[Albinusdreef 2, 2333 ZA Leiden, Belanda. Pukul 11:33]
Leiden University Medical Center atau LUMC adalah rumah sakit universitas yang berafiliasi dengan Leiden University, yang membentuk fakultas kedokteran. Terletak di Leiden, Belanda. LUMC adalah pusat medis universitas modern untuk penelitian, pendidikan dan perawatan pasien.
Lux dan Gracia melangkah cepat, lorong rumah sakit terlihat agak ramai sekarang. Setelah Mrs. Bella memberi kabar tentang keadaan sang kakek, Lux segera bergegas dan tidak peduli pada orang-orang yang menegurnya. Gadis itu bahkan melupakan tas selempangnya, yang ada dipikirannya sekarang hanya sang kakek.
"Lux, Profesor Drecia pingsan saat berada di kelas."
Ucapan itu masih bisa Lux ingat dengan jelas, wajah panik Mrs. Bella bahkan terus terbayang di pelupuk matanya sekarang.
Lux menuju ke arah Unit Gawat Darurat, dan saat ia sampai di depan ruangan itu seorang pria berumur sekitar enam puluh tahun masih duduk di kursi tunggu.
"Lux, akhirnya kau datang." Pria itu segera berdiri, ia menghampiri Lux yang menatap ke arah pintu yang tertutup rapat.
"Profesor Drecia pingsan saat mengajar. Dokter sedang menanganinya sekarang," ujar pria itu lagi.
Lux tak bicara, matanya hanya terus terfokus pada pintu yang tertutup. Entah mengapa ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi, bahkan Lux tidak merasakan kakinya berpijak pada lantai.
"Lux. Sebaiknya kita segera duduk," ujar Grecia. Ia menarik tangan Lux untuk duduk dan menunggu.
Lux tak bisa melawan kehendak Grecia, tidak bisa pula menunjukkan reaksi. Lux menundukkan kepala dan menahan air mata yang siap untuk jatuh.
Bagaimana jika ia kehilangan sang kakek? Pertanyan itu begitu saja melintas di kepala cantiknya. Lux memang selalu memikirkan kemungkinan terburuk dalam segala hal, ia tak pernah berpikir hal yang baik jika menyangkut kesehatan. Bukan hanya karena alasan kesehatan, tetapi dengan kemungkinan terburuk maka ia akan lebih siap menghadapi hal tersebut kelak.
Beberapa saat berlalu dengan cepat. Suara pintu terbuka, menghancurkan keheningan tiga orang yang larut dalam pikiran mereka masing-masing.
"Lux Drecia, ikuti aku." Seorang wanita segera melangkah pergi, ia juga tak peduli pada dua orang yang ada di dekat Lux.
Lux tak banyak bertanya, ia segera bangkit dan mengikuti langkah dokter itu. Hanya ada keheningan, bahkan ia tidak ingin bertanya sekarang.
Lux dan sang dokter kini sudah berada di depan sebuah pintu, mereka segera masuk. Lux tidak tertarik untuk bertanya lebih dulu, ia benar-benar menenangkan diri untuk mendengar penjelasan dari sang dokter.
"Silahkan duduk," ujar dokter itu kemudian.
Lux segera duduk dan menatap dokter yang merawat kakeknya. Gadis itu masih terus berusaha kuat, ia tak bisa lepas kendali dan membuat dirinya dan sang kakek terlihat semakin menyedihkan.
"Profesor Drecia menderita pneumonia," ujar dokter itu secara langsung.
"Sebenarnya ini sudah berlangsung lama. Dia memintaku untuk merahasiakan hal ini darimu. Maafkan aku, Lux."
Lux mengembuskan napasnya sedikit berat. Pneumonia adalah infeksi yang menimbulkan peradangan pada kantung udara di salah satu atau kedua paru-paru.
Pada pneumonia, kantung udara bisa berisi cairan atau nanah. Infeksi dapat mengancam nyawa siapa pun, terutama pada bayi, anak-anak, dan lansia diatas enam puluh lima tahun.
"Kau jelas tahu bagaimana penyakit itu, aku tak bisa menjamin keselamatan Profesor Drecia."
"Aku mengerti," sahut Lux.
"Kau tak ingin menangani kasus ini?" tanya wanita itu.
"Apa ini tidak masalah? Aku hanya mahasiswi dan aku belum berani mengambil langkah untuk menangani pasien," sahut Lux.
"Lux, kau berbakat dan kau bisa melakukannya. Setidaknya kau bisa merawat Profesor sebelum ia menutup usia."
"Aku akan menjaganya, dan aku menyerahkan bagian pengobatan kepada yang lebih berpengalaman."
"Baiklah, aku akan berusaha menangani masalah ini."
Lux segera berdiri. "Dokter Skye, saya permisi."
Dokter Skye hanya mengangguk, ia menatap Lux yang baru saja keluar dari ruangannya. Dokter Skye adalah seorang internist, ia juga orang yang banyak mengajari Lux tentang ilmu kedokteran.
…
Lux yang baru saja keluar dari ruangan Dokter Skye masih tetap diam. Gadis itu melangkah pelan dan menuju ke arah toilet. Ia perlu air untuk mencuci wajahnya sekarang, apa yang baru saja Dokter Skye sampaikan menamparnya begitu keras.
Gadis itu berhenti melangkahkan, ponsel yang berada di saku celananya bergetar agak lama. Dengan terpaksa Lux meraih ponselnya, ia menatap nama Grecia yang kini terpampang jelas di layar datar ponselnya.
Lux segera menjawab panggilan itu, mendekatkan ponsel ke arah telinga. "Ada apa, Grecia?"
"Lux, Profesor memintamu membawa buku dongeng kesukaannya."
"Apa?" tanya Lux. Ia benar-benar ingin berteriak kesal sekarang, apa kakeknya sudah sadar dan meminta buku dongeng itu?
"Lux," ujar seseorang di seberang sana.
"Kakek."
"Bisa Kakek meminta bantuan?"
Lux tak menjawab, ia melangkah lebih cepat ke arah toilet lalu masuk ke dalam sana. Suara sang kakek terdengar begitu lemah, membuatnya tak tega untuk menyuarakan protesnya kali ini.
"Bisa kau ambilkan buku dongeng itu?" tanya sang kakek lagi.
Lux menimbang permintaan itu beberapa kali, gadis itu tidak menjawab beberapa detik karena merasa sangat kesal. "Baiklah, aku akan pulang ke rumah lebih dulu."
"Terima kasih, Kakek menyayangimu."
"Aku juga menyayangimu, Kakek."
Sambungan telepon segera terputus, Lux menatap kaca dan menyimpan ponselnya kembali. Gadis itu segera menyalakan kran wastafel lalu mencuci wajahnya dengan air dingin. Terasa lebih segar, tetapi kenyataan tetap saja menyiksanya seperti musim panas di tengah gurun pasir.
Lux meraih handuk kecil yang masih tergulung rapi di samping kirinya, ia segera mengeringkan wajahnya dan kembali menatap kaca.
Gadis itu memutuskan untuk keluar, membawa handuk kecil di tangannya dan meletakkan handuk itu pada keranjang kain kotor di sudut ruangan. Tangannya dengan cepat menarik daun pintu, kemudian melangkah dengan terburu.
Lux melangkah tanpa memperhatikan jalan, gadis itu kembali memasang wajah datar dan dinginnya dengan sempurna.
"Kenapa harus dongeng itu lagi," gumam Lux.
Rasa kesal dan kasihan memenuhi otaknya. Pada satu sisi ia sama sekali tak ingin menuruti keinginan sang kakek, tetapi disisi lain ia tak bisa menolak permintaan itu.
Brak!
Tubuh Lux segera tersungkur ke belakang, ia tanpa sengaja menabrak seseorang. Gadis itu menengadahkan kepalanya, menatap lekat pria berambut hitam nan panjang yang balas memandangnya.
Segera saja Lux bangkit berdiri. "Maaf, Tuan. Saya tidak memperhatikan jalan."
Pria itu hanya mengangguk, ia kemudian pergi dari hadapan Lux.
"Oh, sangat menyebalkan!" maki Lux pelan.
Lux segera melanjutkan langkahnya, ia menuju ke arah pintu keluar. "Kenapa hari ini semuanya begitu menyebalkan."
Brak!
Sekali lagi tubuh Lux menabrak seorang pria, beruntung kali ini ia tidak terjatuh.
"Nona, maafkan saya."
"Pergilah. Aku memaafkanmu," ujar Lux. Ia juga segera melangkah, tidak ada waktu untuk beramah-tamah sekarang.