Pada akhirnya, kenangan itu akan terus menghantuiku.
***
Flashback on
Seorang anak laki-laki tiba-tiba datang dan memeluk seorang gadis yang sedang menyiram tanaman.
"Diska, Radi udah bisa naik sepeda loh!"
Gadis kecil yang dipeluk itu melepaskan pelukannya, lalu menatap anak laki-laki itu. "Wah, beneran? Ayo, Diska mau bonceng Radi!"
Sang anak laki-laki menarik gadis itu ke arah sepedanya yang diparkir tak jauh dari sana.
"Awas, hati-hati naiknya."
Gadis kecil itu naik dengan girang ke sepeda yang di bagian depannya terdapat sebuah keranjang.
"Udah siap?"
"Udah! Ayo kita jalan-jalan!"
"Peluk Radi, Diska, nanti jatuh."
Gadis itu menurut. Ia memeluk erat tubuh anak laki-laki itu.
Baik sang gadis, maupun anak laki-laki itu, sama-sama tersenyum lebar. Mereka bahagia.
Flashback off.
***
"Lepas," ucap Agra dingin sambil menepis kasar tangan Atha yang melekat di perutnya.
Seketika, senyum lebar Atha menghilang. Dia kira Agra sudah kembali seperti dulu, tapi....
"Agra, lo inget, dulu kita—"
Belum selesai berucap, Agra sudah menyalakan motor dan memacu dengan kecepatan tinggi, yang membuat suara Atha tidak terdengar.
Agra melaju membelah gerimis yang hendak bertransformasi menjadi hujan.
Atha tersenyum miris.
***
Kembali Atha dibuat bingung dengan sikap Agra hari ini.
Bukannya ke rumah, Agra malah menghentikan motornya di depan sebuah ruko yang tengah tutup.
"Ngapain kita—"
Lagi, ucapan Atha tidak didengarkan. Agra sudah duduk lebih dulu, mau tidak mau, Atha mengikuti Agra.
"Agra—"
"Berisik. Sekarang gantian gue yang ngomong. Udah cukup dari tadi lo ngomong hal nggak penting," sinis Agra.
Atha menunduk sejenak. Sebegitu tidak pentingnyakah dirinya bagi Agra? Padahal dulu....
"Stop Tha. Jangan bikin gue sakit," ucap Agra lirih.
Atha mendongak. Ditatapnya wajah Agra. "Maksudnya?"
"Apa lo tau, apa yang gue rasain setiap lo sedih, murung, cemburu, dan nangis?" tanya Agra. Atha menggeleng tak paham.
"Gue yang sakit, Tha! d**a gue nyeri. Hati gue yang gelisah. Perasaan gue nggak tenang. Apa sebegitu lemahnya elo sampe gue harus ikut ngerasain apa yang lo rasain juga? Apa karena kita ini kembar, hah? Kita nggak mirip dan bahkan kita beda kelamin. Tapi kenapa efeknya sampe kayak gini, Tha?" tanya Agra retoris.
Atha diam tak bersuara. Ia masih terkejut dengan fakta ini.
"Gue capek, Tha, sumpah. Gue capek setiap lo sedih dikit d**a gue nyeri. Sakit, Tha, sakit!"
Atha menunduk. Ia merasa bersalah pada Agra.
"Gue bisa terima kalo efek itu muncul sesekali. Tapi ini, Tha? Sering! Dan bahkan, setiap lo ngerasa sakit sedikit, gue yang ngerasa lebih sakit. Segitu lemahnya elo sampe sedikit-sedikit sedih, nangis, murung, cemburu, hah?! Lo nggak tau kan, efeknya ke gue kayak gini, Tha? Makanya mikir!" sentak Agra.
Atha masih diam. Menahan tangisannya, karena mungkin, jika ia menangis, Agra akan semakin sakit.
"Ketika gue ngerasain rasa sakit itu, Tha, gue ngerasa nyesel punya kembaran kayak lo."
Dan ... kalimat itu sukses membuat genangan di mata Atha meluruh. Air matanya jatuh satu per satu. Ucapan Agra begitu menusuk.
Benarkah Agra menyesal menjadi kembarannya?
"Lo itu cuma nyusahin gue!"
Lagi. Air mata Atha mengalir semakin deras. Bodo amat dengan orang-orang lewat yang mencuri pandang ke arahnya.
"Berhenti nangis," ucap Agra lirih.
Bukan untuk menenangkan Atha, tapi karena dadanya nyeri lagi. Bahkan kali ini lebih sakit. Lebih sakit daripada malam itu.
"Gue bilang—"
"Radi," panggil Atha dengan suara bergetar dan tersendat.
Bak tersengat listrik, Agra refleks diam mematung. Panggilan itu lagi.
"Radi kok ngomongnya kayak gitu sih?" tanya Atha sambil menahan tangisannya.
Agra diam. Jantungnya sudah berdegup cepat.
"Radi nyesel punya kembaran kayak Diska? Radi kesel, capek, marah sama Diska? Kenapa Radi? Padahal dulu Radi nggak kayak gini. Kenapa Radi berubah?"
Agra masih diam. Ia mengalihkan pandangannya.
"Maafin Diska kalo Diska nyusahin Radi, karena setelah ini, Diska bakal usahain buat nggak bikin Radi sakit lagi. Maafin Diska ya, Radi?"
Atha berdiri. "Diska pulang dulu, Radi langsung pulang ya? Jangan main terus, belajar. Diska pergi dulu, dadah."
Agra hanya menatap kepergian Atha. Sekitar lima menit kemudian, ia beranjak pergi.
Dan kembali membelah gerimis kecil yang menjadi saksi atas kejadian malam ini. Antara Agra dan Atha. Antara Radi dan Diska.
***
"Kay!" panggil Atha pada Kay yang sudah turun lebih dulu dari mobil.
Kay tetap berjalan biasa.
"Kaylie."
"Apa?" tanya Kay.
"Lo marah sama gue?" tanya Atha.
"Enggak."
Atha menghela napas. "Maaf."
"Enggak Atha."
"Nggak mau maafin gue?" tanya Atha terkejut.
Kay mendengus. "Gue nggak marah."
"Ooh, ya udah, ke kelas yuk!" Kay mengangguk.
Akhirnya, Atha lega, Kay sudah tidak marah padanya lagi.
Saat Atha dan Kay sedang berjalan sambil sesekali tertawa, tiba-tiba keduanya berhenti kala mendengar teriakan.
"Atha!" panggil Atlan dan Cakra bersamaan. Padahal, mereka berasal dari lorong yang berbeda. Atlan dari kanan dan Cakra dari kiri.
Atha memejamkan matanya lalu melirik Kay. Baru saja baikan, masalah kembali menghampirinya.
"Kenapa ya?" tanya Atha lemas.
"Nggak jadi deh, ntar gue WA aja ya?" tanya Atlan. Atha mengangguk pasrah.
"Ikut gue ke ruang OSIS," ajak Cakra.
"Ngapain lagi?" tanya Atha.
"Mau—"
"Modus," serobot Atlan santai.
Atha diam sambil memejamkan matanya.
"Ada rapat dadakan," jawab Cakra kalem.
"Siapa aja?" tanya Atha.
"Cuma berdua. Makanya, jangan mau, Tha, mending sama gue aja," sahut Atlan ngegas.
"Ck, Lan, diem dulu," ucap Atha gemas.
Atlan mencebik.
"Harusnya sih ketua, wakil, sama sekretaris, tapi berhubung Doni sama Merry lagi absen, diganti kita."
"Alesan dia."
Lagi-lagi, Atlan menyahut ucapan Cakra sebelum Atha menjawabnya.
Lalu, Kay yang merasa terkacangi pergi melanjutkan langkahnya ke kelas.
Atha yang sadar akan hal itu segera menyusul Kay.
"Ck, kalian sih! Cakra, jangan gue deh ya, sori," ucap Atha sambil berjalan cepat.
Atlan lalu melanjutkan langkahnya menuju kelas tanpa mempedulikan Cakra yang menatapnya dengan kening berkerut seperti memikirkan sesuatu yang Atlan tidak mau tahu apa itu.
***
Ponsel Atha berbunyi yang membuat Atha terlonjak kaget. Masalahnya, sekarang sedang pelajarannya Bu Tina, ia tak mau dihukum seperti kemarin lagi. Ah sudahlah, lebih baik Atha mensilentkan ponselnya.
Atha membuka pesan masuk diam-diam. Lantas tersenyum.
Atlan Jodohnya Atha
Ntar malem gue jemput jam 7.
Mau ngapain?
Kepo deh, Yang.
Kok geli ya? Atha membatin lalu terkekeh. Gombalan Atlan receh.
Sayang-sayang apaan?
Kok jutek sih?
Biarin :p
Jangan jutek-jutek ah, ntar gue tambah sayang.
Atha kembali tersenyum geli.
"Atha!" panggil Bu Tina.
Mam-pus!
Kay melirik ke arah Atha yang terdiam.
"Sedang apa kamu? Main ponsel?" tanya Bu Tina.
"Eh anu, enggak kok. Ini lagi ngerjain soal," jawab Atha lemas.
"Awas kamu bohongin Ibu," ancam Bu Tina kejam.
Atha mengangguk kaku. Lalu menyimpan ponselnya ke laci meja.
Atha melirik Kay yang berada di sampingnya. Kay masih marah? Padahal Atha pikir ini hanya hal sepele.
Ia jadi teringat insiden beberapa tahun lalu. Saat ia dan Kay masih duduk di bangku SMP.
***
Flashback on.
"Atha, sini deh, jangan sama Kay." panggil Ria—temannya.
Atha mengernyit. "Kenapa?"
"Kay itu egois. Mentingin dirinya doang. Manja, ngesok, alay lagi," sahut Putri.
"Liat tuh, masa cuma gara-gara jatoh aja nangis, lebay!" cibir Ela.
"Dia juga munafik," tambah Tia.
"Emang yang lagi kalian lakuin itu apa? Ini juga munafik 'kan? Maksudnya apa ngata-ngatain Kay di belakang kayak gitu? Dulu aja kalian sering morotin uangnya Kay kan. Dikira gue nggak tau?" teriak Atha emosi. Ia tak terima Kay dijelekkan seperti ini.
"Halah, lo juga palingan temenan sama dia ngincer duitnya, 'kan?" ejek Putri.
"Gue bukan kalian," desis Atha, lalu segera menuju kelasnya.
Tidak Atha ketahui bahwa ternyata Kay mendengar semuanya.
Setelah mendengarnya, Kay buru-buru menyusul Atha. Meminta maaf karena mereka sedang bertengkar karena sesuatu.
Tentu saja Atha memaafkannya. Ia tak punya alasan dendam pada Kay. Sekalipun Kay jahat padanya suatu hari nanti.
Flashback off.
***
Atha berpikir, mau sampai kapan Kay akan seperti ini? Bukankah nantinya Kay juga harus terbiasa berteman dengan orang lain juga?
Karena selama ini, teman Kay hanya Atha. Begitupun sebaliknya.
Kay melarang Atha berteman dengan siapa pun selain dirinya. Waktu itu Atha hendak protes, namun urung karena ia harus menuruti Kay.
Tidak apa-apa.
***