Kalung

1224 Kata
Suasana sejuknya pagi menghiasi penglihatan bocah kecil yang tampan dan menggemaskan. Laki-laki kecil yang biasa di sapa Rangga itu memang memiliki sifat introvert. Dimana seseorang tersebut menyukai kondisi yang tenang, senang menyendiri serta reflektif terhadap apa yang mereka lakukan. Bahkan sebagian besar dari mereka tidak terlalu menyukai hal-hal baru, terutama dalam hal komunikasi. Bukan tanpa alasan Rangga menjadi seperti itu, banyak hal besar yang telah di lewati bocah kecil berusia 10 tahun tersebut. Hal itu membuat Rangga sulit untuk menjalin komunikasi dengan orang lain. Rangga tumbuh dalam didikan seorang ayah yang keras, hingga sifat itu juga turun kepada Rangga. Tak lama kemudian, suara tangisan bayi memenuhi pendengarannya. “Huaaaa! Mama! Hiks-hiks Mamaa!” Rangga menoleh kesana kemari, mencari sumber suara yang lumayan nyaring. “Bayi!” Ujar Rangga setengah berteriak, ia terkejut mendapati seorang bayi di tengah taman seorang diri. Berjalan tertatih-tatih di atas hamparan hijau sambil menangis. Rangga kemudian berlari menghampirinya. “Hey bayi manis, jangan menangis.” Rangga menggendongnya dan mendekapnya erat-erat. Pipi bayi tersebut sangat gembul dan menggemaskan, dihiasi senyuman mengembang di bibirnya menambah senang Rangga melihatnya. Kulitnya putih kemerah-merahan. Mungkin karena terlalu sejuknya pagi ini membuat bayi kecil ini kedinginan. Melihat kedatangan Rangga, bayi itu langsung berhenti menangis. Bola matanya yang berwarna coklat bergerak-gerak menatap Rangga. “Kasian sekali, sepertinya kau kedinginan. Kemana mamamu?” Rangga bertanya pada bayi 2 tahun itu seperti pada orang dewasa. Si bayi malah bengong, kemudian tertawa setelah menatap Rangga. Laki-laki berambut hitam pekat itu kemudian menggosok-gosokan tangannya dengan tangan si bayi, berharap hal itu dapat mengurangi rasa dingin yang dirasakan. Bukan diam dan menikmati, si bayi malah terus tertawa dengan sesekali menarik rambut Rangga. “Hey bayi! Kau bahagia sekali ya aku gendong. Untung saja kau manis dan mengemaskan, kalua tidak sudah aku biarkan kau disini sendiri tadi” Semakin tertawa. Ancaman Rangga mengundang gelak tawa itu lagi, hingga menampakan gigi-giginya yang putih. Rangga ikut tertawa melihatnya. Bayi perempuan ini sangatlah cantik. Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya datang dengan sedikit berteriak, matanya menoleh kesana kemari secara berulang. “Nadia! Nadia! Kamu dimana sayang?” Teriaknya kemudian menoleh ke arah Rangga. “Nadia!” Teriaknya lagi dan langsung berlari. “Kamu baik-baik saja sayang?” Tanyanya. Dengan cepat mengambil alih bayi mungil tadi di pangkuan Rangga, namun tangan si bayi malah mencengkram kuat kalung yang Rangga kenakan. “Kenapa sayang? Ini mama.” Tuturnya mencoba melepaskan genggaman putrinya, Rangga hanya tersenyum memaklumi. “Mama?” suara khas bayi yang sangat lembut baru keluar, wanita itu dengan cepat mengangguk. Namun si bayi tetap di posisinya. Malah lebih mengeratkan cengkramannya. Rangga tersenyum lucu melihat tingkah bayi tadi. “Ada apa bayi manis? Apa kau menginginkannya?” Tanya Rangga antusias, kalung perak yang paling ia sukai itu kemudian di lepas. Ia serahkan pada bayi cantik yang ia tahu namanya Nadia. Memakaikannya pada lehernya membuat bayi itu langsung tertawa kegirangan. “Tidak usah nak, ini punyamu.” Tutur ibu ramah. “Biarkan bu, hadiah khusus aku berikan khusus untuk bayi cantik ini.” Tutur Rangga sambil mencubit pipi Nadia kecil. Mencium kening bayi itu dan membantu melepaskan cengkraman kuat bayi itu. “Baiklah, terima kasih Nak?” “Rangga!” Jawab Rangga cepat. “Oh nak Rangga. Baiklah, terima kasih atas hadiahnya, terima kasih juga sudah menjaga putriku.” Tuturnya lembut kemudian melenggang pergi setelah berhasil melepaskan genggaman putrinya pada Rangga. *** Mobil terus berjalan, menyusuri jalan kota yang semakin lama semakin terik, Aku kini sedang berada di dalam perjalanan menuju apartemen. Meski kecewa, namun tidak mematikan rasa kemanusiaan ku untuk melihat kondisi Vian. Kepulangan Vian dengan kondisi tidak baik kemarin membuat aku cemas, aku takut Vian kenapa-napa. “Via-.” Baru saja aku hendak masuk, aku dihadiahi pemandangan yang menusuk hati. Vian sedang duduk b******u dengan Gina di ruang keluarga. “Hay, bumil. Baru pulang ya?” Tutur Gina sinis. Sangat berbeda dengan Gina yang selama ini aku kenal, aku menatap Gina tanpa kata. “Yasudah, kau pergilah.” Tutur Vian pada Gina, tanpa memperdulikan kedatanganku, Vian mencium singkat pipi kanan gadis itu. kemudian melenggang pergi masuk ke dalam kamar diikuti dengan perempuan tadi yang keluar Apartemen. “Tunggu!” Ujarku sedikit berteriak menghentikan langkah Vian dan Gina. Sudah cukup! sudah cukup semua ini terjadi. Ini sungguh melewati batas, sekarang waktunya aku mengetahui alasan mereka melakukan hal ini padaku. “Kenapa kalian begitu tega melakukan hal ini padaku?” Tuturku lemas dengan mata yang sudah panas, bahkan bulir bening sudah menumpuk di sisi matanya. Vian hanya diam di tempat, sedang Gina berbalik dan menghampiriku. “Kau ingin tahu hm?” “Gina, sudahlah." Aku menatap Vian yang menahan Gina. Ada apa? “Tidak! Gadis sok baik ini harus mengetahuinya.” aku masih diam, mendengarkan penjelasan Gina yang mungkin saja bisa aku maafkan. “Aku dan Vian sudah berpacaran sebelum kau berpacaran, aku sengaja meminta Vian mendekatimu agar kita bisa menyuruhmu mengerjakan semua tugas-tugas kuliah kami.” Ujar Gina masih santai, di iringi senyum tipis terbit di wajahnya. Penuturan Gina sukses membuatku bak di sambar bongkahan batu besar. Apa tadi katanya? Sudah berpacaran sebelumnya? Dan aku hanya di manfaatkan? Lalu kasih sayang macam apa yang Vian berikan kepadaku selama ini? Apa itu juga hanya permainan. “Tapi dengan tidak tahu malunya kau malah tidur dengannya, gadis sialan!” Berlari menjambak rambutku dengan kuat. “Auww, sakit.” Aku berusaha lepas dari cengkraman Gina yang menarik kuat rambutku. Gadis itu bahkan tak memperdulikan ringisanku sedikit pun. “Gina! Apa yang kau lakukan?” Vian mendekat dan mencoba melerai pertengkaran kami. “Kau merayunya dan memanfaatkan kesempatan agar tidur dengannya, kan? Gadis sialan!” Sentak Gina dengan tangan yang masih menarik rambutku. Tak perduli dengan Vian yang memintanya berhenti. Baru saja aku hendak menjawab, Gina kembali menyambar “Dan lebih sialnya lagi kau malah hamil hingga membuat Vian harus bertanggung jawab atas anak sialanmu itu.” Hardik Gina semakin naik pitam. “Cukup!” Teriakku murka, menarik keras lengan Gina yang menarik lenganku. Cukup jika dia menghinaku, tapi tidak dengan bayiku! “Auw!” Gina meringis, aku tak peduli. Mencengkram lengannya kuat. “Gina, kau baik-baik saja?” Tanya Vian khawatir, mengelus-ngelus lengan Gina dengan lembut membuat aku semakin jijik melihatnya. “Aku tidak menyangka sahabat dan kekasihku akan melakukan hal serendah itu. Tidak! Bukan sahabat dan kekasih, melainkan sepasang kekasih yang tidak tahu malu.” Ujarku tegas. “Kau!” Gina menunjuk wajahku kesal. “Tidak, Gina. Hentikan.” Vian mencoba menarik Gina yang hendak kembali menyerang. “Dan asal kau tau, aku tidak pernah merayunya. Dia yang merayuku saat itu.” Sergahku akhirnya. Vian menatap sendu kekecewaan padaku, namun di detik kemudian menatap kasian pada kekasihnya. “Aku menyesal pernah memberikan cinta berhargaku pada pria tak berprasaan sepertimu, Vian. Aku kira kau bisa benar-benar menjadi pelindung dan temanku sampai nanti.” Tuturku dengan penuh kekecewaan kemudian melenggang pergi dengan deraian air mata yang sudah mengalir. Sudah di selingkuhi, di jambak tidak dibela pula. Siapa yang salah sebenarnya disini? Aku mengusap kasar air matanya. Menatap benci ruangan apartemen yang baru sehari ia tinggali. “Nadia!” Vian mencoba mengejarku, namun Gina menahannya. Aku tidak peduli, terus berlari keluar. “Sudahlah, kenapa kau mengejarnya. Ada aku yang bisa menemanimu, kan?” “Cukup! Ada darah dagingku yang tumbuh di rahimnya!” Tegas Vian dan langsung lari mengejar Nadia. Gina mengepal hingga giginya tercekat. “Arghh! Sialan!” Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN