Menangis

1164 Kata
Memang benar ya, semakin besar kita menaruh harapan pada seseorang, semakin besar pula potensi sakit yang akan kita rasakan. Aku pernah mencintai Vian, bahkan dengan segenap hati dan jiwanya. Mengabaikan setiap cinta pada hal lain selain Vian. Termasuk orang tua dan Tuhan sekalipun. Dan saat ini, aku merasakan besarnya sakit yang aku rasakan akibat tuaian cinta yang aku tanam sendiri. Menikmati sakit itu dan menelannya mentah-mentah. Aku terus berlari, dengan penglihatan yang sedikit samar menyusuri loby apartemen yang lumayan luas. “Nadia!” Seorang pria tiba-tiba datang dan meraih tanganku kuat. Menarik lenganku kuat hingga membuat aku berbalik menatapnya. Wajahku sudah berbinar, mempersiapkan mata untuk menatap dia yang sudah seperti malaikat. “Pak Rang-.” Ucapanku terhenti, lidahku langsung tercekat saat melihat pelaku yang menarik lenganku. Wajah merah padam Vian sudah di depan mata, bukan wajah tampan dan tenang Rangga yang ada saat ini. Biasanya pria itu yang sering ada disaat aku bersedih dan terpuruk. Lalu kenapa sekarang dia tdiak ada? Kemana dia? Arghhh Nadia bodoh! Kau lupa, kau sendiri yang memintanya menjauh. “Siapa yang mengizinkanmu pergi hah?” Bentak Vian hingga membuat beberapa pengunjung sampai menoleh ke arah kami. Ada yang mencibir karena bertengkar di depan umum, ada pula yang kasihan terhadapku karena di teriaki di tempat umum. Dia masih membentakku setelah dia terbukti bersalah? Aku menatap Vian tak percaya. “Masuk kubilang!” Sentak Vian lagi, menarik tanganku kasar. “Auw, lepas! Kau menyakitiku, Vian.” Lirihku menolak. Namun karena tarikan Vian yang kuat membuatku mau tak mau tetap berjalan mengikuti Vian dengan langkah terseret-seret. Vian tak menggubris ringisanku. Awalnya Vian hanya ingin meminta maaf perihal kedekatannya dengan Gina. Juga persoalan diantara mereka, melupakan semua masalah dan mencoba menerima Nadia, namun kedatangan Nadia yang baru kembali membuat Vian murka dan melupakan kesalahannya sendiri. “Darimana saja kau semalaman baru kembali hah?” Vian mendorong tubuhku hingga aku terpental di atas kasur. Aku tak menjawab pertanyaannya, masih mengusap-ngusap lengannku yang sudah berubah kemerahan. Bentakan tiap bentakan Vian kini tak membuatku terkejut lagi. Aku sudah mengetahui sifat asli Vian saat ini. “Apa kau baru saja menjajahkan tubuhmu pada pria tua itu hah?” Tanya Vian menggebu, ingatan di taman waktu itu semakin membuat Vian murka. Jujur saja, semalam dia memikirkan kemana perginya istrinya. Dia bahkan tidak berselera ketika Gina terus saja menggodanya. Semua cara Gina lakukan namun Vian tetap pada perasaannya, tidak berselera dan marah terhadap Nadia. Hingga akhirnya Gina dan Vian hanya sebatas ciuman. Gina tidak berani bertindak lebih jauh, kemarahan Vian cukup membuat Gina takut. “Jawab!” Sentak Vian ketika aku tak kunjung menjawab pertanyaannya. Aku tetap diposisi, menjawab setiap pertanyaan Vian rasanya percuma saja. Hanya semakin mengorek luka hatiku. Kesal Nadia tak kunjung membuka suara, pria itu naik ke ranjang. “Vian, apa yang kau lakukan?” Tanyaku waspada, Pria itu tiba-tiba naik dan menyerangku dengan brutal, menciumi seluruh wajah dan membuka setiap helaian yang menempel di tubuhku bahkan merobeknya. “Vian! Apa yang kau lakukan? Kumohon lepaskan hiks.” Mendorong d**a Vian dengan kuat, menahan bibir Vian agar tidak sampai ke d**a. Namun Vian semakin kuat, mendorongku ke kasur dan menghimpitnya. “Vian, kumohon lepaskan aku, hiks.” Teriakku menggema mengisi seluruh ruangan, berharap Vian mau melepaskanku. Mendengar tangisan Nadia membuat Vian kembali muak dan tidak berselera, kemudian beranjak dan menggeser seluruh benda yang ada di atas meja. “Arghhhh!” Teriak Vian dengan keras, kemudian melangkah pergi dan menutup pintu dengan kasar. Bugh. Aku semakin menangis, menatap kepergian Vian dengan benci. Mengepal kuat bajunya yang terkoyak kemudian menutupnya. Aku tahu aku salah telah menolak ajakan Vian, namun bukan dengan cara seperti ini yang aku inginkan. Jika saja Vian memintanya baik-baik dan meminta maaf terlebih dahulu mungkin akan akan dengan senang hati menyerahkan tubuh dan melayani suaminya. Jika dulu bersentuhan dengan Vian adalah sebuah keinginan, kini tidak lagi. Aku segera bergegas menuju kamar mandi. Membersihkan seluruh tubuhnya dengan sabun, bahkan tak lupa ia menggosok tubuhnya. Berharap bekas sentuhan Vian bisa hilang. Lama aku mandi dan membesihkan seluruh tubuhku kemudian mengganti baju. Hingga semuanya selesai, pria itu tak kunjung kembali. Aku kemudian memutuskan untuk segera tidur, berharap esok hari akan lebih baik dari hari ini. Namun baru saja mataku terpejam, suara deringan bel kembali terdengar untuk yang kesekian kalinya. “Jam sepuluh?” Aku menatap jam dinding, mengerjap sesekali untuk memperjelas pandangannya. Baru saja aku ingin keluar, suara Vian timbul dari ruang keluarga. “Nadia! Buka pintunya! Apa kau tuli hah?” Teriaknya. Aku segera keluar dan melihat Vian yang terlelah tidur. Ada rasa bersalah terbesit di hatiku mengingat jika pria ini adalah seorang suami yang berhak mendapatkan tubuhnya.. Ting-tong! Ting-tong. Bel kembali terdengar, “ Iya sebentar!” Ujarku sedikit berteriak. Baru saja pintu di buka, aura permusuhan kembali muncul. Aku menatap kedatangan Gina sengit. Begitu juga dengan Gina, menatapku tak kalah sengit. “Tidak ada yang memanggilmu kesini!”Ujarku ketus, dengan segera ingin menutup pintu. “Sayang!!!” Teriak Gina manja, membuat sang empu yang sedang tidur langsung terbangun. Aku melotot, wanita ini benar-benar keterlaluan. Dan benar saja, suara Gina langsung membuat Vian bangun dan bergegeas menghampiri kami yang masih berdiri di samping pintu. “Hey Sayang! Kau sudah tiba?” Tutur Vian sangat manis, mengelus pipi gadis itu dengan lembut kemudian menciumnya. “Ya sayang! Aku sudah kembali.” Tutur Gina tanpa tahu malunya. “Ayo masuk! Aku sudah tidak tahan, aku sampai ketiduran menunggumu.” Tutur Vian sangat seksual, pria itu bahkan mengeraskan suaranya. Aku melotot. Menahan lengan Vian yang hendak menarik Gina. “Kalian mau kemana?” Tanyaku seolah habis kata-kata. Kukira kalian akan berhenti. Tuhan! Kenapa aku bisa menikahi pria seperti ini. “Tentu saja ke kamar kalian.” Jawab Gina santai, mengedipkan mata setelah menjawab. “Vian! Kumohon, itu kamarku dan kamu.” Tuturku memelas. Aku tidak peduli jika kalian melakukan hal terlarang apapun di luar sana, tapi kumohon jangan di kamar kita. Aku menatap suamiku memelas, berharap dia mengerti perasaanku. “Lepas!” Hardik Vian menatapku tak peduli. “Kau menolakku dan membuatku harus memanggilnya.” Jawab Vian tenang, meraih tangan Gina yang kegirangan, dan melenggang pergi. Aku terjatuh, menyusutkan tubuhku di lantai. Siapa yang sebenarnya salah dalam hal ini? Aku sudah tidak tahan. Suara erangan terus bertaburan, terus timbul beriringan dengan hembusan tiap hembusan nafas seorang istri yang sedang menutup kupingnya kuat-kuat. Ruang tamu yang begitu nyaman menjadi saksi tangisanku yang memilukan. Aku berusaha tak peduli, namun tetap saja. Suara mereka sangat mengganggu telinga dan hatiku. Sambil mengusap perutnya yang masih rata, aku terus menangis dan beribu kali menyesali kesalahannya yang pernah ia lakukan bersama Vian. Memang benar, tidak butuh kaya untuk menjadi bahagia. Tidak pula butuh cinta untuk selalu bersama. Buktinya, aku yang sangat mencintai Vian, hanya dalam sekejap langsung membencinya. Jadi, cintailah kekasihmu seperlunya bisa jadi ia akan menjadi musuhmu esok hari. Bencilah musuhmu seperlunya, bisa jadi ia akan menjadi kekasihmu esok hari. Aku mengepal, matanya menyorot tajam, aku sudah putuskan. Akan membalas perlakuan Vian yang menginjak-nginjak harga dirinya. “Aku akan membalas perbuatanmu!” Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN