Kasus Patah Hatinya Ardan

3650 Kata
"Widiiiiih! Korban udah datang aja!" teriak Tiara dari dapur ketika melihat Ardan yang dengan cool-nya masuk ke rumah Opa. Dina sudah cekikikan mendengar sapaan itu. Ardan sih pura-pura gak dengar dan malah sibuk menyalami Opa dan Omanya yang sedang terkekeh menertawainya. Ini lah alasannya kenapa ia sengaja berangkat siang-siang begini. Biar di-bully-nya tak terlalu lama. Apalagi ada mbah bully-nya disini. Biar kata udah insyaf juga, Tiara tetap hobi mem-bully yang sesuai keadaan hahaha! "Korban apaan, kak?" Anne yang gak 'ngeh' bertanya heran pada kakaknya. Yang ditanya malah cekikikan lantas Dina yang menyahut. "Korban ditinggal nikah, Ann!" Mendengar jawaban itu, sontak Anne terkikik. Mukanya sampe merah. Ardan? Dengan cool-nya berjalan menuju televisi. Siang-siang begini enaknya menonton televisi sambil tidur-tiduran. Lalu pura-pura tewas dibanding menjadi bahan bully-an. "Eh iya ya, si Tatal kan udah menikah," Airin yang sedari tadi diam ikut meributkan. "Baru dua minggu kemaren kan ya?" tanya wanita itu sekedar mengkonfirmasi. Tiga gadis di dekatnya terkikik sambil menutup mulut gegara menertawai Ardan. Pun pertanyaan tantenya ini malah membuat luka Ardan yang masih basah tak kunjung kering. Yang tadinya kecil kini menjadi melebar. "Jangan diketawain lah cucu Opa itu," tutur Adhiyaksa. Tapi istrinya, anaknya dan juga cucunya malah gak bisa berhenti tertawa. Soalnya yang diketawain sok cool begitu sih. Sok pura-pura gak mendengar padahal..... "Ini tuh kisah pahit, Opa." Tutur Dina yang mulai mendramatisir. Untungnya gak ada Rain. Kalau ada si Rain, ceritanya bakalan lebih pilu lagi. "Bayangin Opaaaa, tiga tahun menunggu saat yang tepat untuk menyatakan cinta!" Ia mulai berorasi bak provokator di tengah-tengah kampanye. "Pas nembak, eeeeh ditolak!" Kalau yang ini, Tiara udah terbahak. Ia bahkan gak sanggup untuk mengupas kentangnya lagi. Sudah terlalu sibuk menahan guncangan perut yang makin menjadi gegara orasinya Dina. Ando yang baru masuk ke dapur lewat pintu belakang, hanya bisa geleng-geleng kepala. Lelaki itu membawa bawang merah dan bawang putih yang sudah dikupas kulitnya bersama Farrel dan Agha di halaman belakang. Ferril? Itu bocah sedang keluar menjemput Farras. Sisanya, para krucil yang dipimpin Aidan sedang bermain di lapangan basket di halaman depan rumah Opa. "Habis ditolak, masih gak kapok, Opa! Masih setia menunggu! Eeaaaak!" Oma makin terpingkal-pingkal. Cucunya emang gak ada yang waras hahaha! "Nunggunya gak setahun dua tahun Opa, tapi empat tahun!" teriaknya lagi. Caca yang baru tiba di rumah itu ikut geleng-geleng kepala seperti Ando. Fasha yang berjalan di belakangnya hanya bisa terkekeh kecil sambil menenteng belanjaan. Tata sudah melompat ke halaman depan, bergabung bersama geng krucil. Bermain dengan rusuh bersama para sepupunya, Aidan, Ali, Adrian, Adshilla, Adel dan Adeeva. Bibit-bibit rusuh memang sudah ada sejak balita berkat geng rusuh yang terdiri atas Tiara, Ardan, Dina, Fasha, Rain, Farrel, Ferril, Farras, Ando, Anne dan Agha yang memberi bad effect bagi para krucil itu. "Haaaasiiiiiilllnyaaaaaaaaaaa!" Dina masih rusuh dengan keriuhannya mem-bully Ardan. Omong-omong, ia memang yang paling semangat hari ini mem-bully Ardan. "Jreeeng...jreeeengg," teriaknya lagi dengan gaya 'ngejreng' gitar. Padahal megang gitar aja enggak. "TETAP DITOLAK, OPA!" Kali ini Opa sukses terpingkal-pingkal. Caca sudah terkekeh sambil melirik Ardan yang masih berlagak sok kuat sedang memindahkan saluran televisi. "Begitu lah perjuangan nungguin jodoh orang! Hahahahahahaa!" Kali ini gantian Dina yang terpingkal-pingkal dengan ucapannya sendiri. Muka Tiara sudah memerah padam gegara kebanyakan ketawa. Memang, pada dasarnya semua bully-an berawal darinya. "Jadi, kesimpulannya apa, Din?" Tiara masih belum puas. Dina masih terkikik tapi kemudian berdeham-deham. Ia memang gak punya rasa kemanusiaan dalam pem-bully-an jika yang di-bully adalah saudara kembarnya sendiri. "Kesimpulannya adalah berhenti lah mengejar seseorang yang tak pernah menerima kita." "Eeaaaaak!" Tiara berisik lagi tapi setelah itu, rumah Opa tak hanya dipenuhi oleh gelak tawa tapi juga tepuk tangan berkat kalimat sok bijaknya Dina. "Kalian ini," tutur Airin yang sampai kehilangan kata-katanya. Ia gak tahu mesti ngomong apalagi kalau sudah berhubungan dengan geng rusuh ini. "Gak apa-apa, Tan. Ardan kuat di luar meskipun rapuh di dalam," Dina masih sok bijak. Hal yang membuat Tiara makin terpingkal-pingkal. Ardan? Gak pernah ambil hati sih. Biasanya juga di-bully kan? Hahaha. Hanya saja, ia malas menanggapi. Lukanya masih terlalu basah euy! Ketemu Talitha aja gak berani lagi sejak terakhir, ia datang ke pernikahannya. Ohooo begini-begini, ia berani datang kok. Bahkan mengucapkan selamat. Meski setelah itu mengurung diri di kamar. Hahaha. Untungnya gak bunuh diri. Tapi yang pahit itu adalah 'menunggu'. Bayang kan, Ardan menunggu tujuh tahun tapi berakhir dengan kesiasiaan. Namun setidaknya, hal ini memberikan sedikit pelajaran. Tentang makna menunggu seseorang yang pada akhirnya belum tentu menjadi jodoh kita. Rasanya seperti membuang-buang waktu memikirkan orang yang tak kan pernah menjadi masa depan kita. Maka, jatuh cinta boleh. Asal tidak terlalu dalam. Agar ketika orang itu tidak menerima kita atau pahitnya menolak kita, kita tidak terlalu terluka. Kita tidak terlalu sulit melupakan. Kita tidak terlalu berharap pada sebuah kenyataan yang ternyata palsu. Karena pada akhirnya, ternyata dia bukan lah yang terbaik untuk kita menurut-Nya. Jika pada akhirnya bukan dia yang dipilih-Nya untuk mendampingi kita, maka jangan lah kecewa. Sebab gantinya akan selalu lebih baik dari dia yang meninggalkan kita. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "Kalau si Hasan itu beneran datang, lebih baik jangan kasih tahu Dina dulu, Wir," tutur Aisha ketika mereka masih dalam perjalanan menuju rumah Papi. "Kenapa memangnya?" "Kita pantau saja dulu. Kalau memang si Hasan tertarik sama Dina, baru kita perkenalkan. Kalau tidak ya, tidak usah. Aku gak mau anakku patah hati karena terlalu baper." Jelas Aisha yang langsung disetujui oleh Wira. Ya sih. Lebih baik berjalan sealami mungkin. Daripada sudah memberitahu Dina tapi ternyata lelaki itu tidak tertarik sama sekali pada Dina. Lalu Dina patah hati hanya gegara terlalu bawa perasaan untu seseorang yang bahkan belum jelas keseriusannya.   "Terus besok, kamu tetap berangkat ke Solo sama Regan?" Wira mengangguk. Ia sudah bilang rencananya saat akan pulang ke rumah tadi. "Kalau si Hasan ini tidak menunjukan ketertarikan. Kalau dia suka ya, aku urung kan. Biar si Fadli saja yang mengejar Husain." Tawa Aisha nyaris muncrat. "Seriusan, kak Fadli berniat menjodohkan Fasha?" Wira mengendikan bahu. Ia sih tak bisa menebak isi kepala Fadli yang memang sulit ditebak apakah serius atau tidak itu. "Kalau pun kak Fadli serius, aku sangsi si Fasha bakalan mau dijodohin begitu." Kening Wira mengerut. "Kenapa memangnya?" Aih. Suaminya ini memang terlalu jutek. Tidak tahu perkembangan kondisi percintaan para ponakannya. Cuma mikirin Ardan yang berusaha move on dan Dina yang terlalu lama sendiri. Hahaha! "Aah...males aku jelasinnya. Nanti juga tahu sendiri," tutur Aisha yang membuat Wira hanya berdeham. Tak ambil pusing. Tak penasaran juga. Bodo amat lah pokoknya. "Si Ardan ada cerita sama kamu lagi?" tanya Wira kemudian. Ketika ia ingat lagi tentang kasus patah hati anaknya yang sableng itu. Aisha malah terkekeh mendengar pertanyaan itu. Sayangnya, saat hari pernikahan Talitha itu, suaminya ini memang sedang berada di luar negeri. Jadi gak tahu bagaimana strong-nya Ardan datang ke pernikahan Talitha yang ditemani olehnya. Aisha bahkan ingat bagaimana ekspresi senyuman canggungnya Ardan ketika menyalami Talitha di pelaminan. Saat melihat itu saja, Aisha antara ingin menangis tapi juga tertawa. Soalnya, kalau anaknya berlagak sok serius begitu jatuhnya malah bikin lucu bukannya bersimpati akan apa yang sedang dihadapi anaknya. Tapi itu lah sisi kelakiannya Ardan ketika harus menghadapi wanita yang dicintai ternyata menjadi milik yang lain. Tetap berdiri tegak meski bibir pun sudah bergetar untuk bisa tersenyum. Baginya, melepaskan bukan dengan jalan membenci. Sebab perasaan cinta itu tak pernah dimulai dengan rasa benci tetapi dengan rasa menerima. Maka seperti itu pula cara melepaskan. Lepaskan lah orang yang dicintai dengan jalan menerima kenyataan. Barang kali keikhlasan akan melanjutkan perjuangan. Dan semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik untuknya. Usai dari pernikahan itu, Ardan tak berbicara sepatah kata pun. Bahkan berhari-hari setelahnya. Yang Aisha tahu, Ardan hanya diam setiap diledek Dina atau sepupunya yang lain ketika bertandang ke rumah. Apalagi saat para sepupunya, Tiara, Farras dan Rain datang dengan membawa bunga belasungkawa. Hahaha. Turut berduka cita atas kepedihan hati Ardan. Aisha sih terpingkal-pingkal melihat aksi itu. Ponakannya kan memang sableng semua. Tapi salutnya, anaknya masih cool. Meski jengkel setengah mati pada bunga belasungkawa itu. Agak-agak sesak tapi Ardan sukses melewati masa sulit itu dengan perlahan. Yabg perlu diketahui, tak sekali pun, Ardan bercerita padanya. Padahal dulu, sering kali menyelinap hanya sekedar meminta saran atau nasehat secara tidak langsung atau secara langsung. Kini, anaknya itu malah rajin ke kantor lalu kadang-kadang kalau pulang cepat, malah ikut pengajiannya Ustad Marshall di sore hari. Tuh, kece kan? Kasus patah hati ini malah membuat hati Ardan tergerak untuk lebih dekat pada Tuhan. Awalnya selangkah dulu, nanti mungkin akan berlangkah-langkah lebih dekat lagi. Meski terkadang, manusia ini baru paham kalau punya Tuhan itu ketika hidupnya sempit bukan ketika hidupnya lapang. Padahal kalau hidup sedang dalam keadaan lapang lantas tetap mendekat pada Tuhan, insya Allah, hidupnya semakin dilapangkan. Allah kan begitu. Kalau kita terus beryukur, nikmatnya akan terus ditambah. Gak bakal ada ruginya terus menempel pada Allah. Karena Allah malah senang, sebab nanti akan banyak yang menjadi penghuni surga-Nya. Tuh, siapa sih yang gak mau surga-Nya? ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ Ferril menghentikan mobilnya Ando di parkiran fakultasnya Farras. Lelaki itu mengeluarkan ponselnya lantas menelepon Farras. Sekedar memberitahu kalau ia sudah menunggu di parkiran fakultas saudara kembarnya itu. Farras sedang berjalan terburu-buru setelah pamit pada teman-temannya. Perempuan itu segera berlari kecil menuju parkiran lalu celingak-celinguk mencari motor abangnya. Tak tahu kalau Ferril datang menjemputnya dengan mobil Ando. Padahal tadi pagi, ia juga diantar Ferril dengan mobil yang sama. Hingga Ferril meneleponnya lagi baru ia tahu kalau adiknya itu membawa mobil suaminya. Ia segera berjalan menuju Ferril yang sudah berisik membunyikan klakson. Hal yang membuat Farras geleng-geleng kepala akan ketidaksabarannya. Makanya, tadi Farras berlari dari mushola ke tempat parkir biar gak dengar omelannya Ferril yang lebih bawel dibanding emak-emak. "Ke supermarket bentar ya," tutur Farras saat akan memakai seat belt. "Soalnya Oma nyuruh beli buah disana." Tambahnya padahal Ferril gak bertanya. Adiknya itu sudah menyalakan mesin mobil lantas melajukannya. Tanpa menyadari kalau Farras sedang duduk santai sambil memerhatikannya yang serius menyetir. Kacamata hitam yang menyantol dihidung, hal yang membuatnya seperti Farrel. Lengan kemeja biru yang digulung sampai siku. Memang terlihat kece badai dan kata 'ganteng' itu emang gak pernah cukup untuk seorang Ferril. "Gue perhatiin, IG lu isinya banyak foto cewek-cewek bule," tutur Farras. Ngomongnya sih santai tapi bermakna dalam. Ferril hanya bersiul-siul mendengarnya. Ya....jangan salahin dia lah. Kan cewek-cewek itu yang ngajak foto sekaligus pengen fotonya di upload di IG-nya. Sebagai orang ganteng, Ferril bisa apa? Hahaha. "Lo kurang-kurangin dah, ngelakuin hal yang kayak gitu." Tutur Farras yang sejujurnya sedang menasehati. Ferril malah terkekeh. Seneng sih karena saudara kembarnya ini perhatian. Berarti kan, Farras selalu mengecek isi instagramnya kan? "Serius belajar juga tuh. Kerja juga. Bantuin Om Fadli. Hari ini lo bolos lagi kan?" Ferril hanya terkekeh. Ia sih. Lagian ia memang tak mengiyakan ucapan Papanya semalam kok. Ia memang belum berniat menyibukan diri di kantor omnya itu lagi. Bosan kalau disana. Gak ada yang cantik disana. Hahaha. Playboy sih tetap playboy. Tengilnya bahkan tambah parah. Ckckck. Farras berdecak lantas geleng-geleng kepala. Emang saudara kembarnya ini gak pernah kapok. "Hidup itu bukan buat main-main, asal lo tahu. Disini cuma sementara, kekalnya di akhirat. Kalau lo gak pernah serius melakukan sesuatu, menyesalnya nanti, ketika elo udah gak bisa berbuat apa-apa lagi untuk hidup yang lo sia-siain." Iye...iye, Ferril mengeluh dalam hati. Emang ya, gak Farras, gak bundanya, gak papanya, gak abangnya, kalau udah nasehatin itu bikin 'jleb' dihati. "Kasihan Papa sama Bunda juga, udah biayain lo kuliah mahal-mahal, jauh pula," komen Farras lagi yang membuat Ferril cuma bisa garuk-garuk tengkuk. "Minimal lo mikir dikit lah untuk mereka. Kalau lo belum mau berpikir untuk diri lo sendiri." "Gue tahu!" "Halaah! Jawaban lo gitu mulu!" sangkal Farras yang membuat Ferril terkekeh. Dia sih gitu. Iya-iyain aja tapi gak pernah diperbaiki. "Bentar lagi, umur lo 21. Kuliah belum kelar." "Lo juga," komennya gak mau kalah. Hal yang membuat Farras berdecak. "Ya kalo gue sih, emang susah lulus tahun ini. Paling cepet juga setahun setengah lagi. Lah abang? Abang udah bisa penelitian semester depan. Terus lulus deh. Elo?" "Gue sama abang bedaaa." "Justru itu! Lo selalu ngomong kayak gitu karena gak pernah bercermin sama abang!" Haaah. Kali ini Ferril cuma sanggup menarik nafas dalam-dalam. Percuma mengelak, gak akan menang juga. Sebab Farras selalu punya penyangkalan yang lebih kuat untuknya. "Gue gak lagi banding-bandingin elo sama abang loh. Tapi cerminan aja, mana yang lebih serius dalam menjalani hidup, mana yang terlalu santai hingga biarin aja hidupnya mengalir begitu aja." Kalimat pedas dan langsung menusuk hati Ferril itu keluar juga. Hal yang membuat Ferril hanya mampu meringis. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "Yo!" Icha memanggil ketika melihat sahabatnya baru saja masuk ke dalam rumah. Sendirian. Tidak bersama Jihan, istrinya, atau pun anak-anaknya. Lelaki itu tidak bisa ikut buka puasa, tapi datang sebentar karena tidak enak pada Adhiyaksa yang telah mengundangnya. Sudah dianggap seperti keluarga sendiri soalnya. Jadinya, ia mampir usai pulang kerja kemudian baru pulang ke rumah. "Anak? Bini? Mana?" tagih Icha yang membuat Tio menghela nafas panjang. Fadli dan Feri yang sedang duduk di ruang tamu, terkekeh melihat tampang Tio yang nampak lelah itu. "Jihan sih di rumah." Tuturnya dengan nada yang enggan menjelaskan keadaan sebenarnya. Tapi Icha masih menatap, menagih jawaban. Hal yang mmbuat Tio mengusap wajah frustasi. "Kayak lo gak tahu aja. Keera mana mau kesini. Makanya keluarga gue gak bisa buka disini." Waalaah. Icha baru paham lantas terkekeh dan pamit ke dapur. Ya sih. Sejak anaknya menikah dengan Ando, ia juga tak pernah lagi melihat gadis centil yang satu itu. Yang biasanya gak pernah absen kalau mereka membuat acara. "Dia masih suka sama Ando?" Feri bertanya dengan pertanyaan yang jelas-jelas tidak perlu dipertanyakan jawabannya. Hal yang membuat Fadli terbahak. Abangnya ini ada-ada saja. "Anak lo kak, jago juga bikin anak orang susah move on!" timpal Fadli kemudian. Sementara Rain rusuh banget gegara berantem sama abang ojek di dekat pintu gerbang rumah Opa. Ceritanya, ia naik ojek tapi gak bawa duit. Mau masuk dulu untuk mengambil duit, abangnya gak ngasih izin takut Rain gak keluar lagi untuk bayar. Akhirnya, ia malah berdebat sambil ngomel-ngomel. Farras dan Ferril yang baru akan memasuki rumah Opa, terheran-heran melihat Rain dan tukang ojek itu. Kini Rain malah melompat lantas mengetuk jendela mobil Ando untuk memalak Ferril yang dengan terpaksa mengeluarkan dompetnya untuk Rain. "Makanya, neng, kalau gak punya duit gak usah berlagak mesan ojek!" teriak si abang ojek setelah ojeknya dibayar. Kalau lah abang itu masih terlalu dekat jaraknya, niscaya Rain sudah melempar sepatunya. Sementara dua orang yang menonton adegan itu sudah terpingkal-pingkal di dalam mobil. Ferril bahkan masih terbahak sampai keluar dari mobil. Gak tahan lihat muka sebalnya Rain dan omelannya yang panjang pada abang ojek tadi. Farras? Udah gak bisa ngomong gegara ketawa. Emang ya, kelakuan para sepupunya ini gak ada yang benar! Hahaha! "Kenapa lagi, ini baru sampai udah ngomel-omel?!" Ayahnya heran karena Rain masih menggerutu. Gadis itu berdecak usai menyalaminya. "Habisnya ayah sih! Gak ngasih Rain duit! Buat bayar ojek aja, Rain sampai gak punya duit! Mana dikatain lagi sama abang ojeknya!" Fadli terkekeh tapi kemudian mengaduh ketika anaknya menggigit tangannya dengan sebal. Sementara para omnya yang duduk di ruang tamu itu suda terpingkal-pingkal. Farras dan Ferril masih cekikikan sambil menyalami om-om mereka. "Kenapa lagi hidup lo, Rain?" Suara Tiara sudah melengking cantik sejak mendengar pengaduan Rain di ruang tamu tadi pada Fadli. Tapi ditanya begitu, ia malah melengos. Hal yang membuat para sepupunya terbahak. Apalagi saat Ferril menceritakan kronologi kejadiannya. Farras makin terpingkal-pingkal. Rain? Sudah kabur ke kamar ayahnya untuk mandi dan ganti baju. Dari pada pem-bully-an makin panjang, mending ia mendinginkan diri. Lagian itu abang ojeknya gak santai banget! Hahaha. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ Satu jam sebelum berbuka puasa, semua anggota keluarga Adhiyaksa sudah berkumpul. Sudah lengkap. Geng krucil yang tadi dekil-dekil sudah dimandikan ramai-ramai oleh Farras, Anne dan Dina walau Dina sambil mengomel-omel. Gemes karena krucil-krucil itu gak bisa diam. Akhirnya, yang mandiin juga ikutan basah dan berakhir dengan 'harus mandi lagi'. Para tante-tante cantik sedang sibuk memasak ini-itu, mengangkat ini-itu yang belum mateng. Para om-om masih asyik bercengkrama bersama Opa. Ngobrol sana sini sambil tertawa. Mengenang masa lalu sekaligus mengangkat kembali kisah silamnya Fadli yang pernah gak pakai baju keliling rumah. Yang akhirnya ditiru oleh Ardan pada generasi berikutnya. Hahaha. Bedanya, Ardan gak level kalau cuma di rumah, mainnya di rumah sakit. Hahaha. Oma juga sibuk membantu walau anak-mantu perempuannya berkoar supaya duduk saja yang santai. Gak usah ikut mondar-mandir tapi tetap aja gak bisa diam. Tiara dan Rain sibuk mengambil piring, menyusun meja dan kursi agar semuanya dapat duduk. Kecuali, para krucil yang sudah dipastikan duduk di karpet yang kini sedang disiapkan Farrel. Ando kebagian mengangkut karpet dari lantai dua lalu dioper pada Ardan yang duduk di tengah-tengah tangga. Kemudian disetor pada Agha di tangga paling bawah dan berakhir pada Farrel. Ferril sibuk menghitung jumlah kursi. Yang ternyata, saat dihitung kembali, tak kan cukup membuat ia dan para sepupunya dapat duduk bersama om-tantenya di meja makan. Akhirnya ia diskusikan dengan Farrel dan didapat lah sebuah keputusan, mereka juga akan duduk di bawah bersama krucil-krucil. Disaat sedang sibuk-sibuknya itu, muncul lelaki ganteng dengan motor mionya yang kini diparkir di dekat deretan mobil. Kemudian berjalan menuju rumah dengan kikuk dan malu-malu mengucap salam. Kalau lah bukan direktur rumah sakitnya yang minta, ia gak bakal mau datang. Tapi apa lah daya? Para lelaki-lelaki Adhiyaksa langsung menyambutnya. Terlebih Fadlan yang paling hangat karena ia yang mengundang. Fadlan langsung mengerling ke arah Papi ketika Papi bertanya melalui mata tentang siapa lelaki itu. Lantas dijelaskan lah oleh Fadlan, kalau lelaki itu adalah Hasan, salah satu dokter koass di rumah sakitnya. Hasan cuma bisa mengangguk-angguk lantas tergopoh-gopoh menyalami para lelaki yang seusia ayahnya di Makassar sana. Kemudian ikut bergabung tanpa tahu kalau geng rusuh sudah berkerumun, bersembunyi tak jauh dari ruang tamu demi melihat siapa yang datang. Rain dan Dina saling bersiul lantas meringis ketika Tiara menjewer telinga dua orang itu kemudian menggeretnya kembali ke dapur. Farras terkekeh walau saat balik badan, ia terkaget melihat Ando yang berdeham lantas berjalan sok cool naik tangga padahal cemburu. Padahal kan Farras gak bermaksud apa-apa cuma penasaran aja karena para sepupunya pada heboh. Apalagi saat dengar Rain yang langsung teriak-teriak 'ada cowok ganteng'. Farrel malah geleng-geleng kepala. Ardan gak ambil pusing. Ferril malah menajamkan mata. Ia masih berdiri tak jauh dari ruang tamu, demi mengenali siapa yang datang. Tapi ternyata, ia tak kenal sama sekali. Kemudian balik badan dan kembali fokus mengembalikan kursi yang tidak dipakai ke tempat semula. "Ada siapa sih?" tanya Sara. Ia heran karena ponakannya malah rusuh. Padahal tadi adem ayem. Sekarang pada ngomong-ngomong 'ganteng'. Aisha sih diem-diem aja walau tadi sempat menjinjit demi melihat rupa si lelaki yang direncanakan itu. Icha penasaran juga tapi memilih menyibukan diri di dapur saja ketimbang ikutan rusuh dengan ponakannya. Nanti juga lihat, pikirnya. Walau ia tetap penasaran bagaimana tampang lelaki yang ditawarkan Fadlan pada Wira untuk Dina itu. Dina malah tak tahu apa-apa dan masih heboh bareng Rain yang kegirangan melihat cowok ganteng. Mereka seperti tak pernah melihat cowok ganteng saja. Ardan sih cool. Sedang berusaha untuk kuat akan pem-bully-an yang ia yakini belum berakhir hingga malam nanti. Bagaimana pun ia terluka. Siapa sih yang tidak sakit hati dan kecewa? Tapi karena sudah terbiasa yaa....lama-lama bisa melepaskan juga. Walau ikhlas itu belum sepenuhnya. Tapi Ardan sedang belajar menerima. Barang kali Tuhan sedang mengujinya dan akan menggantinya dengan yang lebih baik. Itu sih yang ia ingat, sebuah pesan Marshall ketika sedang mengangkat topik patah hati di pengajian. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ Allah memang tidak membatasi hamba-Nya dalam berusaha. Namun ada kalanya, hamba-Nya harus tahu batasnya ketika Dia tetap mengatakan 'tidak'. Bukannya kecewa jika apa yang telah diusahakan dan apa yang diinginkan tidak dikabulkan. Melainkan membuat hamba-Nya berpikir, oh mungkin memang yang cocok untuk kita bukan seperti itu tapi seperti ini. Misalnya saja, ketika kita meminta mobil dan telah berusaha mendapatkannya, namun ternyata ada saja jalan yang menggagalkan usaha kita untuk mendapatkan mobil. Kita kecewa? Pasti. Tapi ternyata diberikan oleh Allah dengan ganti yang lebih baik menurut-Nya, yaitu motor. Mungkin kita merasa ini tak sesuai dengan keinginan kita. Tapi menurut-Nya? Kalau kita mengerti sedikit saja tentang apa yang diberikan-Nya, kita pasti akan tahu alasan dibaliknya. Seumpamanya motor tadi. Allah memberikan motor untuk kita barang kali, ingin kita lebih cepat sampai ke tempat kerja atau kuliah dan sebagainya. Dibanding kalau kita memakai mobil, sudah terjebak macet, pengeluaran bensin lebih besar. Barang kali akan menguras isi dompet makin besar. Maka untuk mengurangi efek sampingnya, Allah berikan motor, agar tak terjebak macet dan pengeluaran bensin lebih menipis. Sehingga pengeluaran untuk hidup tidak terlalu besar dan sisanya bisa menjadi tabungan. Ya kan? Sama halnya dengan Wira. Walau ia sudah mengupayakan yang terbaik untuk anaknya, tapi toh ternyata, lelaki yang ia tawarkan ini tak tertarik sama sekali pada anaknya. Jika kita bisa lebih mengerti, barang kali Allah akan ganti dengan yang lebih sesuai untuk anaknya. Yang lebih baik menurut-Nya. Ya kan? Karena pada kenyataannya, Hasan malah senyum-senyum kikuk begitu ketika diperkenalkan oleh Fadlan pada keluarga besar Adhiyaksa. Saat diperkenalkan dengan Dina pun, tak nampak terpikat sedikit pun pada gadis itu. Awalnya Wira bersabar, tapi semakin diamati, nampaknya memang benar-benar tak tertarik pada Dina. Karena barang kali, bukan perempuan yang seperti itu yang Hasan cari. Yang Hasan sukai. Pun Dina, mungkin belum sesuai dengan lelaki yang seperti itu. Walaupun katanya, lelaki itu soleh tapi yang namanya jodoh kan Dia yang atur. Manusia hanya sebatas bisa mengupayakannya. Kalau tidak dapat yang soleh gak apa. Barang kali, itu lah yang sepadan dengan kita menurut-Nya. Ya kan? Ibarat orang yang gak pernah belajar, gak pernah memerhatikan gurunya di kelas bahkan jarang masuk sekolah tapi menginginkan ranking satu di kelas? Mungkin kah? Pahitnya, Allah bilang, hei kamu hamba-Ku, sadar diri. Belajar kagak, males iya, tapi mintanya tinggi-tinggi banget, sadar diri gak? Malu gak kalau dibegitukan oleh Allah? Maka itu, kalau mau dapat yang soleh ya...solehahin diri. Mau dapat yang solehah ya solehin diri. Bukan cuma doa aja mintanya selangit. Tapi usahanha juga harus selangit. Ya gak? Hasan malah kikuk begitu. Terlebih saat usai solat magrib berjamaah, ia harus berbaur dengan keluarga Adhiyaksa dengan geng rusuhnya. Terutama Dina dan Rain yang gak berhenti meliriknya. Dua gadis centil itu kan memang begitu tapi malah berhasil membuat Hasan risih. Karena memang bukan gadis seperti itu yang ia sukai. Ia suka pada gadis yang tetap stay cool meski ada ribuan lelaki ganteng yang lewat. Gadis yang menjaga pandangannya. Gadis yang menjaga kehormatannya sebagai perempuan bukan cekikikan gak jelas begitu. Tapi perempuan yang menjunjung tinggi rasa malu. Malu itu termasuk iman? Ya kan? Ia malah lebih suka pada gadis yang sedari tadi hanya sesekali menanggapi celotehan Farras dan Tiara yang tak bisa berhenti berkicau. Sesekali terkekeh kecil. Kalau pun tertawa, ia menutup mulutnya. Dan diam ketika tidak diperlukan untuk berbicara. Gadis yang sedari tadi diliriknya diam-diam. Sampai membuat Ando salah paham karena mengira istrinya yang terus dilirik-lirik oleh Hasan. Padahal sih enggak. Karena ternyata gadis yang memikat hati Hasan pada pandangan pertama adalah gadis yang duduk di sebelah Farras. Yang diapit oleh Tiara di sebelah kanannya. Siapa? Anne Adhiyaksa. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN