Pertengkaran

1314 Kata
Vian berjalan kearah kami dengan wajah merah padam, tangannya mengepal. “Auw!” Pekikku ketika Vian dengan kasar menarik tanganku dan menghiraukan kesakitan yang aku rasakan. “Lepaskan!” Sentak Pak Rangga tanpa melepaskan tanganku, terjadi kilatan perang diantara mereka berdua. “Tidak!” Vian kembali menarikku membuat tanganku seperti rebutan. “Auw, kumohon lepaskan aku.” “Diam!” Sentak mereka berdua. Aku terlonjak, menatap kedua pria itu membentakku. Tidak ada yang menggubris, kedua pria itu masih saja saling menatap tajam. “Kau menyuruhku melepaskan istriku dan memberikannya pada pria pengganggu sepertimu hah?” Ujar Vian dengan nada mengejek. Bugh. Ucapan Vian membuahkan bogeman dari Pak Rangga. “Pak Rangga kumohon hentikan.” Teriakku berusaha menghentikan mereka. Namun tetap saja, tidak ada yang menghiraukanku. Kedua pria itu saling memukul hingga akhirnya Vian tersungkur dengan darah mengalir di ujung bibirnya. “Vian.” Aku menghampirinya, mencoba membantunya berdiri. “Kau pilih aku, ayah dari anak ini.” Berhenti, matanya menatap tajam Pak Rangga. “Atau pria b******n itu?” Tunjuknya dengan wajah menantang. Pilihan macam apa ini? Kenapa harus seperti ini? Ku tatap Vian yang tertawa sinis ke arahku, sedang Pak Rangga sudah mengangkat tangannya untuk menyambut tanganku, ingin sekali aku ikut dengannya karena hati dan tubuhku menginginkannya ditambah dengan penghianatan Vian dan Gina membuatku kecewa. Namun bagaimana dengan anakku, bagaimana dengan ayah dan ibuku? Arghh! Posisi seperti ini yang aku benci, diharuskan memilih keputusan yang membingungkan. Aku harus bagaimana? Batinku berteriak, kupejamkan mataku dan tiba-tiba bayangan bayi mungil dan manis menghiasi pikiranku. Sangat tampan. “Nadia….” Lirih Pak Rangga terbata ketika tanganku ku tautkan dengan tangan Vian. Wajahnya yang tampan berubah sendu, dihiasi guratan kekecewaan yang aku lihat untuk yang kedua kalinya. Ingin sekali aku berlari dan memeluk dosen tampan ku itu. Dia sangat berjasa seperti malaikat, dia bahkan tetap mengulurkan tangannya untukku meski aku sudah mengecewakannya. Tapi bayi yang ada di dalam kandungan ini membuatku tidak bisa berbuat banyak. Dia juga membutuhkan sosok ayah. Dadaku rasanya sesak, semakin sesak ketika melihat mata indahnya berkaca-kaca. Tuhan, maafkan aku semakin mengecewakannya. Vian tertawa sinis, kemudian menarik tanganku untuk segera pergi. “Maafin Nadia Pak.” Lirihku hampir tak terdengar. Tidak ada jawaban, Pak Rangga masih tetap di posisinya. Berdiri menatapku dengan wajah kecewa. Matanya membuat hatiku goyah, aku tak kuasa menolak dan meninggalkannya sendiri di tempat ini. “Masuk!” Sentak Vian sambil mendorongku masuk kedalam mobil. Lagi lagi aku kecewa dengan perlakuannya. Tuhan, apa yang kulakukan? Aku meninggalkan Pak Rangga hanya untuk memilih pria seperti ini? Tapi kulakukan ini demi bayiku. Demi dia agar memiliki ayah dan pengakuan dari ayahnya. Tuhan! Ingin sekali aku menangis saat ini. Aku diam tak menjawab, mataku terus saja menatap wajahnya yang sendu. Pak Rangga yang masih berdiri di posisinya menatap kepergian kami lewat kaca spion. Tangannya mengepal, ingin sekali aku turun dari mobil ini dan berlari memeluknya. Eh, memeluknya? Nadia apa yang kau pikirkan. Apa kau juga menyukainya? Entahlah. --- Brak! Vian meninju tembok tepat di samping wajahku. Aku menatapnya tak percaya, serangkaian kejadian yang belum lama ini terjadi seperti mimpi bagiku. Vian yang kini sudah menjadi suamiku tak lagi seperti dulu. Vian yang dulu selalu ramah dan bersikap baik padaku kini telah berbeda. “Bisa-bisanya kau berkencan dengan pria tua itu setelah kita menikah hah.” Teriaknya membuat telingaku berdengung. Aku memalingkan wajah dan memejamkan mataku. Teriakan pertama setelah kami menikah bahkan sebelum kebahagiaan di antara pernikahan kami itu muncul. Apa tadi katanya? berkencan? Haha, Lalu apa bedanya aku dan dia? Dia bahkan pergi bersama Gina tepat di hadapan mataku, sedangkan aku hanya berkeliling dan tidak sengaja bertemu dengan Pak Rangga. Dan kau begitu marah? Aku tak menjawab, tubuhku lelah. Lidahku kelu untuk berucap apapun padanya. Rasanya percuma saja jika aku menjelaskan hal ini pada Vian. “JAWAB!” Teriaknya lagi membuat aku kembali terlonjak. “Aku hanya berkeliling dan tidak sengaja bertemu dengannya” “BOHONG!” “Bukankah kau memang sering bertemu dan menjajahkan tubuhmu untuknya?” Lanjutnya dengan nada sinis, aku menatap dia tak percaya. Bisa-bisanya dia mengeluarkan kata sekejam itu. “CUKUP!” Teriakku, mengangkat satu tangan kananku guna menghentikan semua ucapannya. Fitnah kejam apa itu? “Kau benar!” Jawabku diiringi senyum getir. Haha, rasanya ingin sekali aku tertawa. Tertawa kenapa aku bisa sampai menikah dengan pria tak punya hati sepertinya. “Aku memang sering bertemu dengannya. Lagi pula, apa bedanya denganmu yang pergi bersama wanita lain setelah pernikahan, hah!” Jawabku menggebu. Cukup sudah dia merendahkanku seperti ini. Kubenarkan saja ucapannya, aku tak butuh pengakuan baik apapun darinya. Karena aku tau, orang yang membenciku tak percaya itu dan orang yang menyayangiku tak butuh itu. Plak! Tamparan pertama selama seumur hidupku sukses mendarat halus, aku mengelus pipiku ngilu. Rasanya sakit sekali, tapi tidak seberapa dibandingkan dengan sakitnya hatiku saat ini. “Beraninya kau!” Jawabnya sambil menunjuk wajahku. “Kenapa? Memang benar kan? Kau dan Gina pergi setelah akad. Kau dan Gina sama saja, kalian menusukku dari belakang hiks….” Teriakku padanya. Aku sudah sangat kecewa, tak peduli lagi sikapku padanya. Aku hanya mengeluarkan kesakitanku. Aku kecewa, aku benci kalian berdua! Vian tak menjawab, pria itu itu mengepal kuat kemudian melenggang pergi. BRAK! Vian membanting pintu, menguncinya setelah mematikan lampu kamar membuatku langsung berlari ketakutan. “Vian! Kumohon buka pintunya.” Teriakku keras berharap pria tak punya hati itu mau membukakan pintunya untukku. Dia tahu aku sangat takut gelap dan sepi, tapi dia malah sengaja melakukan hal itu padaku. Setitik air mataku kembali jatuh, malam pertama yang aku impikan terjadi begitu indah dan romantis, malah terjadi begitu saja secara menyakitkan. Cinta, aku benci kata itu. Jika dulu aku selalu percaya cinta dan menghidupkan cinta pada setiap kehidupanku. Kini tidak lagi, aku tidak akan melakukan hal bodoh itu lagi. Tidak ada cinta abadi, tidak ada cinta ketulusan seorang pria. Yang ada hanya penghianatan. Ya! Cinta yang begitu besar hanya memberikan peluang padamu memberikan sakit yang lebih besar pula. Karena seestinya, peluang kecewa akan timbul pada orang yang paling dekat dengan kita. Bukan orang jauh atau tidak di kenal yang tiba-tiba membuat kita kecewa. Jadi berhati-hatilah dalam menangkupkan cintamu pada setiap unsur kepercayaanmu. Aku terus menangis, menikmati ketakutanku dalam gelapnya kamar itu hingga tertidur. Keesokan harinya, aku terbangun mendengar suara adzan yang berkumandang. Bergegas aku berkeliling Apartemen mencari keberadaan Vian. Pria itu sudah membukakan pintunya, tapi dia tidak ada disini. Sepertinya dia sudah berangkat lebih dulu. Segera aku bergegas bersiap untuk pergi ke kampus. Aku tidak lupa jika hari ini Ujian, aku akan melakukan hal terbaik untuk ayah dan ibu. Aku tidak ingin mengecewakan mereka lagi. Setidaknya aku bisa lulus dengan ipk terbaik. Suasana kampus yang dulu begitu menyenangkan sekarang tidak lagi. Aku tidak memiliki semangat apapun lagi. Jika bukan karena ayah dan ibu aku mungkin sudah berhenti dan mencari pekerjaan sekarang. Namun ku urungkan niatku, aku tidak ingin mengecewakan orang tuaku lagi. Mereka sudah berharap lebih pada pendidikanku, setidaknya aku bisa lulus dan mendapatkan pekerjaan yang baik meski aku sudah memiliki anak nanti. Aku duduk dan sesekali ikut bercengkrama seperti mahasiswa kebanyakan sebelum ujian di mulai, namun statusku yang sudah berbeda sekarang. Kenyamananku semakin sirna, apalagi ketika menyaksikan Vian yang sedang mengutarakan cintanya pada Gina di depan mahasiswa lain. Pria b******k itu kini lebih bertingkah. Tidak ada tampang penyesalan di antara mereka berdua, Gina dan Vian malah tersenyum manis di depan seluruh mahasiswa termasuk aku. Aku memalingkan wajah ketika siswa bersorak ramai meminta Vian mencium Gina setelah Gina menerima cincin itu. Tunggu-tunggu, itu cincin pernikahan kami. Aku mengerjap beberapa kali, memastikan apakah cincin itu sama dengan apa yang ku pakai. Dan benar saja, cincin yang Gina pakai sama persis dengan yang kupakai saat ini. Aku menatap benci pada Vian, bagaimana bisa pria itu sangat rendahan seperti itu. Cih! Aku menyesal pernah mengenal cinta dan pacaran, aku melepas cincin yang melingkar di jariku. Memasukannya dalam sakuku. Tak lama kemudian sorak mahasiswa yang begitu ramai tiba-tiba hening membuatku menoleh. Ada apa? Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN