Truly Twins

1174 Kata
*** "Jangan terlalu sayang sama orang, sakit sendiri ujungnya." ~Radius Agraha Mahardika~ *** "Agra? Sini masuk," ucap Atha antusias. Jarang-jarang Agra mau masuk ke kamarnya. "Tumben ke sini, kena—" "Nggak usah sok," ujar Agra ketus.  Atha diam. Menatap lantai yang tampak lebih menarik dari sosok di hadapannya itu. "Maksudnya?" "Lo mau sok polos di sekolah dengan diem aja di-bully Lolita? Otak lo di mana? Harga diri lo dijatuhin malah masih mikirin hape butut lo," tukas Agra tajam. Wow, sejak kapan Agra mengikuti kursus bicara pedas? "Harusnya lo mikir, gimana nasib lo ke depannya, pasti mulai besok banyak yang bakal ngomongin lo. Oh, apa emang itu tujuan lo? Mau terkenal dengan cara praktis?" Atha tidak menyangka pemikiran Agra sedangkal itu. Sungguh. Tidak pernah terbesit di benak Atha ingin menjadi terkenal di sekolah, apalagi dengan cara demikian. "Gue sama sekali enggak mau sok polos seperti yang lo ngomong tadi. Juga, buat apa gue terkenal kalo lo sendiri enggak nganggep dan enggak kenal sama gue lagi? Oh salah ... atau mungkin gue yang udah enggak kenal lo? Agra, most wanted-nya SMA Permata yang cool, ganteng, dan ramah, siapa dia?"  Atha menjeda. Napasnya sedikit terputus-putus. Kali ini dia tidak tinggal diam. Sudah cukup selama ini menanggung beban hati dan tidak bicara apa pun. "Iya Gra, gue yang enggak kenal lo lagi. Ke mana lo yang dulu? Hilang dimakan gengsi? Iya? Gue enggak nyangka, Gra. Hanya karena hal 'itu' lo bahkan enggak nganggep gue. Gue Gra, gue yang dulu berbagi nutrisi ibu sama lo. Gue yang dulu berbagi tempat di rahim ibu sama lo. Gue yang dulu selalu jadi orang pertama yang lo peluk saat lo seneng. Ke mana Radi-nya Diska?" tanya Atha lirih.  Suaranya gemetar. Dia lelah dianggap seperti angin lalu. Ada serasa tak ada. Dia merindukan laki-laki yang lahir di hari dan jam yang sama dengannya. Rindu pelukan hangat sosok yang dulu bersamanya dalam rahim ibunya. Atha rindu pada Radi, Radius Agraha Mahardika, kembarannya. Agra terdiam. Tak mengira reaksi Atha akan seperti ini. Dia kira, Atha akan sama seperti sebelumnya, diam dan hanya tersenyum. Dia dirundung rasa bersalah yang besar setelah mendengar ucapan panjang lebar dari Atha. Agra tak tega melihat Atha yang sudah menunduk. Dia tahu Atha sedang menahan tangisnya. Tertebak dari jantungnya yang mulai berdetak tidak normal. Dadanya mulai bereaksi. "Jangan terlalu sayang sama orang, sakit sendiri ujungnya," ucap Agra yang ia buat agar seketus mungkin. Masih tak ingin pendiriannya goyah. Ternyata, gengsi memang mengalahkan segalanya. "Salah gue di mana? Salahkah kalo gue sayang banget sama kembaran gue sendiri?" Suara Atha mulai meninggi. "Gue nggak tuntut lo buat jadi kembaran kayak orang lain, kayak di TV, ataupun di novel-novel. Gue cuma minta supaya gue dianggep kembaran sama lo. Dianggep saudara. Dianggep adik," lanjutnya. Agra masih diam. "Terserah. Gue enggak peduli. Satu lagi. Jauhi Atlan kalo lo mau bebas dari masalah." Agra meninggalkan Atha yang mulai menitikkan air matanya. Sekeras itu hati Agra? Benar. Seseorang bisa berubah. Kapan saja. Bahkan seorang kembaran sekalipun. Atha menangis dalam diam. Tidak ada suara senggukan. Tidak ada isakan. Hanya bahunya yang bergerak naik-turun. Serta matanya yang semakin memerah. Malam ini, Atha kalah dengan takdir. Ia sudah berhasil merebut Agra-nya Atha. Radi-nya Diska. *** Dadanya bergemuruh hebat. Seolah turut merasakan kepedihan yang sama. Padahal, dia yang menyebabkan semuanya. Inilah kemauannya, tetapi kenapa dia turut merasakan sakit? Agra terduduk lemas di depan pintu kamar Atha sambil memegang d**a.  Dadanya berdegup kencang. Selalu seperti ini saat Atha sedang sedih dan menangis. Raga, jiwa, dan hatinya sudah terikat penuh dengan Atha. Apa pun yang Atha rasakan, akan dia rasakan juga. Jadi, apa yang sedang Atha rasakan kini, dirasakan juga. Semuanya menyatu. Ketika Agra sedang introspeksi diri, dadanya kembali berdegup lebih cepat. Sesedih inikah Atha karena ulahnya? Agra sudah tidak tenang. Raganya ingin sekali menuju kamar Atha dan membawa gadis itu kepelukannya. Menenangkannya seperti dulu. Sekali lagi, Agra gengsi melakukannya. Jadi dia hanya membiarkan hatinya gelisah. Agra mendekatkan telinganya ke pintu. Kali ini, suara isakan terdengar nyaring. Agra semakin meremas bajunya. Segalanya tidak bisa seperti ini. Dampak kesedihan Atha terlalu besar baginya. Agra memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan menenangkan diri. Dia sangat berharap, Atha berhenti menyiksanya dengan cara menghentikan tangis dan kembali ceria. *** Bangun tidur Agra masih merasakan hatinya masih gelisah walaupun jantungnya sudah berdegup normal. Atha masih sedih. Agra berusaha tak peduli. Dia segera bersiap dan berangkat menuju sekolah. Tanpa sarapan dan tanpa pamit. Sudah biasa. Lagipula, tidak ada yang mengkhawatirkannya, 'kan? Sampai di sekolah, Agra segera menuju ke kelasnya. Di sana sudah ada Atlan yang entah kerasukan apa sampai berangkat pagi. "Tumben pagi. Kesurupan?" tanya Agra. "Lah, gue berangkat pagi salah, telat lebih salah. Gue salah mulu dah!" Atlan merengut. "Alay!" cibir Agra, "lagi ngapain lo?" "Chat sama doi," jawab Atlan tenang. Hatinya kembali gelisah. "Doi? Siapa?" tanya Agra hati-hati. Agra hanya berharap agar Atlan tidak menyebut nama .... "Atha, dong!" seru Atlan semangat. Ini musibah bagi Agra. Ck. "Sering chat?" tanya Agra. Atlan mengangguk mantap. Agra bingung. Di satu sisi, dia senang, Atlan menemukan perempuan baik-baik karena selama ini Atlan hanya pacaran dengan perempuan yang ... ya, you know lah. Namun, di lain sisi, kenapa harus Atha? Agra ... khawatir. Khawatir jika Atlan hanya main-main seperti sebelum-sebelumnya. Dia ingin melindungi Atha, tetapi bagaimana? Tidak mungkin dia mengatakan rahasia besarnya ini pada Atlan, 'kan? Itu tidak lucu. "Baru kenal udah ngaku suka, kibul lo!" cibir Agra. "'Kan, coba-coba, kali aja yang ini lebih seru." Atlan nyengir. Tangan kanan Agra yang berada di saku celana mengepal saat mendengar jawaban Atlan yang sangat tidak serius itu. Rahangnya mengeras kala matanya melihat Atlan yang sedang mengirim pesan ke Atha dengan kata-kata alay. Istilahnya, Atlan sedang membuat baper Atha. Sialan. "Ck, Atha? Cewek rata depan belakang, tampang standar, sok kalem, b**o, dan bahan bully itu? Kok selera lo menurun banget, sih? Cari yang berkelas dikit kek, kayak Kay ketua eskul modelling, kalo enggak Lolita. Masa abis putus dari Nia jadian sama Atha? Enggak level banget!" seru Agra sinis. Dia sengaja mengatakan itu, tetapi bukan tanpa alasan. Dia punya alibi sendiri. Namun, tanpa mereka berdua sadari, ada seseorang gadis yang tidak sengaja mendengar penuturan Agra tadi. Langkahnya yang hendak menuju perpustakaan terhenti tepat di depan pintu kelas 11 IPS 5.  Dia menunduk. Menatap sepatunya yang jauh dari kata stylish. Seburuk itukah dia sampai dijelekkan seperti ini oleh kembarannya sendiri? Di waktu yang bersamaan, Agra merasakan degupan jantungnya kembali cepat. Atha? Dia kenapa? Jangan bilang kalau .... Agra menengok ke arah pintu dan menemukan seseorang yang sedang menunduk. Tak lama, orang itu menatapnya nanar. Penuh luka. Belum sempat dia bereaksi, orang itu pergi, melanjutkan perjalanannya yang sempat terhenti. Dadanya semakin berdebar. Argh! Dia benci situasi ini. Atha yang sedih sangat mengganggunya! "Gra? Lo kenapa?" tanya Atlan khawatir saat melihat Agra memegangi dadanya sambil memejamkan mata. "Enggak papa. Cuma kek ada getaran apa gitu. Cinta kali, ya?" tanya Agra sok dramatis. Seketika Atlan tertawa sambil menggeplak kepala Agra. "t***l!" Agra tersenyum tipis. Dia harus bicara tentang masalah ini dengan Atha. Harus! Lelaki itu tak ingin perasaannya terganggu gara-gara Atha. Risi! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN