“Daddy Akhyar suka sama Ibu. Dia bilang kepingin lebih dekat mengenal ibu. Yah, setidaknya teman ngobrol,” ujar Tata akhirnya.
“Ibu nggak mau, Rena. Ibu sudah senang begini. Kalo Pak Akhyar masih nanya-nanya ke kamu soal Ibu, ya kamu nggak usah tanggapi. Bilang Ibu kepingin hidup tenang. Kalo mau cari teman ngobrol, mbok ya cari yang lain.” Bu Ola mengelus-elus pundak Hera yang terasa lengket, meski tubuhnya terkena angin dari kipas angin.
Tata dan Farid saling tatap.
“Maaf, Bu. Aku cuma menyampaikan perasaan Daddy Akhyar aja. Nggak bermaksud menyinggung ibu atau bagaimana,”
“Iya. Nggak papa. Lebih baik kamu terus terang. Daripada ngomong di belakang. Ibu justru senang kalo kamu ternyata juga didekati sama Pak Akhyar,”
“Emang ada selain aku, Bu?”
“Bu Hanin,”
Farid dan Tata terkekeh saat melihat wajah sewot Ola. Tampaknya Akhyar benar-benar serius ingin mengenal ibu mereka. Ternyata Akhyar memasang jaring lain untuk mendekati Ola.
“Kamu kenal Pak Akhyar sebelumnya, Rena?” tanya Ola tiba-tiba. Menurutnya aneh saja Akhyar mendekati Tata untuk mengenalnya. Kenapa tidak yang lain? Guntur atau Farid sekalian? Atau Ayu? Kenapa Tata? Apalagi saat acara pernikahan Ayu Tata dan Akhyar terlihat akrab.
“Daddy Akhyar itu teman bisnis Papa Corrin, Bu. Papa Corrin sering minjam uang perusahaan Daddy untuk memperlancar bisnis usahanya. Sampe sekarang masih sering berhubungan bisnis.”
Ola manggut-manggut. Pecah satu teka teki yang tertanam di benaknya. Jadi wajar Akhyar mendekati Tata saat itu.
“Baik banget, Bu. Dermawan,” gumam Tata pelan. Nadanya sangat hati-hati.
“Ya. Ibu tau. Baik. Waktu acara Ayu, dia ambilin ibu cocktail,” balas Bu Ola santai. “Menurut ibu dia pandai mengambil hati orang-orang yang menjadi lawan bicaranya,” lanjut Ola sambil memainkan rambut keriwil Hera.
“Terus, ibu diajak ngobrol nggak?” Tata mulai kepo.
“Ya … kita ngobrol seputar keluarga, cucu … nggak lama,” tanggap Bu Ola santai.
“Udah, Re. Nggak usah terlalu dipikirkan. Ibu baik-baik saja begini. Sampaikan saja ke Pak Akhyar kalo ibu nggak mau diganggu. Kamu lebih baik fokus masmu, anakmu.…”
Tata mulai gelisah.
“Tapi, Bu. Maaf kalo aku lancang. Aku kasih nomor ibu ke Daddy,” ungkap Tata takut-takut. Khawatir mertuanya akan memarahinya. Tapi ternyata Bu Ola bersikap biasa saja.
“Ya udah terlanjur. Emang seharusnya kamu nggak ngasih nomor ibu tanpa seizin Ibu,” ujar Ola pasrah.
Farid tatap Tata dengan mata sedikit melotot, namun tangannya tetap terus membelai kepala Tata.
“Maaf, kalo dia nelfon Ibu suatu saat. Karena nomor ibu aku yang kasih tau ke Daddy,” ucap Tata. Ada nada sesal di ucapannya.
“Ya. Nanti ibu tinggal bilang nggak mau ngobrol saja. Syukurlah kamu kasih tau sekarang. Kalo dia telpon ibu, Ibu jadi nggak penasaran siapa yang kasih nomor ibu.”
Tata sedikit lega karena mertuanya tetap bersikap tenang. Apalagi setelahnya dia mengajak Hera bermain seakan ingin cepat melupakan apa yang menjadi pembicaraan antara dirinya dan menantunya.
***
Tata menghela napas panjang setelah menutup panggilannya. Dia letakkan ponselnya di atas meja belajar Farid di kamar Farid. Wajahnya sedikit menunjukkan kekesalan.
Farid yang sedang sibuk menata pakaian di dalam kopor besar tertawa kecil melihat sikap istrinya.
“Masih maksa dateng?” tanya Farid akhirnya.
“Iya. Aku udah bilang nggak usah, nggak enak sama ibu. Eh dia ngambek,” jawab Tata. Dia ikut menata pakaian yang berada di dalam kopor kecil milik Hera.
Farid menggelengkan kepalanya membayangkan seorang pria lima puluh tahun merajuk.
“Orangnya ngambekan ya, Re?”
“Kata Sheren yang pernah dekat sama dia sih iya. Aku kan dulu juga dekat sama Daddy karena sering antar Sheren ketemuan dia di café. Kalo misal kita nggak menuhi keinginan dia nih, bisa seminggu didiemin, atau mungkin selama-lamanya kalo bener-bener bikin dia kesel.”
“Wah. Nggak cocok sama Ibu. Ibu itu paling nggak suka sama orang yang cepat ngambekan,”
Tata menggidikkan bahunya sejenak. “Tau tuh, opa-opa,” ucapnya sedikit menggerutu. Tapi seketika wajahnya berubah. “Lucu kali ya ngebayangin Daddy Akhyar pacaran sama ibu,” gumam Tata menahan tawanya. Farid juga ikut tertawa.
“Kakek-kakek sama eyang-eyang. Hahaha … apalagi kalo mereka sama-sama lagi ngambek. Duh, kita-kita yang repot,”
Farid tertawa keras membayangkan apa yang diucapkan istrinya.
“Gimana, Mas?”
“Apanya yang gimana?”
“Apa kita kasih tau ibu kalo besok itu Daddy mau ikut antar kita ke Bandara?”
Farid terdiam. Bingung menentukan sikap.
“Nggak usah, Re. Nanti Ibu malah nggak mau ikut lagi ke Bandara,” ujar Farid akhirnya. Dia tampak tidak semangat membayangkan wajah resah ibunya jika bertemu Akhyar besok siang di Bandara.
“Yah. Semoga ibu nggak papa kalo ketemu dia besok,” harap Farid.
“Maaf, Mas. Aku tadi udah bilang nggak perlu. Tapi dia maksa. Mau aku kerasin aku nggak tega, orang tua soalnya. Apalagi dia bilang kangen Hera.”
“Duh segitunya mau dekat ibu. Bawa-bawa Hera lagi.”
Farid lagi-lagi menggelengkan kepalanya.
“Iya, Mas. Sampe dia bilang dia akan jamin pendidikan Hera sampai kuliah.”
Farid mendelik.
“Kita masih mampu, Re,”
“Bukan masalah mampu atau nggak. Aku udah bilang, dia itu senang banget kalo pemberian dia diterima orang-orang. Sugar babiesnya aja dulu anak-anak berada kok.”
“Ck. Aneh.”
“Emang.…”
“Ada orang kayak gitu,”
“Iya. Dan suka sama ibu,”
Lagi-lagi Farid menggeleng. Dia sangat berharap ibunya tidak akan merasa kecewa jika bertemu Akhyar di Bandara besok siang.
***
Selama berada di dalam taksi menuju Bandara, Ola terus mengajak Hera berbicara. Ola tahu Hera tidak memahami apa yang dia bicarakan. Tapi tampaknya Hera sangat menikmati saat-saat bersama eyangnya itu di dalam taksi. Sesekali terdengar tawa riangnya ketika eyangnya menggelitik perutnya yang gendut. Atau dia berseru mengucapkan kata-kata yang eyangnya tidak mengerti, tapi Ola pura-pura mengerti saja.
“Duh. Mbok ya diajarin Bahasa Indonesia, Farid. Ibu susah ngomong sama Hera,” gerutu Ola seraya menarik tubuh semok Hera dan memangkunya serta memeluknya gemas.
“Dia ngerti kok, Bu. Cuma susah ngomong. Bahasa Perancis aja kesusahan. Emang Hera agak lambat perkembangan bicaranya,” ungkap Farid.
“Ya. Kamu jarang ajak ngomong. Kamu juga, Rena. Heranya sering-sering diajak ngomong dong. Tuh liat Bagas. Dari usia dua tahun sudah fasih ngomongnya.”
Tata dan Farid saling lempar pandang dan tawa.
“Yah. Anak-anak itu beda-beda perkembangannya, Bu. Ada yang cepat bicaranya, ada juga yang lambat,” jelas Tata.
Ola seperti mengingat sesuatu.
“Eh, Iya. Kamu dulu umur empat baru lancar ngomong, Rid,” ujar Bu Ola senyum-senyum. “Kalo mau sesuatu, kamu dulu cuma bisa tunjuk-tunjuk gitu sambil bilang a u auuu aauu.…” Ola lantas tertawa terpingkal-pingkal mengingat Farid kecil. Farid dan Tata ikut tertawa dibuatnya.
“A u auuuu ... auu,” sela Hera tiba-tiba meniru eyangnya bercerita tentang papanya.
Sontak satu mobil tertawa mendengar suara kecil Hera. Termasuk sang supir.
“Ya Allah. Persis begini, Farid. Ya sudah. Kalo begitu sabar saja,” ucap Bu Ola yang menyadari kesalahannya. Tidak seharusnya dia banding-bandingkan Hera dengan Bagas.
“Maaf ya, Hera. Eyang banding-bandingin Hera sama Mas Bagas. Kan Mas banyak yang jaga. Kalo Hera papamama sibuk semua yaaa," ucap Bu Ola sambil mengecup-ngecup kepala Hera.
“Oui,” balas Hera seperti mengerti apa yang diucapkan eyangnya.
Bersambung