Pernikahan

1248 Kata
Nadia terkejut dengan kedatangan kami, begitupun denganku dan ayahnya. Pengakuan Nadia sukses membuat tubuhku membeku, kakiku lemas seketika. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa aku tidak mengetahui hal sebesar ini sebelumnya. Tangan Mahendra mengepal kuat dan langsung berlari, menghajar bocah tengik itu dengan membabi buta. Aku yakin, pria paruh baya itu juga merasakan hal yang sama sepertiku. Terkejut, marah, bercampur kecewa. Ingin aku melakukan hal yang sama. Namun mataku terus menatap wajah Nadiaku yang sudah menangis, seluruh tubuhku membeku, lidahku kelu. Nadia berteriak memohon Mahendra menghentikan aksinya. “Bapak! Kumohon hentikan mereka, hiks.” Nadia menggoyang-goyangkan lenganku, namun aku tetap diam, seluruh tubuhku sepertinya ikut merasakan kecewa. Butuh waktu lebih lama untuk mencerna ucapannya tadi. “Ayah! Pak Rangga! kumohon hentikan ayahku hiks.” Kemarahanku semakin nyata ketika Nadia kini sudah bersimpuh dan memeluk kakiku. Dia terus menangis dan memohon padaku. Tidak! Ini benar-benar nyata ternyata. Nadiaku hamil. Sekelebat aku menatap jijik atas penuturannya tadi. Spontan kakiku bergerak, menghempaskan tubuhnya agar segera menyingkir dariku. Jujur, hatiku sangat kecewa padanya. Namun di detik kemudian, aku sangat menyesali perbuatanku. Akibat gerakan spontanku membuat Nadia terjungkal hingga terbentur batu. Aku berteriak dan segera menggapainya, namun terlambat. Nadia lebih dulu terbentur batu dan pingsan tak sadarkan diri. Aku semakin murka, buku-buku tanganku semakin merah, tanganku mengepal kuat. Mataku menajam menatap darah yang mengalir di keningnya. “Nadia!!!” Teriakanku membuat dua orang pria yang sedang adu jotos itu berhenti dan berlari menghampiriku, namun aku tidak peduli. Kesehatan Nadiaku kini lebih penting, ingin sekali aku tidak peduli karena dia telah mengecewakanku. Namun hati sialanku tak berjalan beriringan, tubuh dan tanganku langsung bergerak menggendong tubuh mungilnya dan membawanya masuk kedalam mobil yang telah disiapkan bodyguarku. Lama tubuhku bergerak bolak balik seperti setrika di depan ruang ICU. Penuturan Nadia sukses membuatku tidak bisa berfikir jernih, ditambah dengan pingsannya Nadia membuat pikiranku semakin kacau. Emosiku semakin naik ketika bocah tengik itu baru saja tiba dirumah sakit. Padahal aku dan Mahendra sudah menunggu sejak tadi. “Kurang ajar! Bocah tengik sepertimu tak pantas menjadi seorang ayah!” Hardikku dengan penuh emosi. Hanya dengan sekali pukulan saja, bocah itu sudah tersungkur dengan darah di ujung bibirnya. Bocah muda berusia 22 Tahun itu menatapku dengan tajam. Bahkan, senyum mengejek kini mengembang di wajahnya. “Oh iya? bukankah bahagia bisa menikmati tubuhnya dan menjadi seorang ayah.” Jawab Vian semakin membuat darahku mendidih. Oh s**t! Aku berlari menghampirinya, kembali menghantam seluruh wajahnya tanpa sisa. “Tuan kumohon hentikan, anda bisa membunuhnya.” Sekertaris Rey dan Mahendra tiba-tiba datang dan menahanku, aku menatapnya marah. Jika saja bukan karena Mahendra dan Nadia, aku pastikan bocah itu sudah meregang nyawa sekarang. Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya datang dan langsung memeluk putranya. Wajahnya terlihat begitu khawatir. “Son, kamu tidak apa-apa?” Ujarnya kemudian menatap lirih wajah anaknya yang sudah tidak terbentuk. Aku memutar bola mataku malas, bagaimana bisa Nadia menyerahkan kehormatannya pada pria se b******k itu. Aku yang sudah merasa muak, kemudian melenggang pergi diikuti oleh Rey di belakangku. Kupejamkan mataku, membiarkan angin menerpa wajahku yang sejak tadi panas. Bayang-bayang wajah cantiknya kembali muncul, sangat cantik! Dia tersenyum padaku menarik tanganku agar ikut dengannya. “Arghhh!” Teriakku frustasi. Padahal awalnya aku yakin, aku dan dia sangatlah cocok. Tubuhku selalu merespon cepat jika menyangkut perihal dirinya. Namun kenyataan yang kudapatkan saat ini cukup membuatku tak yakin dan gelisah. Tak lama kemudian, seorang suster datang dan memberi kabar jika Nadia sudah sadar. Aku berlari ingin segera menemuinya, dan bertanya kebenaran hal ini. Namun langkah kakiku langsung terhenti ketika Nadiaku sudah duduk di samping Vian dengan seorang penghulu didepannya. Mereka siap untuk melakukan akad, mataku menatap sendu wajahnya. Lagi dan lagi aku dibuat terkejut oleh gadis itu. Mahendra menghampiriku, dia menjelaskan bahwa dia dan ayah Vian sudah sepakat untuk menikahkan mereka. Ayah Vian setuju dengan syarat pernikahan ini harus di sembunyikan sampai dengan waktu yang belum bisa di tentukan. Aku tak bisa berbuat banyak, anak yang ada dikandungan Nadia memang membutuhkan ayahnya. Tapi aku membutuhkan mu Nadia, liriku. Bocah tengik itu menatapku dengan senyum mengejek kemudian menarik Nadia ketika akad telah usai. Aku tak dapat menahannya lagi, hubungan mereka yang sudah sah dan membuatku harus mundur. Tidak ada alasan apapun lagi yang mengharuskanku mengejarnya kembali. Tidak tahan dengan semua ini, aku melenggang pergi dan menancap gas dengan kecepatan tinggi. Kesendirian sambil mengemudi membuat aku mengingat dalang p*****l itu lagi, aku tahu sekarang, kenapa banyak sekali korban mahasiswi di Universitas itu. Kuraih ponsel di dalam sakuku, menghubungi orang yang sudah di pastikan kepercayaannya. “Rey! Aku ingin kau beri pelajaran yang setimpal padanya. Akibat perilakunya, semua mahasiswi di kampus ini begitu lumrah dengan hal s*x yang harusnya tidak ada dalam kamus mereka.” Senyap, aku berhenti sejenak. Begitupun dengan Rey, pria itu juga sepertinya masih menunggu ucapanku selanjutnya. “Jika perlu, kau potong alatnya!” Titahku dengan dingin. “Baik tuan.” Jawab Sekertaris Rey di sambungan telepon. “Satu lagi.” “Ya, tuan.” Tatapan tajamku mulai memudar, aku menghembuskan nafas lirih sebelum berucap. “Aku serahkan calon istriku padamu.” Titahku pada Rey kemudian memutus sambungan tanpa menunggu jawabannya, aku yakin pasti akan ada banyak pertanyaan yang muncul darinya. Bulan lalu, daddy menyuruhku untuk segera menikah, kemudian Sekertaris Rey merekomendasikan perempuan-perembuan baik, cantik dan juga pintar. Tentu saja aku menolak, aku bukanlah anak kecil yang tidak bisa mencari kekasihku sendiri. “Akan kutemukan gadis itu secepatnya.” Jawabku pada daddy dan Rey. Namun kepercayaan diriku ternyata salah. Benar kata Dave, aku memang tidak mahir soal asmara. Keahlianku adalah berbisnis, bukan mencari gadis. Pernikahan Nadia membuat keputusanku bulat, aku serahkan calon istriku pada Rey. Rangga pov off. Suasana pengantin baru identik dengan kebahagiaan, dimana pengantin pria akan memperlakukan istrinya bak seorang ratu. Bahkan si pria tak segan membopong tubuh si wanita karena tidak diijinkan berjalan. Seperhatian itu kan, namun tidak denganku. Tidak ada kebahagiaan di dalam pernikahan kami. Pria yang ku kenal lembut dan penuh cinta itu kini sudah berubah, dia menyeretku dari mobil dan mendorongku hingga tersungkur di atas kasur. “Kau sengaja membawa ayahmu agar dia tau, kan?” Tanyanya padaku, tangannya mencengkram wajahku dengan keras. Sungguh, ini bukan Vian yang ku kenal. “Apa maksudmu, aku tidak tahu jika ayah mengikutiku.” Jawabku terbata. Cengkraman kuatnya membuatku sulit bernafas. “Bohong!” Bentaknya dengan keras hingga membuatku terlonjak. “Kau bahkan membawa Pak Rangga dalam masalah ini!” Sentaknya lagi membuatku terlonjak namun aku tetap diam. “Atau jangan-jangan anak itu bukan anakku.” Ujar Vian membuatku sangat marah. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu setelah apa yang telah kita lakukan, jelas-jelas aku hanya melakukan hal itu dengannya. Aku tidak serendah itu hingga melakukan hal itu dengan banyak pria Vian! Ingin sekali aku marah, namun lidahku rasanya kelu. “Plak!” Cukup sudah dia menghinaku, setelah melakukan semua hal keji padaku, Vian malah dengan tega memfitnahku jika ini bukanlah anaknya. Cukup tamparan itu adalah bentuk kekecewaanku padanya. Vian mengelus pipinya halus, menyeringai tipis dan kembali mencengkram wajahku. “Aaaa Vian! Sakit hiks.” “Apa kau fikir aku bodoh hingga tidak bisa melihat ketertarikannya padamu hah?” Bentaknya lagi kemudian menghempaskanku. Aku hanya bisa menangis, aku sangat menyesal mengenal cinta dan mempercayainya. Aku juga tidak mengerti dengan apa yang diucapkannya tadi. Tertarik? Tertarik apa maksudnya. Yang aku tahu, seorang pria akan mengungkapkan perasaannya jika dia menyukai seorang wanita. Bukan bukan? Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu kamar kami. Aku tak tahu siapa dia, namun Vian segera bergegas membuka pintu meninggalkanku yang masih menangis. “Sayang?” Ujarnya dengan sangat manja. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN