PART. 15

1172 Kata
MF PART. 15 Tari mondar mandir di dapur. Ingin duduk takut nempel di kursi. Terpaksa ia berdiri, dan berjalan mondar mandir saja sambil menunggu Raka pulang dari musholla. Saat pintu depan terdengar di buka. "Assalamuallaikum." "Walaikumsalam, lama banget sih, mana?" "Ini." Raka menyerahkan plastik hitam di tangannya. "Beli di mana?" "Di warung Bu RT." "Bu RT ibunya Eli?" "Iya." "Pasti ngobrolkan sama Eli!" Tuding Tari galak. "Iya," Raka menganggukan kepalanya. "Pantesan lama!? Ngobrolin apa?" "Pembalut." "Pembalut? Apa maksudnya?" "Aku bilang mau beli pembalut untuk kamu, terus Eli tanya yang pakai sayap apa tidak, karena aku tidak tahu yang mana yang kamu mau, jadi aku beli dua-duanya. Terus aku tanya berapa harganya, kata Eli dua bungkus tujuh ribu, aku bayar terus aku pergi, di jalan mampir sebentar beli nasi kuning buat sarapan makanya lama Tari," sahut Raka panjang lebar. "Aku kira ngobrolin apaan." "Kamu mandi dulu, baru kita sarapan, sementara kamu mandi aku mau masak ikan untuk bekalku ke sawah, juga untuk kamu makan siang nanti" "Aku mau ikut ke sawah!" "Jangan!" "Kenapa?" "Di sawah panas Tari, nanti kulitmu hitam." "Biarin!" "Jauh Tari, nanti kamu sakit" "Biarin!" "Ya terserah kamu saja, sekarang kamu mandi dulu." Tari masuk ke dalam kamar mandi, sementara Raka mengeluarkan dua ekor ikan peda dari dalam kulkas. Baru saja Raka memasukan ikan ke dalam penggorengan, dan memasukan kacang panjang, dan terong kecil ke dalam kukusan, ketika terdengar Tari memanggilnya. "Ada apa Tari?" "Aku lupa bawa handuk sama baju ganti, tolong ambilkan di kamarku ya Aa." "Ya." Raka membuka lemari pakaian Tari, lalu mengambil satu stel baby doll, dan satu set underwear, plus handuk dari dalam lemari Tari. Saat mereka sarapan. "Kamu yakin ingin ikut ke sawah Tari?" "Heum" "ya sudah, makanan untuk makan siangmu kita bawa ke sawah juga kalau begitu." Raka ke luar dari dalam kamar, sudah memakai pakaian untuk ke sawah. Kaos lengan panjang, dan celana kain tujuh perlapan warna hitam. Di tangannya ada pakaian. "Kamu pakai ini ya, ini pakaian adikku kalau dia ikut ke sawah." Raka menyerahkan pakaian itu kepada Tari. Tari masuk ke kamarnya, dan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang diserahkan Raka tadi. Celana panjang kain warna hitam, kaos oblong lengan panjang warna hitam juga, hem lengan panjang kotak-kotak warna hitam biru, hijab dari bahan kaos warna biru, dan sarung tangan. Tari ke luar dari kamarnya. Raka tersenyum melihatnya. Ada mangkok kecil di tangan Raka. "Itu apa?" "Pupur dingin." "Apa?" "Ini biar wajahmu tidak gosong, dan tetap terasa dingin meskipun di bawah terik matahari, tutup matamu, biar aku oleskan ke wajahmu." Tari menurut saja apa yang diperintahkan Raka. "Bau melati sama pandan wangi." "Memang diberi bunga melati, dan pandan sebagai pewangi alami." "Ini dibikin dari apa sih Aa?" "Aduh, aku juga tidak tahu." Sebenarnya Tari merasa tidak nyaman dengan apa yang dikenakannya, tapi karena tekadnya sudah bulat untuk menerima dunia barunya, rasa tidak nyaman itu berusaha ia abaikan saja. Raka mengambil topi dari anyaman Purun dan memasangkan topi itu di kepala Tari. "Sekarang benar-benar sudah seperti istri petani." Raka tersenyum menatap wajah Tari. Tari membalas senyuman Raka. Ada rasa sejuk yang mengaliri hatinya melihat senyum Raka yang begitu manisnya. "Aku senang, akhirnya gunung es di depanku ini mencair juga," ucap Tari bercanda. "Ehmm bagaimana tidak mencair, kalau apinya sepanas matahari di tengah hari." "Hihihi ... Aa ini ternyata aslinya tidak sedingin, dan secuek yang aku kira." "Sebaiknya kita pergi sekarang." Raka memotong pembicaraan mereka. -- Tari harus berjuang mengalahkan rasa jijiknya terhadap lumpur, untuk bisa sampai di pondok yang ada di sawah Raka. Setelah tiba di sana, semilir angin yang menyejukkan terasa menghapus rasa lelahnya. "Aku jadi mengantuk Aa." "Kamu bisa tiduran sementara aku bekerja." Raka menggelar tikar yang tergulung di pojok pondok ke atas lantai pondok, yang hanya berdinding setengahnya saja. Bahkan bagian depannya tanpa dinding hanya dipagari potongan batang bambu. "Cuci kakimu dulu, ada air diember kecil itu, setelah itu istirahatlah, aku mau menemui pekerjaku dulu." "Pekerja Aa?" "Iya, mereka yang membantu aku menggarap sawah ini." "Oooh jadi Aa punya pekerja?" "Mana sanggup aku menggarap sawah seluas ini sendirian Tari." "Di sana kok banyak perumahan ya Aa." "Iya, dulunya itu adalah lahan persawahan juga, tapi sekarang sudah dijual ke pengembang perumahan." "Apa nanti sawah Aa akan dikelilingi perumahan seluruhnya?" "Mungkin saja, yang masih bertahan bertani di sini hanya tinggal segelintir orang saja Tari, yang lainnya sudah menjual sawah mereka ke pada pengembang perumahan." "Kenapa Aa tetap bertahan?" "Sawah ini warisan kakek, dan nenekku, akan aku pertahankan sampai titik darah penghabisan," suara Raka terdengar sedikit emosional, tatapannya dilayangkan jauh ke depan. Terdengar Raka menarik napas berat. "Aku kerja dulu ya, kamu istirahat saja." "Iya Aa." Tari menganggukan kepalanya. Semilir angin di persawahan yang tengah berbuah membuat mata Tari mengantuk. Ia membaringkan tubuhnya di atas tikar yang tadi digelar Raka. Matanya terpejam, ia tertidur, dan terbangun saat mendengar suara rantang makan mereka yang dari bahan stainles terdengar jatuh. Mata Tari terbuka lebar, tubuhnya gemetar. Teriakan nyaringnya terdengar membahana. Raka, dan para pekerja langsung mendekati lampau kecil tempat Tari berada. Tari menangis ketakutan sambil memeluk Raka. "Ada apa?" Tanya Raka cemas. "Ada monyeeett!" seru Tari dengan tubuh gemetar. Semua orang tertawa mendengar jawaban Tari. "Saya kira ada apa, ternyata cuma monyet," kata salah satu pekerja Raka. Merekapun membubarkan diri dan kembali kepada pekerjaan mereka. "Duduklah," Raka membimbing Tari untuk duduk. "Tadi ada monyet." "Iya aku tahu, monyet itu sudah tergusur dari tempat di mana seharusnya berada, karena hutan sudah berubah jadi perumahan, mereka kesulitan mencari makan, jadi sering berkeliaran di persawahan ini, bahkan sampai ke perkampungan" "Aku jangan ditinggal lagi," rengek Tari. "Iya, kamu mau aku antar pulang sekarang" "Aku tidak mau pulang, aku betah di sini." "Kalau betah, kita nginep di sini saja." "Iiih bukan betah ingin nginep!" Tari memukul lengan Raka. "Katanya betah." "Iiih Aa!" "Aku kerja lagi ya." "Ikut." "Jangan!" "Kenapa?" "Kamu di sini saja ya." "Takut monyet." "Monyet sama kamu lebih besar mana?" "Lebih besar aku." "Jadi tidak perlu takut sama monyet" "Tapi aku takut Aa!" "Kalau monyetnya nakal tinggal dijewer atau dicubit" "Hiiiy ...." Tari bergidik membayangkan menyentuh tubuh monyet yang berbulu. "Kenapa bergidik?" "Takut sama bulunya?" "Takut sama bulu?" "Iyaaa!" "Masa?" "Iya!" "Assalamuallaikum kak Raka, kak Tari," sapaan seseorang mengagetkan mereka berdua. "Walaikumsalam, mengantar makan siang Bapakmu?" "Iya Kak Raka, mari saya permisi kak Raka, Kak Tari, assalamuallaikum." "Walaikumsalam," sahut Tari, dan Raka berbarengan. "Dia tiap hari ke sawah?" "Iya." "Tiap hari bawa makanan?" "Iya." "Tiap hari lewat sini?" "Tidak." "Sukurlah." "Biasanya dia, dan semua pekerja kumpul makan di sini." "Apa?" "Ya Bapaknyakan kerja di sawahku" "Lalu kenapa hari ini tidak kumpul di sini?" "Kan ada kamu." "Memang kenapa kalau ada aku, apa takut aku mengganggu?" "Kalau itu aku tidak tahu, tanyakan saja sendiri sama mereka." "Ehmm ... kalau Halimah di sini, Aa suka minta makanan yang dibawa tidak?" "Tidak." "Sukurlah." "Tapi aku selalu dikasih makanan yang dia bawa." "Haah! Aa terima?" "Iya, masa rezeki di tolak." "Dia sering ngasih apa lagi sama Aa?" "Apa ya?" "Jawab Aa!" "Ya aku ingat-ingat dulu Tari" "Ya ampun Aa bikin kesal bamget siiih!" Tari menggerutukan giginya kesal. "Salahmu sendiri, tanya ini itu sudah seperti wartawan saja." "Iiihhhh!!" Tari mengepalkan tinjunya saking kesalnya dengan Raka. ***BERSAMBUNG***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN