A Tiring Night

1184 Kata
*** "Nggak usah jatuh cinta kalo nggak mau sakit hati." ~Radius Agraha Mahardika~ *** Atlan Jodohnya Atha Jemput di mana? Di gang kemaren aja. Kebetulan gue nanti juga ada urusan sebentar di sana. Oke deh. Dadah, Jodoh! Atha memasukkan ponsel pemberian Atlan ke tas kecil lalu ia berjalan mengendap. Hampir saja ia menyentuh gagang pintu, dehaman mengagetkannya. "Ehm." Atha refleks menoleh ke belakang. Untunglah, itu Agra. Ia kira ibunya. "Ke mana?" tanya Agra dingin. "Mau ... pergi sebentar. Jam sembilan balik deh, suer," kata Atha takut-takut. "Sama?" Atha diam sebentar. Agra sudah pernah bilang kalau Atha harus menjauh dari Atlan. Tapi ini bagaimana? Atha sudah terlanjur mengiyakan ajakan Atlan. "Sama Atlan," jawab Atha lirih. Rahang Agra seketika mengeras. Tangannya sedikit terkepal. "Bukannya udah gue bilang?" sentak Agra. Atha menunduk. "Maaf. Kali ini aja, ya? Udah telanjur." "Sekali lagi gue tau, awas aja!" ancam Agra. Ia melengang ke kamarnya. Atha menghela napas lega. Lalu buru-buru keluar rumah sebelum ibunya juga tahu. *** "Kenapa nggak minta jemput di rumah aja sih? Lo tetanggaan 'kan sama Agra? Gue tau rumah Agra kok." Atha yang baru datang diam sejenak. "Gue udah bilang ada urusan dulu." "Ya udah ayo, keburu malem banget," kata Atlan tak ingin memperpanjang, lagipula alibi Atha cukup logis. Setelah menerima dan memakai helm cokelat bogo yang disodorkan Atlan, motor besar Atlan melesat pergi meninggalkan gang yang terkenal dengan rumah gedongnya yang menjulang. *** "Mau ke mana sih?" tanya Atha. Sudah tiga kali tapi Atlan hanya bergumam tak jelas. "Ih Atlan! Kita mau ke—" Ocehan Atha berhenti bersamaan dengan motor Atlan. "Turun," perintah Atlan. Atha turun perlahan. Ia melepaskan helm dan menyerahkannya pada Atlan. Lalu ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ramai. Riuh. Berisik. Ternyata Atlan mengajaknya ke markas besar Thunderbolt. Ada sekitar 20-30 orang di sana. Atlan yang melihat Atha sedikit terkejut langsung menggenggam dan menarik Atha ke arah teman-temannya berada. "Woy, Lan! Dari mana aja lo?" tanya Randi menyapa Atlan. "Kepo," ledek Atlan. "Ceilah Atlan, gandengannya bedaaaa! Selera lo udah bukan yang depan belakang oke lagi?" tanya Heru sembari nyengir. Atlan menabok kepala Heru. "Heh kalo ngomong!" "Awas lo Lan, dia keliatannya anak baik-baik, polos lagi," seloroh Denis. "Kalo ntar Atlan nyakitin bilang ke abang aja ya?" seru Frans pada Atha yang sedang berdiri kikuk. Sebenarnya Atha tidak takut pada mereka, tidak pula merasa terganggu oleh keberadaan geng itu. Tapi ia hanya tidak nyaman, karena disana hanya dia yang berjenis kelamin perempuan. "Duduk, Tha," ucap Atlan pada Atha. Atha langsung duduk di dekat Atlan. Bahkan jaket Atlan menempel dengan kaos lengan pendeknya. Atha pikir Atlan hanya mengajaknya jalan-jalan biasa, jadi ia hanya memakai kaos pendek hitam polos dan celana jeans selutut berwarna hitam. Rambutnya pun hanya dicepol asal. Ia melirik sepatu putih yang diberikan oleh Karin—mama Kay, lalu memandang tas selempang putih yang hanya bisa diisi ponsel dan sedikit uang. Ia meringis saat menyadari pakaiannya lumayan terbuka. Jika tahu akan ke sini, Atha pasti memakai pakaian yang sedikit lebih tertutup. "Kenapa, Tha?" tanya Atlan saat mengetahui Atha yang sedikit tidak tenang. Atha menggeleng cepat. "Nggak papa." "Selow aja, Tha, kita nggak gigit kok," celetuk Heru. "Tau, tegang banget Tha, takut ya ke kita? Tenang aja, kita nggak ngapa-ngapain kok." Sedangkan Atha hanya nyengir kikuk. "Nggak papa kan di sini? Gue ngomong berdua dulu ya sama Randi," izin Atlan. Atha mengangguk. "Ayo Ran, di luar aja." Randi berjalan mengikuti Atlan yang sudah lebih dulu keluar dari mabes Thunderbolt. "Lo Atha anak IPA 1 yang sekelas sama Kay anak modelling itu kan?" tanya Heru. Atha mengangguk kaku. "Heran kenapa Atlan bisa jalan sama lo sih." Atha diam menunggu penjelasan selanjutnya. Ia canggung hendak bicara apa. "Secara 'kan Atlan sukanya sama cewek yang ... ya lo pada tau sendiri lah...," sahut Haikal. "Bener! Padahal Atlan suka sama—" "Tha!" panggil Atlan. Atlan memanggil Atha namun pandangan matanya mengarah pada teman-temannya. "Ayo jalan." Atlan menarik tangan Atha. Atha pasrah saat ia diajak keluar tanpa pamitan terlebih dahulu. *** Lagi-lagi Atha diam saat Atlan mengajaknya ke sebuah rumah sakit. Sebenarnya Atha bertanya-tanya, tapi ia urungkan. Saat sudah memarkirkan motornya, Atlan menggandeng tangan Atha. Atha selalu speechless saat ada laki-laki lain yang memegang atau menggandeng tangannya selain Agra. Atlan langsung berjalan menuju lorong rumah sakit tanpa bertanya pada resepsionis dahulu. Ia berjalan menggandeng Atha dengan langkah pelan. Namun pandangannya tetap lurus, seolah Atlan memang sudah hafal dan sering kesana. Keduanya masih diam sampai tiba di depan ruang perawatan kelas VVIP yang sepi. Atha ingin bertanya, siapa yang sakit? Kenapa tidak ada yang menjenguk? Namun nyali Atha menciut kala ia sadar bahwa Atlan kali ini lebih diam dibanding biasanya. Atlan tampak menghela napas dalam. Detik berikutnya, ia menengok ke arah Atha sembari tersenyum tipis. Lalu ia menarik kenop pintu, lantas masuk ke ruangan penuh alat medis yang Atha tak tahu apa namanya. Namun satu yang Atha paham. Alat-alat itu adalah alat penunjang kehidupan perempuan yang sedang terbaring pucat di atas brankar. Atlan melepas genggamannya dan berjalan ke samping brankar, duduk di sana. Atha masih diam di tempatnya berdiri ketika Atlan merapikan sejumput anak rambut perempuan tadi dengan sangat pelan seolah perempuan itu adalah kaca yang rentan pecah. Perempuan itu masih belia. Cantik. Sepertinya lebih muda dari Atha. Siapa dia? Atha berjalan mendekat ke arah Atlan. Dan saat ia hendak bersuara, ia lebih dulu mendengar ucapan Atlan yang lirih. "Tenang aja, aku masih dan akan selalu sayang sama kamu," bisik Atlan di telinga perempuan tadi. Hati Atha mencelus. Kali ini lebih nyeri dibanding ia melihat Atlan dengan Kay yang berjalan bersama sambil tertawa. "Tha?" panggil Atlan. Atha terkesiap. "Ya?" "Ayo pulang." Atha hanya diam saat Atlan membawanya keluar dari ruangan itu. Lalu Atlan segera mengantar Atha pulang tanpa candaan, obrolan, dan basa-basi. Entah kenapa, Atha sedikit kecewa dengan hal ini. Yaa, setidaknya sedikit. *** "Janji jam 9 katanya!" Sebuah sindiran menyambut kepulangan Atha. Atha yang sudah lelah hanya tersenyum tipis sembari melepas sepatu bututnya. "Lo bikin ulah lagi?" tuduh Agra. Kali ini Atha menengok heran kearah Agra. "Maksudnya?" "Lo kenapa?" tanya Agra. Seketika lelah Atha serasa hilang. Ia tersenyum lebar dengan mata berbinar kala Agra menanyakan hal semanis dan seperhatian itu. Ya, walaupun dari nada suaranya sangat datar dan dingin. "Gue—" "Gue sebenernya nggak peduli lo kenapa. Tapi tolong, lo juga harus mikir. Kalo lo sakit hati, gue yang bakal lebih sakit dari lo. Jadi, kalo nggak mau sakit hati, nggak usah main cinta-cintaan, ngerti?!" sentak Agra. Binar di mata Atha meredup kala Agra kembali membentaknya. Melihat Atha yang terdiam lesu membuat sorot tajam Agra melunak. "Nggak usah jatuh cinta kalo nggak mau sakit hati." Lalu Agra meninggalkan Atha yang berusaha mengendalikan hati dan pikirannya yang kacau. Sekacau rencana yang sudah ia bayangkan bersama Atlan, namun berbuah masam. Atha memang selalu tidak beruntung. *** Sepanjang malam mata Atha tidak terpejam. Pikirannya sibuk menerka siapa perempuan yang berada di ruang VVIP sendirian itu? Apakah ia adiknya Atlan? Saudara? Keponakan? Tapi, kata-kata Atlan begitu ambigu dan kurang cocok untuk digunakan kepada saudara sendiri. Tenang aja, aku masih dan akan selalu sayang sama kamu. Oh ayolah, itu bukan kalimat yang baik untuk saudara, bukan? Lalu, siapa dia? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN