“Makasih, Ola. Sudah jadi besanku. Aku selalu doain kamu, keluarga kita, agar selalu dilimpahkan kasih sayang dan cinta. Duh. Seneng banget aku hari ini. Nggak lama lagi nimang cicit,” ucap Hanin dengan senyum senangnya.
Ola tertawa mendengar ucapan Hanin yang penuh dengan nada bahagia. Dia pun turut senang. Ola benar-benar menikmati waktunya saat menginap di sana.
Hingga keesokan harinya, setelah makan siang, Hanin dan Ola duduk-duduk di teras belakang. Mereka berdua terus saja asyik bergosip ria. Terutama Hanin. Sebagai seorang yang sudah malang melintang di dunia bisnis berpuluh-puluh tahun, tentu dia memiliki segudang cerita semasa hidupnya.
“Duh, La. Wong aku iki udah hapal sama tabiat semua orang. Belum mangap aja aku wes tau apa yang dia pikirkan. Jadi orang itu nggak bisa boongin aku. Tapi aku yo hampir diboongin sama yang namanya Sheren. Tapi tetap saja selamat … wes beruntung hidupku,” tutur Hanin yang sedang mengisahkan hidupnya yang harus selalu berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kepribadian yang beraneka ragam.
Ola senang mendengar cerita hidup Hanin, dari masa kecilnya yang penuh dengan kasih sayang melimpah, hingga hidup mandiri dan memiliki banyak perusahaan. Hanin memang pekerja keras yang tidak mengenal lelah mengaduk-aduk keuntungan di setiap bisnis dan usahanya.
Tiba-tiba wajah Hanin berubah sangat serius.
“Eh, La. Menurut kamu Akhyar itu bagaimana?” tanya Hanin tiba-tiba. Ola terkesiap mendengar pertanyaan Hanin. Seketika senyumnya terbit.
“Waaah. Itu orangnya baik banget, Mbak. Ramah. Meski terkadang terlihat suka berlebihan. Tapi saya menilai dia orangnya sopan dan sangat menghormati perempuan,” tanggap Ola penuh dengan semangat berapi-api. Dia cukup terkesan dengan sikap Akhyar yang mengambilkannya minuman segar. Apalagi Akhyar juga menunjukkan sikap ramahnya kepada menantu dan cucunya kemarin. Ola semakin yakin, Akhyar sosok yang penyayang.
“Cocok karo Mbak. Saya dukung kalo Mbak mau.” Mata Ola berbinar-binar.
Mata Hanin memicing sinis melirik sikap Ola. Ingin segera dia marahi besannya itu. Tapi dia cepat-cepat menepis rasa ingin marahnya.
“Akhyar itu sukanya sama kamu,” tegas Hanin.
Ola tentu saja terkesiap mendengarnya.
“Ih. Ada-ada saja, Mbak iki.”
“Dia kepingin ngobrol-ngobrol sama kamu, La,”
“Hah. Ora gelem aku, Mbak. Geli. Genit ah orangnya,” Ola mengusap-usap lengannya seakan tidak ingin disentuh siapapun. Dia juga mengingat sikap sok akrab Akhyar yang menyentuh lembut pundaknya kemarin. Dia tepuk-tepuk juga pundaknya seakan-akan ingin menghilangkan ingatannya terhadap perlakuan Akhyar kemarin.
Hanin tersenyum melihat wajah sewot besannya itu.
“La kata kamu orangnya baik, ramah, penyayang. Cocoknya sama kamu, Ola,”
“Duh, Mbak. Aku nggak mau. Udah tenang hidupku begini,”
“Lo, apa salahnya, Ola. Wong kamu iki masih muda lho. Liat nih, kulit masih kencang, muka nggak keriputan, b****g juga masih kencang. Masih pantas disukai laki-laki kayak Akhyar,” ujar Hanin sambil memegang-megang lengan, mencubit muka, dan memegang-megang b****g Ola.
“Ih, Mbak. Apa-apaan. Ih,” teriak Ola sambil menepis tangan usil Hanin.
“Buat Mbak aja. Sepadan. Sama-sama sugih. Kalo ngobrol pasti nyambung.”
Hanin terkesiap mendengar penilaian besannya.
“Astaga, Ola. Wong aku iki udah mambu tanah. Tujuh puluh,” ujar Hanin sambil mengacungkan tujuh jari ke hadapan besannya.
“Mana mikir yang begituan. Mikir mati, Ola.”
“Saya juga sama, Mbak. Saya nggak bisa mikirin pasangan lagi. Udah enak hidup saya begini.”
Hanin menghela napasnya.
“Kalo Mbak senang sendiri. Saya apalagi. Sama-sama begini kita, Mbak. Sama-sama nggak punya bojo. Enak tho? Duduk-duduk liat anak-anak cucu sama-sama. Dengerin celoteh anak-anak cucu-cucu kita sama-sama. Seneng begini. Nggak ada beban.”
Hanin terdiam. Dia membayangkan wajah melas Akhyar kemarin yang ingin mendekati besannya. Akhyar juga mengatakan bahwa dia sudah mendekati Tata. Akhyar sangat serius menurutnya.
“Kamu masih muda, Ola. Belum lima puluh. Masih pantas untuk menjalin kasih sayang sama seorang pria,” ujar Hanin sedikit melemah dan serius.
“Yah. Paling nggak buat teman ngobrol. Ngusir kesepian. Kamu kan hidup sendirian di rumah. Anak cucumu juga nggak tinggal sama kamu, La.”
“La, Mbak juga gitu. Sendirian.”
Hanin terkekeh. “Kalo aku masih bebas ke sana ke mari liat anak cucu, masih bisa tinggal di mana saja aku suka. Lha kamu?”
Hanin seperti tersadar dengan ucapannya.
“Aku bukannya nyinggung kamu hidup susah, Ola. Aku tau kamu senang dengan keadaan kamu sekarang. Tapi menurut aku ya nggak salah diajak ngobrol sama Akhyar. Dia juga sendiri. Nggak salah toh. Kamu juga bisa menikmati hidup di masa mendatang. Jadi keluarga besar. Wong Akhyar bukan orang lain, masih sodaraan sama suami cucuku.”
Ola menghela napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Dia sama sekali tidak menyetujui pendapat Hanin. Baginya, hidup yang sekarang inilah yang menjadi cita-citanya. Melihat anak-anaknya bahagia dengan pasangan hidup masing-masing, menemukan cinta sejati mereka, hidup bahagia bersama cinta masing-masing selama-lamanya. Dan hidupnya terasa sangat ringan. Baginya, menerima kehadiran pria lain dalam hidupnya adalah sebuah beban, dan dia tidak ingin menanggung beban lagi.
***
Malam sebelum keberangkatan menuju Caen, Farid dan keluarganya menginap di rumah ibunya. Selama berada di Jakarta, Farid dan keluarganya menginap di rumah Hanin, Ola sama sekali tidak keberatan, karena Hera, anak mereka kerap mengeluh panas ketika berkunjung ke rumahnya. Namun, malam ini Farid dan Tata ingin mengajari anaknya agar bisa beradaptasi dengan cuaca tropis yang sebenarnya. Karena mereka tidak akan selamanya tinggal di Caen, kurang lebih dua tahun ke depan, mereka akan kembali lagi ke Jakarta, dan Hera mau tidak mau harus membiasakan diri dengan cuaca tropis.
Sepertinya keinginan Farid dan Tata terwujud. Hera terlihat nyaman bermain di rumah eyangnya malam ini, tapi tentu saja posisinya selalu tidak jauh dari kipas angin. Hal ini membuat Ola tertawa kecil melihat cucunya yang satu ini, apalagi ketika rambut keriwilnya yang panjang bergerak-gerak seakan ingin terbang karena angin yang berasal dari kipas angin.
“Kenapa, Bu? Lucu ya?” tanya Tata yang tiduran di atas pangkuan Farid. Farid tampak santai membelai-belai rambut Tata yang sudah mulai panjang.
Ola yang duduk di sisi Hera tersenyum mendengar pertanyaan Tata. Dia menoleh ke arah Farid sambil memainkan matanya.
“Ibu ingat Bapak, Re. Almarhum Bapak kan rambutnya keriting kayak rambut aku,” sela Farid yang sepertinya tahu akan maksud tatapan mata ibunya.
“O gitu. Wah, Ibu sama dong kayak aku. Suka banget cowok berambut keriting. Kalo orang punya prinsip dari mata turun ke hati, kalo aku beda, dari rambut keriting turun ke hati.”
Farid dan ibunya tertawa mendengar celoteh Tata.
“Yah. Bukan rambut saja, Rena. Tapi juga perangainya. Baik dan sangat bertanggungjawab,” tanggap Ola senyum-senyum mengenang almarhum suaminya.
“Sayangnya, Daddy Akhyar nggak keriting. Tapi ikal sih,” gumam Tata tiba-tiba.
Ola sedikit tersentak. Wajahnya memerah mendengar gumaman menantunya. Dia langsung meraih tubuh Hera yang hanya berkaus singlet dan memangkunya. Dia tampak tidak ingin memperlihatkan gusarnya di hadapan menantunya. Dia tidak ingin meninggalkan kesan kesal malam ini sementara besok Farid dan keluarganya akan berangkat jauh menuju Caen.
Sementara Farid tampak gelisah, dia cubit pinggang Tata lembut. Tata meliriknya dengan senyum usil.
Bersambung