Bangkit

1388 Kata
Keesokan harinya, aku bangun pagi-pagi sekali. Mengambil air wudhu di dalam kamar mandi kecil yang terdapat di samping dapur dan melaksanakan tugas sebagai seorang muslim. Ayat demi ayat aku lantunkan, tidak begitu fasih. Namun sangat menenangkan jiwa dan hati. Kesedihan yang begitu hebat aku rasakan sejak semalam kini sirna begitu saja ketika kakiku mulai berdiri diatas sajadah. Hanya ketenangan yang aku rasakan saat ini. "Tuhan! aku mengaku aku salah. dan aku bertobat akan hal itu." Berhenti sejenak, adegan demi adegan yang bertaburan seperti puzzle di villa tempo hari itu sangat lah menyesakkan hatinya. Memori dimana aku melakukan kesalahan yang tidak akan pernah aku lupakan selam seumur hidupnya. "Tuhan! aku percaya atas semua takdirmu. Semua hal yang terjadi saat ini tidak akan pernah terjadi tanpa seijinmu, namun kumohon, jadikanlah aku wanita paling sabar, sesabar-sabarnya. Jadikanlah aku wanita yang bisa mandiri dan membesarkan bayiku sendiri." Mengusap wajah yang sudah basah oleh air mata. Ya, aku sudah bertekad akan berpisah dari Vian, bekerja dan membesarkan bayiku sendiri. Namun akankah aku bisa bertahan selama sembilan bulan dalam kondisi seperti ini? tidak ada cinta, kasih sayang bahkan peduli. pria yang ia sebut suami, bahkan tidak lebih dari seorang pria yang tidak di kenal. Beres menjalankan semua kewajiban, aku langsung beranjak ke dapur. Berniat membuat sarapan sebelum pergi kuliah. Aku harus kuat, menyelesaikan ujian terakhir hari ini dengan baik. Sepanjang kaki menapak, sepanjang itu pula mata Nadia menoleh pintu kamar. Kamar yang biasa orang sebut dengan kamar pengantin. Tapi malah di huni oleh wanita lain. Tidak ingin berlarut-larut, aku segera membuat sarapan, menyantap sarapannya dan pergi dari sana. Aroma nikmat dari masakan yang Nadia buat, terbang menjalar ke penciuman Vian yang saat itu sedang menggeliat, menatap Gina yang polos kemudian segera bangkit. Menuju kamar mandi. "Kau sedang apa?" Tanya Vian tiba-tiba, dengan telanjang d**a Vian menghampiriku yang sedang asik menikmati sarapan. Nasi goreng yang dicampur dengan telur, sosis juga wortel. Tak lupa teh hangat manis kesukaanku. Ini adalah kali pertama aku sarapan di kediaman Vian. Aku tak menanggapi, hanya sekilas aku menatap Vian yang baru saja selesai mandi, rambutnya basah. Kembali membuat dadaku sesak, menusuk hingga ulu hati. Tak tahan dengan hal itu, aku mempercepat gerakan tanganku. Meneguk teh hangat dan beranjak pergi. "Kau mau kemana?" Vian meraih tanganku yang hendak pergi. Tidakkah sedikitpun kau memikirkan perasaanku, suamiku? Hatiku menjerit melihat rambut basahnya. Menatap sendu wajah Vian. Berharap masih ada sedikit rasa cinta didalam hatinya. Bukankah satu tahun adalah waktu yang tidak sebentar? kami memadu kasih selama itu. Tidakkah itu sirna begitu saja? "Aku akan pergi ke kam-." "Sayang! kau dimana?” Ujaran manja menghentikan ucapanku. Aku menatap dia penuh kebencian. Kimono sexy dengan rambut yang juga basah. "Aku disini." Jawab Vian tanpa menoleh, mata dan tangannya masih fokus terhadapku. “Hany! Aku lapar.” Ujarnya, Suara merengek seperti anak yang sedang merajuk pada ibunya itu mengalihkan perhatian Vian. Aku tak peduli lagi, segera bergeges meninggalkan Vian dan Gina yang baru saja bangun akibat pergelutan mereka. Pergelutan? Cih! “Kau sudah sarapan?” Tanya Gina lagi. “Oh, belum.” “Lalu piring ini?” Melihat satu piring yang masih bertendeng di atas meja makan. Tak habis, namun Gina bisa melihat jika ada seseorang yang baru saja sarapan. “Oh itu, tadi Nadia yang sudah sarapan.” Jawab Vian seadanya. Gina mengerucutkan bibirnya mendengar Vian mengucap nama Nadia membuatnya kesal, padahal itu istrinya, Namun entahlah. Dia sangat membencinya. Mengambil Vian dan membuat Nadia tersiksa merupakan salah satu tujuannya. “Hany, aku lapar.” Rengek Gina untuk yang kesekian kalinya. Vian menatap Gina lekat, perbedaan Gina dan Nadia mulai terlihat. “Oh iya, kau mandilah aku akan memesan makanan terlebih dahulu.” Ujar Vian berbalik ingin mengambil ponselnya. Namun dengan cepat Gina menciumnya dan berlari ke kamar. Vian tersenyum, Gina mungkin sedikit malas. Tapi dia bisa menghiburnya. Tidak seperti Nadia yang hidupnya monoton. Belajar, belajar dan belajar. Di Lobi yang bertemakan minimalis, Aku mengusap air mataku kasar. Manusia berhati iblis itu sungguh tak berperasaan. Satu jam perjalanan menuju kampus aku pakai untuk belajar dan mengisi soal kemarin yang sempat ia tinggalkan dan mengisinya lewat platfrom online yang telah di sediakan oleh pihak kampus. Aku harus kuat! Buktikan jika kau bisa Nadia! Tuturku menyemangati diriku sendiri. Ujian dimulai, pengawas ruangan sudah membagikan lembar soal dan lembar jawaban kepada seluruh mahasiswa. Aku menatap soal-soal itu berbinar, ini adalah contoh soal yang ia pelajari di mobil selama perjalanan tadi. Lihat! Benar bukan? Tuhan akan memberikan jalan pada siapapun yang berusaha. Riuhan kian terdengar ketika sang pengawas mulai menapakkan kakinya keluar pintu, aku sempat menoleh menatap kepergiannya. Melihat pengawas itu mengingatkannya pada Pak Rangga. Bapak maafkan aku! Tapi aku sungguh tidak pantas untukmu. Kau berhak mendapatkan yang lebih dariku. Lirihku mengingat pertemuan terakhirnya dengan Rangga. Tak lama kemudian, speaker pengumuman yang terdapat di sudut ruangan terdengar nyaring membuat suasana riuh tadi langsung hening dan sepi. “Selamat pagi!” “Di informasikan kepada seluruh mahasiswa yang sudah melaksanakan ujian untuk segera berkumpul di lapangan. Rektor kita yang terhormat ingin menyampaikan sesuatu sebelum beliau kembali. Terima kasih.” Ucapan terakhir sang pembawa informasi memicu berbagai pertanyaan. “Rektor? Sedadakan ini?” “Iya, tumben Pak Rektor repot-repot mengumpulkan semua mahasiswa seperti ini.” “Bapak tua itu ingin pergi? Yeay!!” Timpal Ugun, mahasiswa berambut Gimbal itu kegirangan. Dia memang kerap bersitegang dengan Pak Rektor yang tua dan galak itu. “Sutttt!” Sang pengawas kembali di tengah situasi yang kurang tepat. Semua langsung terdiam, kembali menunduk dan sok sibuk membaca, padahal hanya dengan melihatnya saja membuat mereka mual melihat angka-angka itu. Aku ikut heran, memang tak biasanya Pak Rektor ingin bicara di lapangan. Jika bukan lewat surat sebaran ya lewat dosen yang akan menyampaikan. Tapi entahlah. Berkat ingatanku yang lumayan, Aku dengan mudah mengisi soal-soal. Perutnya juga mendukung kegiatan ibunya kali ini, aku tidak lagi merasa mual seperti kemarin-kemarin. Sorak ramai ketika aku orang pertama yang mengumpulkan lembar jawaban, padahal baru berapa menit lembar soal itu di bagikan untuk diisi. Senyumku terus mengembang sejak aku keluar dari ruangan, aku yakin bisa lulus dengan ipk terbaik. Tak lama ponselku berdering, Tertera nama Vivi disana. “Hallo kakak ipar, apa kau baik-baik saja?” Suara itu langsung menyerang ketika aku baru saja menerima panggilan, suarannya begitu terdengar begitu cemas. “Aku baik-baik saja Vi.” Jawabku hangat. Aku sangat senang mendapati Vivi dalam hidupku. “Benarkah? Kakak kemana semalam? Vivi telpon tidak diangkat.” Lirih Vivi membuat aku langsung terperanjat. Vivi mencarinya?. Nadia menoleh ponselnya menekan menu w******p. Dan benar saja, aku melihat begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Vivi di ponselnya. Mungkin karena sibuk menangis semalaman hingga tak menyadari jika Vivi menelponnya. “Hm maafkan aku membuatku khawatir, aku benar-benar baik-baik saja. Aku semalam di apartemen kakakmu.” “Di apartemen kakak?” Alis Vivi bertaut, temannya ikut mendekat, menempelkan telinganya pada ponsel Vivi. kepo. “Ada apa?” Tanyanya. Vivi tak peduli, kakak ipar lebih penting kali ini. “Ya, jika kau tidak percaya tanyakan saja langsung pada Vian.” Tuturku meyakinkan. Aku yakin Vian tdiak akan seberani itu sampai mengatakan jika dia baru saja tidur dengan sahabatku di kamar kami. Mata Vivi semakin menyipit, kak Nadia kemarin begitu marah hingga tidak ingin pulang. Tidak mungkin dia tiba-tiba pulang dan tidur disana kan? Belum lagi urusan wanita yang bernama Gina itu. Vivi harus menyelidiknya. “Hm Baiklah kalau begitu, Vivi senang dan lega jika kakak baik-baik saja.” “Iya Vi, terima kasih.” Tuturku hangat. Namun tiba-tiba.... Bugh “Auw.” Tubuhku bertabrakan dan terpental hingga membuatnya jatuh, bahkan papan ujian dan segala keperluannya jatuh berserakan di lantai. Aku menatap kaki berbalut celana hitam menjulang tinggi di depannya. Orang itu sepertinya tidak ikut jatuh. Karena terlalu fokusnya mengobrol dengan Vivi membuat aku tidak memperhatikan Jalan. aku hendak mendongkak meminta maaf. Namun suara orang yang di tabrak itu membuat Nadia langsung mematung. “Lain kali, perhatikan jalan!” Ujarnya dingin. Deg, suara itu! Aku segera mendongkak. Benar saja itu adalah Rangga, namun tak sempat ia menatap wajahnya, dia sudah berbalik dan melenggang pergi. Aku Menatap sendu punggung lebar Rangga yang sudah menjauh. Jika dulu tubuh itu selalu menjadi benteng dan pelindungnya, kini tidak lagi. Benteng itu bahkan tak meliriknya walau hanya sekejap. yang ada hanya pergi bersama ketidak pedulian yang baru aku lihat pagi ini. Bapak.... Lirihku menatap kepergian Rangga yang tidak sedikitpun menoleh kearahnya. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN