Di taman

1581 Kata
“Vi, kau bilang akan menjemputku.” Lanjutnya lagi dengan nada mesra, tangannya bahkan sudah bergelayut di lengan suamiku. Aku menatap wajah dia tak percaya. Vian tak memperdulikan keterkejutanku, dia langsung bergegas pergi setelah menyambar jasnya. “Vian! Kau mau kemana?” Teriakku sambil mencoba mengejarnya. Vian tak menggubris, dia menarik lengan Gina dan berjalan keluar menuju lobby. Aku hanya bisa menangis menatap kepergian mereka, rasanya percuma saja jika aku mengejar mereka dan bertengkar dengannya. Aku kembali ke kamar, berjalan ke balkon guna mendapatkan angin segar. Namun bukan itu yang aku dapatkan, dari atas aku malah melihat dengan jelas Vian sedang b******u dengan Gina. Perempuan yang tadi datang ke apartemen suamiku. Dadaku semakin sesak, air mata sialanku bahkan sudah menetes sedari tangan. “Kenapa aku bisa mencintai orang sepertinya, maafin bunda sayang.” Tanganku mengelus perutku yang masih rata. Malam pertama yang indah dan menggetarkan jiwa kata orang, adalah malam paling mengerikan bagiku. Pria yang sudah mendapat gelar suamiku itu malah dengan tidak tahu malunya pergi dan b******u dengan wanita lain. Seperti kata pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itulah peribahasa yang pas untukku saat ini. Kupikir, setelah kejadian tadi membuat Gina sedikit iba padaku karena dia tahu aku hamil anak Vian. Namun wanita yang kusebut sahabat itu malah datang ke Apartemen Vian. Aku yang menjadi kekasihnya saja tidak pernah menemuinya disini. Tapi dia? Bukankah dia juga mempunyai pacar yang selalu ia temui di Club setiap malam. Atau jangan-jangan? Jangan-jangan pria itu adalah Vian, pria sama yang sudah merenggut kesucianku. Arghhh! Tuhan. aku memang perempuan paling bodoh di dunia ini. Aku menyusutkan tubuhku di tembok, bagaimana bisa sahabat yang aku percayai menghianatiku? Apa salahku padanya? Aku bahkan selalu membantunya jika dia sedang membutuhkanku. Cinta yang dulu kubanggakan dan kupuja kini berubah menjadi derita, sahabat yang dulu ku jaga kini membuatku luka. Orang yang yang kuanggap malaikat ternyata hanya menjadi penyebab penderitaanku. Tidak ada kebahagiaan, tidak ada tawa dan keromantisan di malam pertamaku. Hanya ada kesedihan, penyesalan dan kecewa yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Sudah dua jam lebih aku berusaha tidur, melupakan semua kejadian besar yang baru saja aku lewati. Namun aku tak bisa, bayang-bayang kesalahanku terus berkeliaran, merenggut ketenangan malamku yang sunyi. Aku berusaha berdiri, aku ingin pergi. Berdiam diri disini hanya semakin membuat hatiku sesak, namun kemana aku harus pergi? Aku tidak mungkin kembali kerumah dan tidur di kamarku. Aku melangkahkan kakiku menaiki taxi. “Taman Permai ya, Pak.” Ucapku spontan. Pak Supir mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya. Tidak ada yang kupikirkan lagi selama di perjalanan. Aku hanya menatap suasana malam kota dengan tatapan kosong. Berbagai masalah sepertinya telah membuat otakku seperti mati. Baiklah, setidaknya aku bisa berdiam diri sejenak disini. Berdamai dengan kenyataan dan bermain dengan khayalan. Taman ini adalah taman yang paling sering aku kunjungi, Apalagi ketika sedang otakku tidak bisa berfikir sempurna. Selain suasananya yang nyaman dan tenang. Udara di taman ini juga masih sangat sejuk. Kata ayah, taman ini di resmikan tepat pada hari kelahiranku. Meski bukan resmi untukku, setidaknya aku mempunyai teman sebaya yang selalu ada untukku. Mataku menatap beberapa keluarga yang sedang menghabiskan waktu disana, mereka terlihat sangat bahagia setelah menikah. Para orang tua menatap si kecil yang sedang berlari kesana kemari, tak jarang si suami mengelus pucuk kepala dan perut si istri yang sepertinya sedang hamil kemudian kembali menatap putra mereka. Suasana yang sangat mengharukan dan damai. Aku memilih tempat pojok yang paling sepi dan damai untuk menenangkan hatiku. Tak lama kemudian, aku tersentak ketika telingaku mendengar sesuatu hal aneh. Sejak kapan taman ini memutar musik melow seperti itu. Aku sedikit aneh, namun makin lama music itu berputar semakin ku hayati. Tanpa sadar aku bahkan sudah menangis sambil tersenyum getir. Aku seperti pemeran istri yang selalu tersakiti di film viral itu. Adegan-adegan istri yang tersiksa itu langsung berlarian di otakku. Sial memang! Haha lelucon macam apa ini tuhan. “Pakai ini!” Seseorang menyodorkan tissue padaku, aku mendongkak menatap wajahnya yang tampan. Aku kembali tersenyum menatapnya, pria ini seperti malaikat, selalu saja ada jika aku sedang sedih dan terpuruk. Aku menyesal sudah mendiamkannya selama sebulan kemarin. “Bapak?” Lirihku terhenti ketika telunjuknya mendarat di bibirku. Sepertinya dia tahu kesedihanku, dia tahu aku membutuhkan seseorang untuk bersandar. Bapak? Kenapa kau baik sekali padaku. Padahal aku mahasiswi yang buruk dan telah mengecewakanmu. “Aku menyesal telah melakukan hal itu, hiks… hiks….” Aku memeluknya, menumpahkan segala kesedihanku padanya. Tak peduli jika dia memang dosenku, tak peduli tentang kehormatan dan apalah itu namanya aku tidak mau memikirkannya. Aku hanya mengikuti alur perasaanku, hatiku berkata mendekatlah dan aku mengikutinya. Benar saja, aku merasa nyaman setiap kali berada di sampingnya. Pak Rangga membalas pelukanku, dia bahkan mencium pucuk kepalaku dan hal itu membuatku semakin tenang dan damai. Namun anehnya, jantungku berdetak lebih cepat, sangat berbeda ketika aku berada di dekat Vian dulu. “Tenanglah, aku tidak akan membiarkanmu kembali padanya.” Bisiknya di telingaku. Ucapannya membuatku semakin tenang. Entahlah, padahal semua orang bisa mengatakan hal yang sama seperti itu padaku. Namun berbeda jika diucapkan oleh Pak Rangga, semua yang diucapkan dan dilakukannya padaku selalu saja seperti tameng dan pelindung untukku. Namun di detik kemudian, kesadaranku mulai kembali. Aku mendorong dadanya yang bidang. Sadarlah Nadia! Kau sudah menikah, lagipula apa hakmu memeluknya seperti tadi. Bagaimana jika kekasih atau istrinya melihat? Aku akan terlihat lebih kejam dari Gina jika seperti itu. “Maafkan saya pak.” Lirihku tak enak, aku melihat tangan Pak Rengga yang masih mengudara sambil menatapku tak percaya. “Jangan panggil saya dengan nama itu!” Jawabnya dingin. Aku menelan salivaku susah. Gini nih, jika punya dosen irit bicara dan cool. Berkata singkat tapi menuntut kita untuk mengerti. “Maksud bapak?” Tanyaku tak mengerti, Dia memang dosenku dan sudah seharusnya aku memanggilnya dengan nama itu. Lalu aku harus memanggilnya apa? Mr. tampan seperti mahasiswi kebanyakan? Oh Tidak! Aku tidak selebay mereka. Bukan menjawab, Pak Rengga malah mendekatkan wajahnya. Sangat dekat, pria itu bahkan sudah memiringkan wajahnya. Ah curiga! Biasanya tidak jauh mau mencium ini kalau sudah begini. Aku melirik lewat sudut mataku, ancang-ancang untuk kabur. Sepertinya Pak Rengga ini lagi ngaco. Ah sial! Pak Rengga menahan tengkuk leherku dengan tangan kekarnya. Aaaaaa! aku memejamkan mataku ketika wajah tampan itu mulai mendekat. Berharap hal itu benar-benar tidak terjadi. Aku marah kepada tubuhku yang berkhianat, aku tidak menginginkan keadaan seperti ini, tapi tubuh dan hatiku malah diam menerima bahkan bisa dibilang menyambutnya. Dasar tubuh penghianat! Cup! Ceesss. Tubuhku membeku seketika. Benda kenyal itu sukses membuat aku meremang. Argh gila! Perlakuannya membuatku tak karuan. Dosen tua yang tampan ini membuat jantungku berlari seperti maraton. Plis deh pa, cepet menyingkir! Melihat wajah tampanmu sedekat ini bisa-bisa membuatku diabetes. Nah kah, tersenyum lagi. Sudahlah fiks gue bakal diabetes setelah ini. “Bapak?” Ucapku tak percaya dengan hal yang baru saja terjadi. “Mau dicium lagi hm?” Suara halusnya kembali membuat tubuhku meremang, cepat-cepat aku menutup bibir penghianat ini dengan tanganku. Enak saja menciumku dengan mudah, aku tidak akan membiarkan pria lain dengan mudah menyentuhku lagi kali ini. “Hahaha, kau ini lucu sekali.” Tawanya mengembang, aku mengerucutkan bibirku. Bagaimana bisa dia tertawa ketika aku lagi bersedih seperti ini. Kutarik lagi kata-kataku jika dia seperti malaikat! Mana ada malaikat tertawa lepas di atas penderitaan orang seperti itu. “Jangan seperti itu jika tidak ingin saya menciummu lagi.” Eh, lalu aku harus seperti apa? Merapatkan bibir sambil bertanya lewat pandangan mata, begitu? “Lalu Nadia harus panggil apa?” Tanyaku kesal. “Rangga.” “Apa?” Ngga bisa, haha bapak ini bercanda ya. Mana ada seorang mahasiswa memanggil nama kepada dosennya. Lagipula Pak Rangga sepertinya sudah cocok di panggil bapak karena usianya yang sudah cukup berumur. Tapi tidak ku ucapkan, haha cari mati ya bicara seperti itu pada guru irit bicara ini. Bisa-bisa nilai 9 ku akan langsung turun menjadi bulat melingkar, kan tidak lucu. “Bapak kan dosennya Nadia, dan sudah seharusnya Nadia panggil Bapak dengan sebutan Bapak seperti mahasiswa lai- mmphhh.” Rangga benar-benar menepati ucapannya, kali ini tak hanya mengecup. Bibirku dilumat habis olehnya. Kedua tangannya bahkan merangkum wajahku, aku diam. Aku membulatkan mataku, menatap wajah Pak Rangga yang terpejam menikmati ciuman kami. Wajahnya semakin tampan dilihat dari dekat seperti ini. Arghhh! Nadia, sadarlah! Lagi-lagi tubuhku berkhianat, mereka menikmati sentuhan dosen sialan ini. Arghh penghianat! Akan kupotong kalian semua nanti! Eh, cacat dong gue. Argh!. Aku mendorong d**a Pak Rangga, melawan nafsuku. menunduk malu. “Maafkan Nadia pak.” Ujarku terbata dengan nafas tersengal, aku juga melihat pak Rangga yang juga mengatur nafasnya usai ciuman kami tadi. Segera aku beranjak kemudian cepat-cepat berbalik pergi. “Nadia! Saya minta maaf.” Pak Rangga meraih tanganku, matanya menatapku sendu. “Tidak apa, Nadia pamit pulang lebih dulu.” Cepat-cepat aku ingin pergi, posisi seperti ini membuatku canggung dan segan. Namun baru saja aku melangkah, suara Pak Rangga membuat aku menghentikan langkahku. “Nadia! Saya menyukai mu.” Aku berbalik, menatap pria yang belakangan ini selalu ada dan membantuku. Ucapan Vian perihal Pak Rangga yang tertarik membuatku tersadar. Tebakannya benar, bagaimana bisa aku tidak menyadarinya? Tapi tunggu, ini tidaklah benar. Meski Vian sudah berkhianat, tapi itu tidak mengharuskan aku juga menjadi penghianat bukan? Aku menatap tubuh kekar itu menunduk, kepala yang selalu menyongsong itu ternyata bisa juga tertunduk. Menatap keterkejutanku dengan sendu. Aku masih menatapnya tak percaya, bagaimana bisa bapak menyukai mahasiswa sepertiku? Belum selesai aku bergelut dengan pemikiranku, teriakan seseorang membuat aku kembali terkejut. “Nadia!!!” Teriaknya dengan sangat keras hingga berdengung di telingaku, beberapa pengunjung bahkan sampai menatap kearah kami. Bersambung…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN