Bukannya khawatir itu wajar, ya?
Itu tanda sayang, 'kan?
***
"Atha, bangun!" panggil Ani panik.
"Kenapa, Bu?" tanya Atha dengan suara serak khas orang bangun tidur. Atha ketiduran saat menunggu Agra. Dia melirik jam, pukul dua dini hari, alu dia sadar sepenuhnya. Apa yang terjadi pada Agra?
"Radi, Tha. Ayo ikut Ibu." Ani menarik tangan Atha. Meski sempat bingung, detik berikutnya dia tahu akan pergi bersama Karin---mama Kay. Di perjalanan, Atha hanya diam sambil meremas kedua tangannya. Cemas pada Agra. Dia ingin bertanya ke mana mereka akan pergi, tetapi dia urungkan saat mobil merah itu berhenti di sebuah bangunan.
Atha melotot. Dadanya bergemuruh. Karin merangkul dan membawa Atha masuk. Di sana, hanya ada dua anak Permata, Agra dan Atlan. "Kamu temui Agra dulu, Mama mau urus semuanya sama ibu kamu." Atha mengangguk mendengar ucapan Karin. FYI, Karin sudah menganggap Atha seperti anaknya sendiri. Jadi, Atha pun menganggap Karin mamanya.
Atha menghela napas lega saat dia melihat Agra dan Atlan duduk di pojok. Setidaknya Agra baik-baik saja. Semua beban yang semula terasa membebani pundak seolah sirna dalam sekejap. Atha langsung berjalan mendekati Agra.
"Agra," panggil Atha lirih. Yang dipanggil mendongak. Belum sempat Agra membalas, Atha sudah menghambur ke pelukan Agra yang masihdiam, masih kaget dengan kedatangan Atha tiba-tiba. Agra tidak menolak dan tidak membalas pelukan hangat itu.
Baru saat Atlan menatap heran ke arahnya, Agra melepaskan pelukan Atha. "Ngapain ke sini?" tanya Agra dingin.
"Jemput lo," ucap Atha manis.
Agra mengalihkan pandangannya, ke mana pun, asal tidak menatap Atha. "Sana pulang."
Atha kecewa, tetapi dia tetap mengulas senyum manis. "Enggak tanpa lo."
"Jangan khawatirin gue. Gue bisa sendiri," elak Agra.
"Salah kalo gue khawatirin lo?" tanya Atha sambil hendak menyentuh dahi Agra yang lecet.
Segera Agra menepis tangan Atha kasar. Dia menatap gadis itu tajam. "Salah. Gue enggak butuh rasa khawatir lo."
"Gra--"
Belum selesai Atha berucap, Agra sudah izin ke toilet kepada petugas yang berjaga di sana. "Atha?" panggil Atlan.
Atha menengok, dia lupa ada Atlan di sini. "Eh, iya?"
"Lo sama Agra pacaran?" tanya Atlan.
Kepala Atha menggeleng. "Gimana keadaan lo? Abis berantem? Luka gini." Atha mengelap darah yang ada di ujung bibir Atlan menggunakan sapu tangannya yang berwarna putih. Atha tersenyum dan senyum itu menular pada Atlan yang sedikit terkejut dengan perlakuan Atha. "Jangan diulangi, ya? Apalagi sampai masuk kantor polisi," ujar Atha setelah selesai mengelap darah.
"Enggak janji." Atlan nyengir lebar. Terlalu lebar sampai dia kembali meringis kesakitan karena lukanya berada tepat di ujung bibir kanan.
"Bandel sih lo." Atha terkekeh.
Atlan mengalihkan pembicaraan. "Bener lo sama Agra nggak pacaran? Bener cuma tetangga?"
Tetangga. Atha merasa lucu. Namun, bukannya ingin tertawa, dia justru ingin menangis. "Agra itu--"
"Agra mana, Tha?" panggil Karin yang tiba-tiba muncul.
Atha menoleh. "Ke toilet, Ma."
"Ya udah, ayo, pulang, ajak Agra sekalian. Kamu...." Karin menunjuk Atlan.
Atlan menunjuk dirinya sendiri. "Saya, Tante?"
"Iya. Kamu bisa pulang, Tante udah urus semuanya," ucap Karin.
"Makasih, Tante." Atlan tersenyum sopan.
"Sama-sama. Tante heran, kenapa keluarga kamu enggak ada yang ke sini?" tanya Karin.
Atlan diam cukup lama. "Mereka ... sibuk, Tante," jawabnya kikuk.
"Oh ya udah, kamu mau ikut Tante, obatin luka kamu dulu?"
"Enggak usah, Tante, makasih. Saya pulang aja." Atlan berdiri lalu menyalami tangan Karin. "Sekali lagi, makasih Tante, saya permisi dulu. Atha, duluan."
"Hati-hati." Atlan pun keluar dari kantor polisi dan tampak mengendarai motor besarnya. "Pacar kamu, Tha?" tanya Karin.
Atha terkejut dengan pertanyaan Karin. "Eh, bukan Ma, temen." Karin tersenyum. Lalu Agra datang menghampiri Karin dan Atha.
"Maafin Agra, Tante. Juga ... makasih," ucap Agra kikuk.
Karin tersenyum. "Enggak papa, tapi jangan diulangi, ya? Tante tau, remaja seusia kamu emang lagi masa-masanya kayak gitu, tapi jangan sampai bikin ibu kamu khawatir. Kasihan." Agra mengangguk. "Ayo pulang, ibu kamu udah nunggu di mobil. Ayo, Tha."
Mereka bertiga keluar dari tempat penuh jeruji itu. Atha melirik ke arah Agra yang tidak seperti dulu. Kini lelaki itu berbeda. Atha merindukan Agra yang dulu.
***
"Ehm." Sebuah dehaman membuat langkah Kay dan Atha yang hendak menuju ke perpustakaan terhenti. Mereka berbalik dan melihat ada Atlan di sana. "Hai," sapa Atlan.
Atha membalas sapa, "Hai."
Kay? Dia sedang gigit-gigit jari tidak jelas di sebelah Atha. Baru setelah Atha menyikutnya, Kay membalas sapaan Atlan. "H-hai." Kay tergugu.
Atha mencebik. Kay memang selalu seperti itu jika sudah berurusan dengan Atlan. Berlebihan menurutnya. "Biasa aja," bisik Atha pada Kay.
"Mau ke kelas?" tanya Atlan. Atha dan Kay mengangguk. "Temenin ke kantin dulu, yuk?"
Cakra berlari kecil menuju tiga orang itu dan berseru, "Kay!"
Senyum Kay terulas. "Kenapa?"
"Ada hal yang mau gue omongin, lupa kemaren enggak bilang." Kay mengangguk lalu menyusul Cakra.
"Duluan, Lan, Tha." Atlan dan Atha mengangguki ucapan Kay.
"Ke kantin?" tanya Atlan. Atha mengangguk lagi. Dia juga sudah lapar. "Ayo." Atlan menggandeng tangan Atha.
Gadis itu refleks berucap, "Eh?"
"Kenapa? Enggak suka digandeng gue?" tanya Atlan.
Kepala Atha menggeleng pelan. "Bukan gitu," kata Atha tak enak.
"Ya udah diem aja." Atlan kembali menggenggam tangan Atha sampai di kantin. Atha sudah menjadi pusat perhatian sekarang. Mampus. Padahal Atha paling tidak mau seperti ini. Banyak yang bertanya-tanya siapa yang digandeng oleh Atlan. Karena sebagian besar, mereka tidak mengenal Atha.
"Lan, lepas ya? Malu dilihatin," pinta Atha.
Atlan melepas genggamannya. "Maaf udah bikin lo malu," ucapnya sopan. Atha hanya tersenyum sebagai balasan. Mereka memilih duduk di dekat stand bakso. "Makan apa?"
"Terserah lo, gue ikut aja."
Atlan mengangguk. "Minumnya?"
"Es teh."
"Oke, tunggu."
"Makasih." Atlan mengangguk lagi lalu segera memesan. Atha yang bingung hendak berbuat apa akhirnya membuka ponsel. Ketika sedang asyik bergelut aplikasi mengedit gambar, sebuah tangan merebut ponsel Atha dengan paksa. "Eh, ponsel gue!" pekik Atha refleks.
"Jadi ini hape cewek kecentilan yang udah ngegoda Atlan?" tanya perempuan yang tadi merebut ponselnya. Mata Atha terbuka lebar. Di belakangnya ada Lolita, kakak kelas yang suka mem-bully. Jangan bilang, Atha korban selanjutnya. Karena Atha sangat menghindari masalah, terutama tentang sekolah dan kakak kelasnya.
Fika, teman Lolita menyeletuk, "Jiah, jadul banget!"
"Yakin ini ponsel anak Permata?" tanya Lolita.
"Kak, tolong balikin ponsel aku," ucap Atha pelan. Atha sebenarnya tidak takut, sekali lagi. Dia hanya tidak ingin terkena masalah. Juga bukannya sok imut menggunakan 'aku-kamu' dengan Lolita. Hanya saja Atha ingin terlihat sopan dan menghargai.
"Sok imut anjir!" cibir Fika.
Tidak ada yang berani membantu Atha dalam kondisi seperti ini. Termasuk anak laki-laki. Bukan mereka takut, tetapi mereka merasa itu bukanlah urusan mereka dan itu hak Lolita ingin berbuat apa. "Kak, tolong balikin ponsel aku," ulang Atha.
"Ini?" Lolita bertanya, Atha mengangguk. PRANG! Kali ini Atha benar-benar melebarkan matanya. Dia buru-buru mengeceknya. Nahas, ponselnya sudah mati total. Yang dia pikirkan bukanlah isi ponsel itu, tetapi bagaimana dia akan menjelaskan semuanya pada ibu dan mama nanti.
"Yah, kasihan. Mati, ya? Mampu beli enggak? Apa mau gue beliin?" tanya Lolita sinis. BYUR! Lolita menumpahkan jus mangga milik Fika ke tubuh Atha.
Baru saja Lolita hendak bicara, Atlan yang datang tiba-tiba sudah menyela, "Yah, kasihan. Kurang perhatian, ya? Mampu dapetin perhatian enggak? Apa mau gue perhatiin?" tanya Atlan sarkas. Dia meniru kata-kata Lolita.
Entah sejak kapan Atlan di sana, yang jelas, dia sudah berdiri di samping Atha sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. Lolita terkejut. Buru-buru dia menurunkan tangannya dari depan d**a. Berusaha menjaga image-nya di hadapan Atlan. "Eh, Atlan. Kok kamu di sini?" tanya Lolita kalem.
"Bisa enggak usah sok senior, Lol? Gue tau, lo lebih tua setahun dari gue dan Atha, tapi apa itu lo jadiin alasan buat lo bersikap seenaknya sama Atha?" sentak Atlan. Dia memang tak suka dengan sifat Lolita yang satu ini---sok berkuasa. Dia juga risi pada Lolita yang selalu cari perhatian. Memikirkannya saja membuat Atlan bergidik.
"Kok kamu gitu, sih." Lolita merengut.
"Heru!" panggil Atlan pada salah satu temannya yang sedang duduk di pojokan kantin.
Yang dipanggil mendekat. "Apaan dah?"
"Nih, katanya Lolita naksir," ucap Atlan.
Lolita mendelik saat Heru mengedipkan matanya ke arahnya. "Wah, serius? Enggak sia-sia dong gue nunggu lo setahun," seru Heru semangat.
"Enggak jelas!" umpat Lolita sambil pergi dari kantin, disusul anak buahnya.
"Loh, kabur dia, Lan," kekeh Heru.
"Lo b***k soalnya."
"Woi, enak aja!" seru Heru tak terima.
Atlan lalu menarik lengan Atha yang masih diam menatap ponselnya yang mati keluar dari kantin. "Ayo ke UKS, ganti seragam lo. Maaf gara-gara gue, seragam lo basah. Nanti pulang sekolah kita beli ponsel," ujar Atlan.
"Buat kado siapa?" tanya Atha polos.
Atlan terkekeh. "Lo polos apa b**o, sih? Ya buat lo lah."
Wajah Atha memerah. Malu. "Enggak usah, nanti gue beli sendiri aja," kata Atha.
"Enggak papa. Anggep aja hadiah pertemanan kita."
Atha hanya mengangguk agar dia cepat keluar dari kantin. Lalu mereka mulai berjalan menuju UKS diselingi candaan. Atlan menutupi seragam Atha yang basah dengan hoodie hitamnya.
Ada satu orang yang menatap kedekatan keduanya. Bukan sorot mata cemburu. Dia sedang berpikir, bagaimana bisa membiarkan Atha dirisak sedangkan dia hanya menonton? Kenapa dia tidak bisa berbuat baik pada Atha? Agra mengusap wajahnya pelan. Merasa bersalah, tetapi terlalu gengsi meminta maaf.
***