7. We Need To Talk

1169 Kata
Salah enggak, sih, berharap sama orang yang ngasih harapan? *** "Atha!" panggil seseorang. Atha yang sedang sibuk memakan bekal bersama Kay seketika menoleh ke arah sumber suara. Oh, Cakra. Tunggu, Cakra? Untuk apa Cakra memanggilnya? "Iya, kenapa?" tanya Atha. Ia melirik ke samping, Kay sedang menatapnya dan Cakra. Mampus, ia tak ingin ada masalah lagi. "Mau bahas sesuatu, boleh pinjem waktunya nggak?" tanya Cakra. Atha diam. Ia melirik lagi ke arah Kay yang juga masih diam. "Nggak deh, gue—" "Sana Atha, kali aja penting," ucap Kay. Atha sedikit terkejut. Ia menengok ke arah kanan. Kay sedang melanjutkan makannya. "Gue pergi sebentar ya, Kay?" tanya Atha hati-hati. Kay mengangguk acuh. "Ayo, Tha." Cakra hendak menarik tangan Atha tapi segera ia tepis pelan. Cakra tersenyum. Lalu Atha mengikuti langkah Cakra yang membawanya ke ruang OSIS. "Ada tugas?" tanya Atha. Cakra mengangguk. "Disuruh Kevin buat panggil ketua kelas, mau ada pembinaan dari guru." FYI, Kevin adalah ketua OSIS SMA Permata. Sedangkan Cakra dan Atha anggota OSIS. "Oh, suruh kumpul di mana? Kapan?" Cakra memberikan sebuah buku pada Atha. "Kumpul di aula, nanti pulang sekolah. Lo panggil yang kelas sebelas aja. Sisanya gue sama Kevin." Atha mengangguk lalu mulai memberi pengumuman per kelas. Mulai dari kelas IPA, sampai IPS. Dan kini giliran 11 IPS 5. Atha sedikit gugup. Ada sedikit rasa takut saat melihat Agra. "Permisi," ucap Atha sopan setelah mengetuk pintu. Karena saat ini istirahat, jadi hanya ada beberapa murid di dalam kelas itu. Termasuk Agra, Atlan, dan Heru. Tiga serangkainya IPS 5. "Oi, Jodoh! Ketemu lagi, beneran jodoh kali ya!" teriak Atlan yang sedikit membuat malu karena Atha jadi pusat perhatian di kelas itu, ya walaupun hanya ada beberapa siswa di sana. "Ck, bocah! Cewek polos kayak dia mau lo mainin juga? Kasian kali, Lan," celetuk Heru. Sedangkan Agra, ia masih sedikit terkejut dengan kedatangan Atha yang tiba-tiba. Ia menebak, ada apa Atha ke kelasnya? Perasaan bersalah itu masih ada, walaupun hatinya sudah sedikit tenang. "Diem lo!" ucap Atlan garang. "Mau ngapain, Jodoh?" "Ketua kelasnya siapa?" tanya Atha. "Agra," jawab Atlan. Atha menatap canggung. Begitupun Agra. "Bisa tolong ke sini sebentar?" tanya Atha kikuk. "Tuh Gra, samperin," ucap Atlan. Agra berdiri. Ia menghampiri Atha setelah menghela napas panjang. Atha merasa hawa di sekitarnya berubah. Tatapan Agra yang dingin, tajam, dan datar mengintimidasinya. Mereka benar-benar seperti orang asing. "Apa?" tanya Agra ketus. "Nanti ketua kelas kumpul di aula, pulang sekolah," kata Atha tanpa menatap mata Agra. Agra, ia merasa ia selalu menjadi alasan Atha menangis, tapi ia tak bisa apa-apa. Merasa bersalah tapi enggan meminta maaf. "Hm. Balik sana!" usir Agra. "Iya." Sebelum Atha pergi, ia sempat melihat Atlan menelepon seseorang. "Lo di mana? Mau ke kantin? Bentar lagi bel, gimana? .... Ya udah, nanti lo ajak Atha aja, Kay. Bye." Atha sedikit mendengar apa yang Atlan katakan. Kay? Ada apa dengan Kay dan Atlan? Sejenak, dadanya nyeri. Entah apa itu. Tapi ada yang aneh. Agra justru memegang dadanya. Padahal yang sakit adalah Atha, kan? Err, setidaknya itu yang Atha pikirkan. "s**t!" geram Agra pelan. "Nanti kita perlu ngomong." Atha pergi setelah mengangguk. Agra tadi kenapa? *** Kay cemburu karena tadi Cakra meminta Atha untuk ikut dengannya? "Kay...," panggil Atha. Yang dipanggil masih pura-pura sibuk mengerjakan soal. "Kay, lo kena—" "Atha!" Seketika seisi kelas menengok ke arah Atha. Atha mematung. Astaga, ia lupa bahwa ini masih jam pelajaran matematika. Bagaimana ini? Atha tidak pernah dihukum sebelumnya, apakah hari ini.... "Keluar," ucap Bu Tina tajam. Atha menghela napas, lalu keluar dari kelasnya. Baru kali ini ia dihukum, jadi ia bingung hendak berbuat apa. Ia memutuskan untuk duduk di depan kelasnya yang sudah tersedia bangku panjang. Matanya sibuk berkeliling, hingga terfokus pada satu titik, lapangan sepak bola. Di sana ada Agra yang sedang berteriak meminta operan bola. Seketika pikiran Atha melayang ke kejadian tadi pagi. Agra dengan santainya mengatakan hal yang sejujurnya tidak ingin Atha dengar. Karena ... sebagian besar memang benar adanya. Rasa nyeri itu kembali lagi. Atha memejamkan matanya sejenak. Saat Atha membuka matanya, di sana, Agra sedang berdiri memejamkan mata sambil memegangi dadanya. Atha panik, apalagi saat teman-teman Agra menghentikan permainan bola itu dan menghampiri Agra. Atha bingung hendak berbuat apa. Jadi ia hanya bisa memandangi Agra dari atas dan berharap Agra tidak kenapa-kenapa. *** "Woi, Gra, kenapa lo?" teriak Atlan. Ia heran, kenapa Agra terlihat seperti kesakitan sambil memegangi dadanya? Ini bukan yang pertama kali. Agra sudah sering seperti ini, tapi jika ditanya, Agra akan menjawab ngawur. "Bawa UKS aja!" usul Heru. "Nggak usah. Gue nggak papa," lirih Agra. "Bener nggak papa?" tanya Atlan memastikan. "Iya nggak papa, lanjutin aja mainnya, gue ke kelas duluan." "Ayo gue temenin," ucap Atlan. "Gue main ya? Mau bikin sixpack nih kayak Jojo," tukas Heru. "Apaan sih, Heru nggak jelas!" komentar Iko. "Heru semakin alay!" tambah Roy. "Berisik lo, Roy Kiyoshi!" "Berisik deh kalian, gue duluan sama Agra," kata Atlan. Yang lain hanya mengangkat jempolnya. Saat Agra berjalan hendak ke kelasnya, ia sempat melirik ke lantai tiga, tepatnya melirik ke arah kelas 11 IPA 1, kelas Atha. Agra melihat Atha yang sedang memandang khawatir ke arahnya. Ia mencebik. Untuk apa khawatir jika penyebabnya adalah Atha sendiri? Menyebalkan. *** "Kay, lo pulang sendiri nggak papa, 'kan? Gue di suruh Kevin nungguin acara di aul—" "Atlan!" Bukannya menanggapi ucapan Atha, Kay justru memanggil Atlan yang sudah tiba di depan kelasnya. Atha tersenyum tipis. "Eh Kay jadi, kan?" tanya Atlan pada Kay. Kay mengangguk semangat. "Ayo!" "Atha, duluan." Bukan, bukan Kay. Itu Atlan. Lalu Atha mengangguk. Ia tak ingin memusingkan dua orang yang sedang berjalan ke sembari tertawa bersama. *** Acara pembinaan ketua kelas selesai pukul lima sore. Satu per satu siswa dan siswi yang menjabat sebagai ketua kelas itu beranjak pulang. Ada yang dijemput, ada pula yang ikut temannya. Dan Atha? Ia sedang menunggu angkutan umum di halte. Walaupun ia tahu akan lama menunggu karena sudah jarang angkutan umum di atas pukul lima sore. Atha kembali melirik jam tangan hitam di pergelangan kirinya, 17.19. Menjelang magrib dan ia belum pulang. Ditambah lagi mendung, sebentar lagi hujan. Sial. Bukan sebentar lagi, tapi sekarang sudah mulai gerimis. Di saat Atha sedang sibuk melihat aspal yang semakin basah, sebuah motor besar berhenti tepat di depannya. Atha pikir, orang itu hanya ingin berteduh atau memakai mantel. Jadi, Atha tidak menghiraukannya. Tebakannya ia salah. Orang itu berjalan ke arahnya. Ia memakai hoodie hitam yang membuat sebagian wajahnya tertutup. Namun Atha tahu, sangat tahu siapa orang itu. Agra. Agra melempar sebuah sweater hitam ke arah Atha. "Pake," ucapnya datar. Atha masih bingung. Apa maksudnya? Oh bukan. Kenapa Agra seperti ini? "Pake!" sentak Agra dengan nada satu tingkat lebih tinggi. Atha langsung menurut. Ia memakai sweater milik Agra yang sedikit terlalu besar untuknya. Agra menaiki motornya lagi. "Naik." Atha kembali diam. Ini Agra? "Nggak mau gue tinggal!" teriak Agra kesal. Kenapa Atha jadi lemot? Atha segera menaiki motor hitam Agra. Untuk pertama kalinya. Atha tersenyum lebar. Ia refleks memeluk Agra. Agra mematung. Sebuah kenangan terputar jelas di otaknya saat ini. Begitupun Atha. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN