Lux menghentikan laju sepedanya, ia segera turun lalu membuka pagar rumah dan berlari ke arah pintu. Gadis itu merogoh saku jaketnya, segera mengeluarkan anak kunci dan membuka pintu.
Kakinya melangkah ke dalam rumah, ia bahkan tidak menutup daun pintu dan membiarkannya terbuka lebar. Sekarang ia tak punya banyak waktu, rasa khawatir dan jengkel juga bersatu padu di dalam hatinya.
Suara berisik terdengar nyaring, derap langkah kaki Lux benar-benar membuat ketenangan rumah itu runtuh. Napas gadis itu terengah lelah, ia menghentikan laju langkahnya dan menatap pintu coklat tua dengan corak yang rumit.
Ruang baca sang kakek berada di lantai dua, ruangan itu juga menjadi jarak kamarnya dan sang kakek. Lux segera meraih knop yang menghias daun pintu itu, ia memutarnya lalu masuk ke dalam sana.
"Di mana Kakek menyimpannya." Lux berjalan ke arah rak buku dan menatap buku-buku tebal di sana. Tidak ada buku yang ia cari, hanya sekumpulan buku filsafat dan sejarah yang tersusun dengan rapi.
Lux melangkah ke arah meja baca sang kakek, ia segera membuka laci meja dan masih tidak melihat buku itu di sana. Rasa jengkel semakin mencekik, saat ini ia sedang terburu-buru dan buku itu menghilang entah kemana.
Tetapi bukan Lux namanya jika menyerah. Ia segera keluar dan masuk ke kamar kakeknya, gadis itu menatap ke arah nakas dan menepuk keningnya. Buku itu ada di sana, dalam posisi terbuka dan ia yakin sang kakek lupa menutupnya semalam.
Tanpa mengulur waktu, Lux segera bergegas dan meraih buku itu. Ia menatap kearah gambar sebuah istana besar dan disana terlihat ada tiga belas orang pria yang seakan membelakanginya.
Lux menggeleng pelan, ia segera menutup buku dan membaca judul yang ada di sampulnya. De Dame En Koningen Van Piraat, itu adalah judul dongeng tua tersebut.
"Selera kakek begitu aneh," gumam Lux yang segera keluar dari kamar kakeknya.
Gadis itu segera menuruni anak tangga, lagi dan lagi suara langkahnya terdengar begitu ribut. Tak berapa lama ia sudah berada di depan pintu masuk, Lux segera keluar dan kembali mengunci rumahnya dengan rapat.
Lux melangkah ke arah sepedanya, ia kemudian menutup pagar rumah lalu segera meninggalkan tempat itu.
Lagi dan lagi, suasana saat itu terlihat begitu mendung dan hujan bisa turun kapan saja. Lux semakin mempercepat kayuhan sepedanya, khawatir jika hujan akan turun cepat dan membuat buku tua di tas kecil putihnya basah.
Angin mulai berembus kencang, bahkan suasana jalan begitu sepi sekarang. Lux tetap mengayuh sepedanya, melewati rumah-rumah yang mayoritas memiliki warna cerah.
Gerimis mulai turun, titik-titik kecil itu mengenai wajah Lux dan terasa begitu dingin. "Tunggulah sebentar lagi!" omel Lux.
Bukannya mendengarkan Lux, hujan deras tiba-tiba saja turun. Lux membelokkan sepedanya dan segera berteduh di depan toko roti tua. Gadis itu memeluk tas putih yang berisikan buku dongeng milik sang kakek, ia ingin sekali bertengkar dengan hujan jika saja itu masuk akal.
Di saat Lux sedang menunggu hujan reda, ponselnya kembali bergetar. Gadis itu segera merogoh saku celananya dan memeriksa nama penelepon yang menghubunginya.
"Ada apa, Grecia?" tanya Lux setelah menjawab telepon dari temannya. Mata gadis itu menatap rinai hujan yang semakin deras, bahkan angin kencang menghempas tubuhnya dengan kasar.
"Apa kau masih lama?"
"Aku sedang berteduh di depan toko roti. Ada apa?"
"Cepat datang ke rumah sakit," ujar Grecia dari seberang sana.
Lux menatap jengkel, sambungan telepon terputus dan ia tak bisa membantah. Ada apa ini? Kenapa harus secepatnya ke rumah sakit?
…
Satu jam berlalu dengan cepat. Lux juga tidak beranjak dari tempat ia berteduh, ia tetap diam dan menunggu hujan reda.
Bukannya ia tak peduli pada kesehatan kakeknya, tetapi ia berusaha melindungi buku tua kesayangan sang kakek. Ia tak ingin buku itu rusak, ia juga tak siap menerima tatapan sedih dari kakeknya.
Lux menatap kanan dan kiri, sepertinya jalanan semakin sepi dan terasa mencekam. Ponsel Lux juga sudah kehabisan baterai dan kini tak bisa menyala.
Lux ingat bagaimana sang kakek mencurahkan isi hati kepadanya. Tentang bagaimana pria tua itu menjaga buku dongeng tua, tentang kebahagiaan masa kecil sang kakek saat mendengar atau membaca buku itu.
"Lama sekali," ujar Lux sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah rintik hujan. Ia bisa merasakan titik hujan itu hancur di tangannya, bahkan Lux bisa mendengar jelas gemuruh angin kencang yang kembali datang dari arah lautan lepas.
Lux kemudian mundur dan bersandar pada dinding, ia perlahan mengendurkan pelukannya pada tas berisi buku.
Gadis itu termenung, kini ia penasaran seperti apa isi buku itu. Pertanyaan yang paling menghantuinya sekarang hanya tentang buku itu, dan terus saja tentang buku tua itu.
Lux menelan ludahnya, haruskah ia membaca dongeng itu sekarang? Lalu … apa dongeng itu akan mengubur rasa bosan karena menunggu hujan reda?
Lux baru saja ingin membuka tas putih, ia ingin memuaskan rasa penasarannya dan membaca buku itu perlahan-lahan.
"Lux, aku sudah mencarimu begitu lama. Astaga … kenapa ponselmu tak bisa dihubungi?" tanya seorang gadis.
Lux mengalihkan perhatiannya. Ia bertatap muka dengan Grecia yang baru saja keluar dari taksi dan menghampirinya dengan payung.
"Kau membuatku kaget!" Gadis itu segera mengurungkan niatnya, ia merasa terselamatkan saat Grecia datang membawa taksi untuk menjemputnya.
"Upsss ... maafkan aku."
"Ponselku kehabisan baterai," sahut Lux.
"Ayo, kita harus segera ke rumah sakit. Profesor Drecia sudah menanyakanmu ratusan kali," ujar Grecia.
"Siapa yang menjaga Kakek di sana?"
"Ada beberapa Rektor yang datang, mereka sedang bersama Profesor Drecia sekarang."
Lux mengangguk, ia segera melangkah dan mengikuti Grecia. Gadis itu melirik ke arah sepedanya. Keduanya kini berjalan di bawah payung, mereka melangkah ke arah taksi yang sejak tadi menunggu mereka.
Grecia lebih dulu masuk ke dalam taksi, Lux segera menyusul dan menutup pintu. Ia menatap ke arah luar, melihat sekali lagi sepedanya yang masih dimandikan air hujan.
"Bisa pinjamkan ponselmu?" tanya Lux. Matanya masih menatap keluar, sedangkan tangannya terulur.
"Ada apa?" Grecia menatap tangan Lux yang terulur dan telapak tangan Lux dalam posisi telentang.
"Sepedaku. Aku tak bisa meninggalkannya," sahut Lux.
"Jalan," ujar Gracia dan segera memberikan ponselnya. Ia segera bersandar, matanya menatap rinai hujan yang masih setia turun.
Lux menghubungi seseorang menggunakan ponsel Gracia, ia terlihat sibuk mengetik pesan dan tersenyum saat sudah mendapat jawaban. Gadis itu segera memberikan ponsel itu kepada Grecia, ia kemudian membuka tas berwarna putih dan benapas lega.
"Buku apa itu?"
Lux melirik Grecia. "Buku kesayangan Kakekku."
Grecia mengangguk, taksi yang mereka tumpangi sudah menjauh dari toko roti tua.