Getting Obvious

1687 Kata
"Rendah hati boleh, rendah diri jangan. Karena kalo kita rendah hati, mungkin kita bakal disanjung. Kalo rendah diri, yang ada kita bakal lebih direndahin lagi." ~Garis Lintang Atlanta~ *** Atha menggendong tas, memilin talinya. Dia menatap Kay dan berkata, "Kay, gue pulang sama Atlan, ya?"  "Mau jalan dulu ya?" tanya Kay. Gadis itu hanya mengangguk agar cepat. Kay belum tahu soal kejadian di kantin tadi. "Good luck, deh!" "Duluan ya! Ntar kalo udah pulang gue ke kamar lo," ucap Atha yang dihadiahi jempol oleh Kay. Atha langsung berjalan ke arah parkiran, menemui Atlan yang sudah menunggunya. Dia tidak tahu, beberapa minggu lagi, dia tidak akan bisa pergi bersama Atlan dengan mudah. "Udah siap?" tanya Atlan. Atha mengangguk. "Nih pake helmnya." Atlan menyerahkan helm merah yang langsung dipakai oleh Atha. Atlan menaiki Kawasaki hijaunya. Atha yang sedikit kesulitan refleks memegang bahu Atlan. "Let's go! Kita jalan-jalan hari ini!" pekik Atlan cukup keras. Alhasil, mereka jadi sorotan siswa siswi Permata---lagi. Atha hanya terkekeh melihat sikap Atlan. Andai saja, Agra seperti ini .... *** "Lo mau beli yang mana?" tanya Atlan pada Atha yang malah sibuk memakan waffle. Atha menghentikan aktivitasnya. "Ini beneran? Gue enggak mau, ah," tolak Atha. "Enggak bisa, lo udah setuju tadi." Kepala Atha menggeleng tegas. "Enggak mau, Lan. Nanti pada ngira gue yang minta ponselke lo. Dari dulu selalu gitu, 'kan, yang lemah selalu salah." Atlan tertegun. Atha sedang curhat? Dia ingin bertanya seperti itu, tetapi dirasa kurang sopan. Dia justru senang, Atha mau terbuka dengannya, meskipun mungkin Atha tidak sadar saat mengatakan hal itu. "Jangan minder, enggak semua yang ada di diri lo itu ada di diri mereka. Kadang mereka cuma bisa ngehina tanpa ngaca." "Gue bukannya minder. Ya, dikit. Gue cuma sadar diri. Apa yang harus disirikin dari gue? Cantik? Putih? Tinggi? Body goals? Kaya? Famous? Gaul? Aduh, bisa dibilang bahkan gue kebalikan dari semuanya," jawab Atha apa adanya. Senyum Atlan terulas. Dia mengatakan, "Tha, rendah hati boleh, rendah diri jangan. Karena kalo kita rendah hati, mungkin kita bakal disanjung. Kalo rendah diri, yang ada kita bakal lebih direndahin lagi." Atha termangu. Ucapan Atlan ada benarnya. Selama ini dia selalu rendah diri karena merasa tidak percaya diri. Orang-orang di SMA Permata terlalu high class untuknya. Sering Atha berpikir untuk pindah ke SMA negeri saja, tetapi dia bingung bagaimana mengatakannya pada sang ibu. "Udah jangan bengong, mau yang mana?" tanya Atlan. "Terserah." Lalu setelah Atlan membeli ponsel untuk Atha, mereka tidak langsung pulang. Mereka mampir ke kedai mi. Kedai Mi Setan namanya. Sejak masuk ke kedai mi—yang terkenal dengan mi super pedas—Atha lebih banyak diam. "Tha, kenapa? Enggak suka, ya? Apa mau makan di tempat lain aja?" tanya Atlan. Atha menggeleng keras. Atlan sudah sangat sangat berbaik hati dengan memberikannya ponsel baru, masa dia tidak bisa memenuhi satu keinginan Atlan? "Lo suka pedes, 'kan?" tanya Atlan. Atha mengangguk lagi, kali ini agak ragu, tetapi dia tidak ingin mengecewakan Atlan. Pesanan mereka datang. Sebenarnya Atlan yang memesan, karena Atlan yakin, orang seperti Atha pasti suka makanan pedas. Atlan segera memakan dengan lahap mi yang berada di mangkuk warna merah itu. Atha hanya memandang minya. Pelan, dia mulai memakan mi itu. Baru satu suapan, bibir Atha sudah seperti memakai lipstick berwarna merah menyala. Atlan yang melihat Atha kepanasan, megap-megap, dan mengelap keringat di dahinya seketika tahu---apalagi saat Atlan melihat bibir Atha yang saat ini memerah---Atha tidak suka pedas. Kenapa gadis itu sampai berbohong padanya? Mengapa tidak bilang bahwa dia tidak suka pedas? "Lo enggak suka pedes? Gue udah bilang tadi, kalo enggak suka ngomomng, bandel, sih." Atlan tertawa menikmati pemandangan Atha yang sedang mengipasi bibirnya. "Huaaaah! Ghue kira engghak sephedes inhi (Gue kira nggak sepedes ini)," ucap Atha tidak jelas. "Nih minum punya gue." Atlan menyodorkan es tehnya saat Atha ingin minum, tetapi miliknya sudah habis. Tanpa pikir panjang, Atha segera meminum es teh milik Atlan. Baru setelah minuman milik Atlan itu habis, Atha melotot. "Ini minuman punya lo! Lo modus, ya?" pekik Atha sambil menutup mulutnya. Atlan mengedikkan bahunya acuh. "Mau modus gimana coba? Gue aja enggak ada untungnya sama sekali. Yang ada gue rugi enggak minum tuh es teh." Iya juga, tetapi Atha sudah telanjur menuduh, jadi dia lanjutkan saja. Tanggung. "Tetep aja, lo bisa pesenin lagi, gue juga bakal bayar sendiri kok." "Udah, udah. Gue mau makan dulu, abis itu kita cari tempat makan lain." "Kenapa cari tempat makan lagi?" Bola mata Atlan merotasi. "Lo belum makan. Sini, mi lo gue aja yang abisin, sayang nanti." "Apanya yang sayang?" "Gue ke lo," ucap Atlan. Entah Atha terlalu polos atau b**o, wajahnya memanas. "Bercanda. Mi itu maksudnya." Sontak Atha mendengus. Fix, dia b**o. Atlan tertawa. "Mau banget gue sayang, ya? Ntar dong, jangan terlalu ngegas, takut blong remnya. Santai aja, nikmatin aja masa-masa pedekate kita." Atha melengos. "Dih, apa banget." "Kok Atha jahat sama Atlan?" suara Atlan dibuat-buat. Atha pikir cocok sekali Atlan datang ke Kedai Mi Setan ini, karena kelakuan Atlan saja seperti setan! *** Atlan benar-benar mengajak Atha mampir lagi ke sebuah warung lesehan di pinggir jalan. Kata Atlan, jika malam-malam makan di sana, itu akan menambah kenikmatan makanan. Entah ajaib atau memang fakta, itu benar. Atha menikmati ayam bakarnya dengan lahap. Bahkan Atlan yang sudah memakan dua porsi mi setan pun ikut memesan ayam bakar. Atha yang membayangkan hal itu saja sudah ingin muntah, tetapi Atlan justru masih bisa nyengir kuda. Setelah sudah selesai, Atlan mengantarkan Atha pulang. Tidak sampai rumah karena Atha meminta diturunkan di depan gang dengan alasan masih ada urusan. Namun, Atha tetap mengucapkan terima kasih. Atas ponsel baru dan traktirannya. Atlan mengangguk saja, lalu pergi. Bukannya Atha malu akan rumahnya, tetapi ini permintaan Agra. Ah Agra ... apakah dia melihat kejadian Atha di-bully tadi? Kenapa dia tetap diam? Sebegitu bencinyakah dia pada Atha? Hanya karena hal sesepele itu? Atha bahkan tak habis pikir bagaimana Agra bisa berbuat sedemikian rupa. *** "ATHA!" panggil Kay. Sorot matanya marah. Mungkin dia sudah tahu. Atha terdiam di posisi duduknya. Menunggu Kay datang sendiri ke arahnya. "KENAPA LO NGGAK CERITA?!" "Karena gue tau, reaksi lo bakal kayak gini," ucap Atha tenang. Dia sudah biasa menghadapi sikap meledak-ledak ala Kay. Seperti disihir, Kay diam dan mulai duduk berhadapan dengan Atha setelah menutup pintu kamar Atha. "Tell me." "Sure." Atha menghela napas. "Sebelumnya, gue mau tanya, lo tau kejadian ini dari siapa?" "Agra." Atha terdiam. Kali ini benar-benar mematung. Agra? Berarti benar, Agra ada di sana, tetapi kenapa tidak berbuat apa pun untuk menolong Atha? Apa pula maksud Agra menceritakan hal ini pada Kay? Kay mengulas senyum tipis. Dia mengusap lengan Atha. "Gue tau gimana lo sama Agra. Gue turut sedih, Tha. Akan tetapi, mungkin Agra orangnya emang kayak gitu, susah maafin orang, atau tepatnya gengsi memaafkan? Ya walaupun gue tau lo enggak salah di sini." Atha tersenyum. "Udah, enggak papa." "Jadi, gimana ceritanya? Gara-gara Atlan, ya?" tanya Kay. Atha mengangkat bahunya. "Nggak tau pasti sih, tapi kemungkinan besar iya. Emang kenapa lagi? Selama ini gue nggak bikin ulah 'kan, di sekolah? Baru kali ini deh kayaknya, itu pun murni bukan kesalahan gue, kan?" Kay angguk-angguk. Andai saja ia ada di sana, dia pasti sudah mencakar wajah Lolita. Memang, Kay dan Lolita sudah lama tidak akur. Ah, tepatnya tidak pernah akur. Mereka bertengkar karena posisi Lolita sebagai ketua eskul modelling tergeser karena Kay. Sejak kelas sepuluh sampai sekarang, Kay yang menjabat sebegai ketua sedangkan Lolita adalah anggota yang sebentar lagi akan dilarang mengikuti kontes karena sudah kelas dua belas. "Kenapa enggak dilawan aja, sih? Sebel gue liat Lolita sok berkuasa," cibir Kay. "Kalo gue ngelawan, gue enggak ada bedanya dong sama dia?"  Kay mendengus. Selalu saja itu alasannya. "Tha, lo nggak bakal selamanya kayak gini, 'kan? Lo juga punya hak yang sama kayak Lolita. Dia cuma menang tua setahun." "Udahlah Kay, udah kejadian ini. Enggak usah emosi lagi, ah, jelek nanti." Tentu saja Atha bohong. Mau diapakan juga, wajah Kay tetap cantik. Berbeda dengannya yang sama sekali tidak ada yang menarik. "Eh, Tha, gue mau move on ajalah dari Cakra." Kay memulai sesi curhatnya. Selalu. Setelah menginterogasi Atha, pasti akan berakhir dengan Kay yang curhat tentang kisah cintanya. Padahal, ceritanya hanya itu-itu saja. Namun, Atha tetap mendengarkannya, Kay sahabatnya. "Yakin mau move on? Kalo ketemu aja masih suka senyum enggak jelas gitu," cibir Atha. Kay menggoyang-goyangkan lengan Atha. "Ish, serius, bantuin dong!" "Daripada move on dengan cara gitu, mending cari gebetan baru, deh." Atha mengusul. "Siapa dong? Enggak ada yang lebih ganteng dari Cakra. Kalo ada juga itu Atlan sama Agra. Ada banyak, sih, tapi kakak kelas, enggak mau." Kay merengut. Hm, walaupun banyak siswa Permata yang berwajah tampan, tetap saja menurut kebanyakan siswi yang tertampan adalah Atlan, Agra, dan Cakra, 'menurut mereka'. Agra? Iya Agra. Kenapa Agra tertampan sedangkan Atha tidak termasuk kategori tercantik? Pertama mungkin, style Atha sangat biasa. Kedua, Atha tidak suka berdandan. Ketiga, Atha tidak suka memakai pakaian minim---yang selalu dipakai Lolita dan teman-temannya. Kalau Agra? Style-nya keren. Dia sangat memperhatikan penampilannya meskipun dia laki-laki. Memakai pakaian apa pun, dia tetap tampan. Pokoknya, jika Atha yang superbiasa disandingkan dengan Agra yang superkece, ibarat hitam dan putih. Begitu kontras. "Cowok ganteng di dunia enggak cuma Cakra, Atlan, sama Agra kali, Kay." Wajah Kay dibuat sedih. "Ih, tapi, 'kan ...." Atha yang gemas segera mencubit pipi Kay. "Ya udah sana pilih. Mau sama Cakra, Atlan, apa Agra? Tiga-tiganya mau kok sama model cantik kayak lo. Siapa, sih, yang mau nolak pesonanya Kaylie Ivannova Fecia?" ungkap Atha jujur. Banyak yang mengantre jadi pacar Kay. Namun, Kay masih stuck di satu titik. Terjebak nostalgia dengan Cakra, yang kata Raisa adalah mantan terindah. "Auah, curhat sama lo lama-lama ngeselin ya!" Kay mendengus. Atha terkekeh. "Udah jangan galau. Ikutin aja apa kata hati lo. Kalo lo enggak mau ngelupain Cakra, ya, jangan dipaksa. Kalo masih sayang, buat apa gengsi? Kalo masih cinta, kenapa cari yang lain?" "Ah, bingung gue! Gue ke kamar dulu ya, Cakra janji video call jam sembilan," ujar Kay sambil keluar dari kamar Atha. Atha geleng-geleng. "Dasar mantan rasa pacar!" "Ehm." Atha yang sedang mengamati ponsel barunya terlonjak saat sebuah dehaman terdengar. Dari laki-laki. Agra. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN