PART. 16
Sebenarnya yang membuat Tari kesal pada Raka itu bukan hanya jawabannya, tapi wajahnya yang tanpa ekspresi dan gayanya yang santai itu yang membuat Tari kesal luar biasa.
Raka menjawab semua pertanyaan seperti saat dia sedang tawar menawar harga di pasar saja.
"Kita makan siang dulu, setelah itu baru pulang ya"
Raka membuka rantang makan mereka yang tadi sempat ingin dibuka warik.
"Kok kita pulang cepat?" Tari menerima rantang berisi nasi dari tangan Raka.
"Aku ingin memperbaiki ranjang yang rusak, eeh cuci tanganmu dulu di ember itu Tari"
"Iya, ranjangnya ganti yang baru saja Aa"
"Jangan! Itu ranjang warisan nenekku Tari"
"Nanti kalau kita begituan lagi, terus patah lagi bagaimana?"
"Begituan lagi?"
"Bercinta?"
"Ber-cin-ta? Kitakan belum saling cinta"
"Hhhh...main kuda-kudaan"
"Itu lebih aneh lagi!"
"Ya ampun, ibadah suami istri di atas ranjang!" Seru Tari kesal.
"Iya aku tahu"
"Tahu kok tanya terus sih"
"Hemmm...kalau begituan, bercinta, main kuda-kudaan, atau ibadah suami istri kan bisa di atas kasur saja, tidak usah di atas ranjang"
"Enak di atas ranjang Aa"
"Aku trauma di atas ranjang Tari"
"Hahahaha...takut ranjangnya ambruk lagi ya A, habisnya goyangan ngebor Inul saja kalah dapat goyangan tornado Aa"
"Tari, jangan bicara seperti itu, apa lagi di depan orang lain" sergah Raka.
"Iya, maaf" sahut Tari.
Mereka diam, asik dengan suapan mereka masing-masing.
Makanan di rantang sudah mereka habiskan.
Saat semilir angin menerpa wajahnya, Tari memejamkan matanya.
"Kenapa?"
"Semilir angin seperti ini tidak akan aku temukan di Jakarta Aa"
"Kamu tidak merindukan hiruk pikuk kota Jakarta Tari?"
Tari terdiam sesaat, rindu itu memang ada di dalam benaknya. Tapi ia sudah membulatkan tekadnya untuk hidup di dunia barunya yang sangat sederhana.
"Kenapa Aa memilih tetap bertahan di kampung ini?" Tari balik bertanya.
"Aku pernah mencoba untuk meninggalkan semua ini, secara materi aku memang berhasil, tapi aku merasa ada kekosongan di dalam jiwaku, ada sesuatu yang terasa hilang di dalam hidupku, aku rindu bau lumpur, rindu cangkulku, rindu semilir angin" Raka menatap bola mata Tari.
"Karena itulah aku ragu kamu akan mampu bertahan di sini Tari, ini bukan duniamu, seperti Jakarta yang juga bukan duniaku, kita pasti akan merindukan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari hidup kita, tidak mudah membangun hidup baru di tempat yang sangat jauh berbeda" pandangan Raka jauh ke depan, ke bentangan sawah yang berbatas dengan perumahan.
"Aa pernah tinggal di Jakarta?"
"Setelah ibuku menikah, Ayah tiriku memboyong kami ke sana, tapi aku memilih tetap di sini untuk menemani nenekku sampai beliau tutup usia. Setelah nenek pergi dan kuliahku selesai, aku menyusul orang tuaku ke Jakarta, tempat ini aku serahkan pada Bapaknya Halimah untuk menggarap dan menjaganya" Raka menarik napas sejenak.
"Lalu?"
"Tiga tahun aku di Jakarta, bekerja di perusahaan tambang milik Ayahku, aku punya segalanya di sana, tapi jiwaku terasa hampa, sampai akhirnya aku merasa rinduku pada tempat ini tidak tertahankan lagi, dan rindu itu mengalahkan segalanya, aku pulang tanpa membawa kemewahan yang aku miliki di sana, aku mulai semuanya dari awal lagi"
Raka kembali berhenti sesaat.
"Bahagia bukan tentang apa yang kita miliki, tapi tentang apa yang kita rasakan, banyak orang menganggap aku bodoh, meninggalkan indahnya Jakarta beserta kemewahan yang aku punya di sana, tapi bagiku semilir angin dan suasana pedesaan seperti ini lebih mewah dari apa yang ada di Jakarta. Kemewahan yang mendatangkan ketenangan jiwa"
Tari diam seribu bahasa mendengarkan apa yang dituturkan Raka.
"Tari!"
"Hmmm"
"Kamu masih merasa yakin bisa bertahan di sini?"
Tari menganggukan kepala, matanya berkaca-kaca.
"Sangat yakin!"
"Tapi aku takut nanti kamu akan seperti aku"
"Aa tidak betah di Jakarta, karena itu bukan dunia Aa"
"Tempat ini juga bukan duniamu Tari"
"Tapi kita berbeda Aa"
"Berbeda apanya?"
"Aa tidak memiliki sesuatu yang bisa menjadi alasan kuat Aa untuk bertahan di Jakarta"
"Apa kamu punya alasan untuk tetap bertahan di sini Tari?"
"Ya"
"Apa?"
"Pernikahan kita"
Jawaban Tari membuat Raka menatap Tari langsung di bola matanya.
"Itu alasan paling kuat saat ini Aa"
Tiba-tiba Halimah lewat di depan pondok mereka.
"Permisi kak Raka, Kak Tari, saya pulang duluan"
"Sudah selesai Bapakmu makan siangnya Halimah?" Tanya Raka.
"Iya, sudah kak Raka, mari saya pulang duluan, assalamuallaikum"
"Walaikumsalam" sahut Raka dan Tari bersamaan.
Setelah Halimah berlalu.
"Ehemmm jujur ya A, aku ragu akan alasan Aa yang sebenarnya untuk kembali ke kampung ini"
"Maksudmu?"
"Aku rasa alasannya bukan karena rindu cangkul, bau lumpur ataupun rindu semilir angin"
"Eeh"
"Aa itu pasti rindu sama Halimah, Jannah, Eli, dan banyak lagi yang lainnya"
Raka tersenyum.
"Kenapa senyum? Dugaanku benar ya"
"Tidak, cuma ingat lagunya Pak Haji Roma Irama"
"Iiih lagu apa? Apa hubungannya?"
"Ada Jawa, Sunda, Batak, dan banyak lagi yang lainnya" Raka bersenandung pelan, tawa Tari pecah seketika.
Raut wajah Raka yang tetap datar saat ia bersenandung menambah nyaring tawa Tari.
"Aa wajahnya bisa tidak lebih ekspresif sedikit"
"Ekspresif, wajahku memang sudah begini cetakannya Tari"
"Hhhh..kalau bicara sama Aa itu, aku tidak bisa menangkap apapun dari wajah Aa, apa Aa lagi kesal, lagi bahagia, lagi sedih, itu tidak terbaca sama sekali"
"Baguskan, jadi kalau aku bohong tidak ketahuan"
"Apa? Mau bohong apa? Jawab!" Tari melotot gusar.
"Aku bilangkan kalau, berarti belum"
"Kalau belum berarti akan"
"Iya juga ya" Raka menggaruk kepalanya.
"Aa ini lemot, oon, apa cuma mau bikin aku kesal sih?"
"Tidak boleh ngatain suami Tari"
"Ya habisnya aku tidak bisa membedakan yang mana ucapan Aa yang sungguhan atau yang cuma mau menggodaku"
"Aku menggodamu? Sepertinya kamu yang terus mebggodaku, sampai lepas baju di depanku"
"Bukan menggoda itu!" Tari memukul lengan Raka gemas.
"Menggoda yang bagaimana maksudmu?"
"Maksudku menggoda yang...yang..."
"Yang apa?"
"Errrr..."
"Jangan marah Tari, harusnya aku yang marah karena kamu terus menggodaku, untung imanku kuat"
"Iiih masa sama istri sendiri perlu iman kuat sih"
"Ya harus, kalau imanku tidak kuat, kita bisa-bisa cari semak dipinggir jalan gara-gara kamu menggodaku di atas motor"
"Cari semak? Apa maksud Aa?"
"Nah belum juga beberapa menit ngatain aku oon, lemot, sekarang kamukan yang lemot"
"Iiih...aku tidak lemot tahu!"
"Iya..iya sudah, sekarang kita pulang ya, sebentar lagi waktunya dzuhur"
"Jawab dulu yang semak tadi"
"Nanti ya"
"Iih Aa"
Wajah Tari jadi cemberut karena masih penasaran dengan cari semak yang dimaksudkan Raka.
Tiba di depan rumah mereka, Tari dan Raka melihat seorang pria tengah duduk di teras rumah.
Tari benar-benar terkejut saat mengenali pria itu sebagai Guntur.
'Apa yang akan dikatakan Mas Guntur melihat aku berpakaian seperti ini, apa yang akan dikatakannya setelah tahu kehidupan baruku yang seperti ini?' Batin Tari.
***BERSAMBUNG***