Clea Pergi

1155 Kata
Argya sangat marah kepada lelaki yang hampir membuat dirinya kehilangan anaknya yang ada di kandungan Clea. Namun, Argya tidak bisa melakukan apapun terhadap lelaki itu karena dia tahu identitasnya tidak main-main. Apabila Argya ingin membalasnya, dia harus sukses terlebih dahulu. Saat ini Argya tengah melamun di atas tumpukan batu bata. Lelaki itu memikirkan tingkatannya yang tak sebanding dengan Clea maupun lelaki yang menyakiti anaknya. Dia hanya seorang mahasiswa yang belum lulus, bahkan tergolong mahasiswa abadi. Pekerjaannya serabutan dan menjadi bartender, sedangkan Clea memiliki pekerjaan yang menjanjikan. Kedua orang tua Argya sebenarnya adalah keluarga yang berkecukupan, tetapi karena Argya yang terlalu terlena dengan kemewahan orang tuanya sehingga membuat masa studinya menjadi sangat terlambat. Sampai akhirnya tepat di semester 8, orang tua Argya mencabut semua kartu kredit yang diberikannya kepada Argya. Mereka ingin Argya mencari sendiri biaya untuk kelanjutan kuliahnya. Hal tersebut dilakukan kedua orang tuanya untuk melatih Argya yang manja menjadi seorang yang mandiri. Karena mereka tidak akan selalu membantu Argya dalam hal finansial, ada waktunya ajal menjemput mereka. Pada saat itu tiba, kedua orang tua Argya tidak ingin anaknya kebingungan untuk bertahan hidup. Walau mengandalkan warisan kedua orang tuanya, jika Argya masih bersikap manja maka uang warisan itu akan digunakan macam-macam. “Woi ayo kerja. Ngelamun mulu, udah diteriakin mendor tuh,” tiba-tiba seseorang membuyarkan lamunan Argya. Jika seandainya Argya masih bisa menggunakan uang kedua orang tuanya, mungkin kini dia bisa langsung menikahi Clea. Namun, kedua orang tuanya sudah tidak mau tahu tentang kehidupan Argya, meskipun ibu Argya sesekali mencuri waktu untuk mengetahui keadaan Argya. Yang terpenting saat ini, Argya harus berusaha lebih keras lagi agar bisa mengumpulkan uang untuk menikahi Clea. Lelaki itu ingin mengenalkan Clea ke kedua orang tuanya ketika dia sudah siap untuk menikahi wanita itu. Sementara itu di tempat lain, tepatnya di apartemen Clea. Wanita itu nampak memasukan baju-bajunya ke dalam koper. Barang-barang pribadi lainnya dia bungkus menggunakan kardus yang sudah tersusun rapi di samping pintu apartemen agar agen pindahan dapat mengambilnya dengan mudah. “Maaf Argya,” gumam Clea ketika tanpa sadar teringat akan lelaki yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya. Wanita itu seolah tidak ingin jauh darinya, tetapi dia juga tidak ingin Argya bertanggungjawab atas apa yang bukan kesalahannya. “Sabar yah nak, bunda pasti akan menemukan ayahmu yang sebenarnya.” Bisik Clea sambil mengelus perutnya yang belum terlalu membesar. Ketika Clea selesai membereskan baju-bajunya, dia mendengar suara bel pintu apartemennya tanda agen pindahan sudah siap membantunya pindahan. Wanita itu langsung keluar apartemen dan membiarkan agen pindahan mulai bekerja. *** Hari demi hari berlalu dengan cepat. Argya yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya tidak sempat mengerjakan skripsinya, tetapi sebisa mungkin Argya mengerjakannya sedikit demi sedikit lama-lama seminggu sudah baru selesai dia revisi. Saat ini Argya tengah berjalan dengan bersemangat menuju ruang jurusan. Dia tidak sabar bertemu dengan dosen cantiknya yang seminggu ini tidak ditemuinya. Bahkan Argya tidak mendapatkan pesan apapun dari Clea yang biasanya menanyakan kabarnya. Dengan bersenandung kecil, Argya membuka pintu jurusan pelan. Kepalanya mengintip ke arah dalam ruang jurusan, tetapi karena di dalam ruangan berisi kubikel-kubikel sehingga membuat Argya tidak bisa melihat dengan jelas keberadaan Clea. Akhirnya Argya memasuki ruang jurusan itu dan langsung menuju kubikel Clea. Ketika pria itu sudah sampai di meja kerja Clea, dia melihat meja itu telah bersih bahkan papan nama kecil–berisi nama lengkap Clea dan gelarnya–tidak ada. Argya merasa aneh dengan keadaan meja kerja Clea yang bersih dari berkas-berkas maupun hal pribadi lainnya. Kebetulan saat itu ruang jurusan sedang sepi, tidak ada dosen yang berada disana karena sekarang sudah memasuki jam perkuliahan. Akhirnya Argya memutuskan untuk bertanya kepada kepala prodi tentang keberadaan Clea. Keberadaan kepala prodi berbeda dengan dosen lainnya, dia memiliki ruang sendiri yang ada di samping ruang jurusan. Argya mengetuk pintu untuk mengetahui keberadaan orang yang dicarinya. Setelah mendengar suara yang mempersilakannya masuk, Argya langsung masuk dan menyapa sopan kepada kepala prodi. “Ada apa?” tanya kepala prodi sambil melirik Argya dari kacamata bacanya. “Sebelumnya saya Argya. Saya mohon maaf jika mengganggu waktu bapak. Ada yang ingin saya tanyakan kepada bapak,” Argya berusaha berbicara sesopan mungkin kepada kepala prodi itu. “Tanya apa? Duduk dulu Argya,” kepala prodi menyuruh Argya untuk duduk di kursi depan mejanya dan Argya langsung mendudukkan tubuhnya di sana. “Saya ingin menanyakan perihal bu Clea pak. Bu Clea adalah dosen penguji saya, namun saat saya ke meja beliau, saya tidak mendapatinya pak. Kira-kira bu Clea kemana yah pak?” tanya Argya dengan lancar. Sebenarnya bisa saja Clea pergi mengajar, tetapi melihat kekosongan di meja kerjanya tidak wajar, membuat Argya harus mencari tahu sendiri. Terlihat kepala prodi itu menghembuskan napas lelah, lalu memandang lurus ke arah Argya, “kamu belum tahu? Bu Clea sudah mengundurkan diri sejak seminggu yang lalu. Katanya ingin melanjutkan pendidikan S3nya,” jelas kepala prodi itu kepada Argya. Seketika dunia Argya seolah runtuh begitu saja. Selama ini lelaki itu sudah berusaha sekuat tenaga memenuhi modal untuk menikahi Clea, tetapi wanita itu malah meninggalkannya. Lalu bagaimana Argya bisa melanjutkan hidupnya lagi? Jika tujuan hidupnya sudah pergi meninggalkannya. Pantas saja tidak ada pesan apapun dari Clea, ternyata wanita itu berniat meninggalkannya. “La-lalu persetujuan skripsi saya bagaimana pak?” Argya bertanya sambil menitikan air mata. Dia menangis bukan karena skripsinya, tetapi karena mengetahui Clea sudah meninggalkannya. “Sudah-sudah jangan menangis begitu. Bu Clea sudah berpesan menyerahkan semuanya ke dosen penguji pertama. Jadi kamu tidak perlu khawatir tidak lulus. Udah-udah, cup cup cup,” kepala prodi terlihat kelimpungan menghadapi Argya yang tiba-tiba menangis. Karena ini pertama kalinya bagi kepala prodi melihat laki-laki menangis, biasanya perempuan yang curhat masalah dosennya tak kunjung acc. Sakit hati di dalam hati Argya sangat menyakitinya. Argya yang selalu dimanja, harus menghadapi kejamnya dunia. Dimulai dari dirinya diusir dari rumah untuk mencari penghasilan sendiri di luar, lalu ketiban masalah Clea hamil dan dia harus mencari uang untuk menikahinya. Cobaan seperti ini terlalu berat bagi Argya yang hanya tau cara bersenang-senang. Maka dari itu saat Argya bertemu dengan Clea, dia merasa wanita itu menarik. Ketika semua wanita di bar berebutan untuk dilayaninya, Clea malah duduk dengan santai tanpa meliriknya sama sekali. Malah sebaliknya, Argya yang terpesona dengan kecantikan Clea dan lekuk tubuhnya yang seksi. Kini ketertarikan yang tidak terpikirkan Argya akan menjadi cinta, malah menyakitinya sedalam ini. Lalu bagaimana Argya dapat bertemu dengan Clea? Sedangkan nomornya ternyata sudah tidak aktif lagi dan apartemen yang ditinggali Clea telah kosong. Setelah Argya puas menangis di ruang kepala prodi, laki-laki itu langsung menuju apartemen Clea. Dia masih berharap bahwa wanita itu masih di sana, tetapi yang didapatinya hanya seorang ibu-ibu yang ditugaskan membersihkan apartemen Clea. Ketika Argya bertanya mengenai pemilik apartemen Clea, ibu itu menjawab bahwa apartemen itu sudah dijual. Dengan cepat Argya menuju ke tempat agen penjual apartemen yang disewa Clea untuk menjualkan apartemennya. Argya ingin membeli apartemen Clea dengan uang tabungan yang seharusnya digunakannya untuk menikahi Clea. Argya benar-benar sudah putus asa, setidaknya dengan memiliki apartemen Clea, dia bisa mengenang hari-harinya yang sudah ia lewati bersama Clea.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN