari pagi?"
"Ah, kau benar juga. Tapi gadis itu begitu berbeda, coba kalian lihat wajahnya."
Di lain sisi, ketika orang-orang itu terus berdebat, gadis yang mereka bicarakan malah membuka mata. Iris emerald-nya menatap sekitar, dan ia masih mencoba mengumpulkan nyawanya dengan sempurna.
"Hoam …" gadis itu menggeliat, dan menguap dengan seenaknya. Ia merasa ada beberapa hal yang aneh sekarang, matanya menatap langit biru dengan awan putih yang terus bergerak di atas sana.
"Apa kakek pulang dan mengubah dekorasi kamarku?" Ia segera memijat kepalanya yang sedikit berdenyut. Rasa pusing begitu terasa, bahkan ia harus memejamkan mata beberapa kali guna menahan rasa sakit.
"Kakek, apa Kakek pulang dari rumah sakit?" suaranya terdengar agak nyaring.
"Lihat, dia sudah bangun."
Lux mengalihkan tatapannya, pupil matanya sedikit menyipit guna mengamati orang-orang yang masih berkumpul di bawah pohon. Ia segera duduk, mengucek matanya beberapa kali dan menguap sambil terus mengawasi orang-orang asing di depannya.
"Siapa kalian?" tanyanya kemudian.
"Apa yang kalian lakukan di kamarku?"
"Nona, apa kau yakin pantai ini kamarmu?" tanya salah satu dari mereka.
Gadis itu tersadar, dengan segera ia berdiri dan mengamati sekitar. Laut yang begitu luas, suasana yang tenang bahkan tidak terlihat orang-orang yang mengenakan bikini sekarang. Lux mengamati orang-orang yang masih berdiri agak jauh darinya, model pakaian orang-orang itu tidak terlihat seperti pakaian pada abad-21.
"Di mana ini?" tanyanya. Lux juga berusaha tetap tenang dan tidak terlihat seperti orang bodoh karena panik.
"Kau orang asing?" tanya salah satu dari pria di bawah pohon.
"Bisakah kalian menjawab pertanyaanku?" tanya Lux lagi. Bagaimana ia bisa memastikan dirinya orang asing atau bukan sekarang, ia bahkan tak tahu dirinya ada di mana.
"Dia terlihat aneh."
"Benar, cepat laporkan hal ini pada Kaisar."
"Lihat, bajunya sangat terbuka."
"Apa dia p*****r yang dibuang?"
"CUKUP!" tegas Lux dengan suara nyaring.
"Aku bertanya, ini di mana?" tanyanya lagi.
"Pirateneiland, itu nama tempat ini."
"Apa?" tanya Lux. Ucapan orang itu benar-benar bisa ia dengar, tetapi ia masih tak percaya.
"Kau berada di Pirateneiland."
"Tidak mungkin," gumam Lux. Ia kembali mengamati tempat itu, menyisir seluruh bagian pantai yang sialnya memang terlihat asing.
"Apa di sini ada pelabuhan?" tanya Lux.
"Benar," sahut seorang wanita tua.
"Apa nama pelabuhan itu Haven Van Licht?"
"Benar, Nona."
Lux segera mencubit kulit pada tangannya, ia meringis sakit. "Sial! Ini benar-benar nyata."