Saat tarawih berjamaah itu usai, Hasan mengobrol sebentar dengan lelaki-lelaki Adhiyaksa itu baru kemudian pamit pulang. Suasana yang tadi riuh mendadak berkabung. Terutama Rain dan Dina yang sangat menyayangkan kepergiannya. Airin dan Caca hanya terkekeh saja melihat kelakuan duo genit itu.
Wira mengusap wajahnya ketika Fadlan menoleh ke arahnya. Begitu juga Fadli yang diam-diam menghela nafas. Ia juga memerhati gerak-gerik Hasan tadi. Tapi juga tak nampak menyukai anak sulungnya. Jadi ia memilih menyerah. Barang kali memang bukan jodohnya. Sementara Fadlan sudah berjalan mendekati Wira lantas menepuk bahunya.
Wira hanya mengangguk sebagai ganti perkataan bahwa ia tak apa-apa. Ia memaklumi kok. Lagi pula, hal ini malah membuatnya berpikir. Barang kali anaknya ini harus memantaskan diri dulu untuk mendapat jodoh yang seperti itu. Ya kan?
Mana ada, orang yang tidak pernah berusaha, tidak pernah belajar, tidak yakin berdoa, bisa mendapat ranking satu dengan jalan yang jujur?
"Besok tetap ke Solo?"
Wira menggeleng. Ia mengurungkan niatnya. Kalau Hasan seperti ini maka Husain yang diceritakan oleh Fadlan pun tak berbeda jauh.
"Nanti juga ketemu jodohnya sendiri, Wir." Tutur Fadlan lantas berjalan masuk ke dalam rumah.
Ya sih. Ia menghela nafas. Sementara Aisha malah sedih. Kenapa? Karena yang soleh ada di depan mata, tapi dilewatkan begitu saja. Rasanya seperti baru saja membuang sesuatu yang amat sangat berharga. Tapi tak apa, ini pelajaran baginya dan juga Wira. Barang kali, anaknya memang tak cocok untuk lelaki yang seperti itu saat ini. Tapi untuk nanti, siapa yang tahu? Wong, setiap manusia punya kesempatan untuk berubah kok.
Icha malah menyimpul senyum diam-diam. Mungkin ia satu-satunya orang yang menyadari bagaimana tatapan Hasan pada salah satu ponakannya. Ia pun tak sengaja melihat. Kebetulan lewat saja tapi malah tertangkap. Mungkin sekarang hanya rasa suka yang sederhana. Tapi siapa yang tahu nanti? Ketika kelak, jika rasa itu memilih berkembang dan menjadi rumit?
Anne? Mungkin tak sadar. Gadis polos, jutek namun berhati lembut itu memang belum begitu menyadari keadaan lingkungan sekitarnya. Ia hanya lah gadis remaja baru beranjak dewasa. Usianya bahkan masih terlalu muda. Masih enam belas tahun. Pikirannya masih kekanakan walau tampilannya sudah seperti Farras. Bahkan tingginya menyaingi Farras. Setahun dua tahun lagi, bisa lebih tinggi dibanding Farras.
Untuk urusan cinta, Anne memang tak pernah memikirkannya. Ia hanya menyibukan diri dengan kegiatan dakwah dan sekolah. Masih gadis manja yang suka sekali berketus ria dengan kakak sulungnya yang bawel. Siapa yang akan tahu? Bagaimana kisah cinta itu akan dimulai nantinya. Karena yang jelas, belum sekarang waktunya. Sekarang adalah waktunya mengejar mimpi dan membahagiakan orang tua. Jodoh? Tenang....dia akan datang diwaktu yang tepat menurut-Nya.
~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~
"Biiii," Farras memanggil dari lantai atas. Tapi suaminya masih sibuk mendengar obrolan para tetua. Ketika hendak memanggil lagi, bundanya melarang. Kode muka bundanya itu menyuruh agar Farras tak usah mengganggu urusan para lelaki yang sedang membahas perihal pernikahan Tiara. Feri sedang fokus membagi tugas bagi para lelaki Adhiyaksa.
Karena tak berhasil memanggil, akhirnya Farras balik badan dengan muka lesu. Walau saat membuka pintu kamar, ia sumringah kan kembali mukanya demi duo krucil yang ikut tidur bersamanya malam ini. Yaa....Adel dan Adeeva yang dipastikan tidak mau pulang bersama Umminya. Wong tidur dengan orang ganteng lebih menjanjikan. Hahaha!
Dengan sabar, Farras meladeni dua bocah itu dengan bercerita mengenai kisah nabi-nabi yang lebih sering diprotes Adel. Karena gadis kecil itu sudah sering mendengar kisah yang diceritakan Farras itu. Hingga krucil yang satu itu bosan dan meminta menceritakan kisah yang lain. Kalau Adeeva sih mangut-mangut aja walau sesekali protes jika Adel mulai memotong kisah yang sedang diceritakan oleh Farras. Hingga berakhir dengan keduanya yang tertidur pulas. Sementara para lelaki Adhiyaksa baru bubar dari rapat.
Papa dan om-om juga bunda dan tante-tantenya memilih pulang ke rumah. Sementara ia masih betah menginap di rumah Oma. Abangnya yang ganteng juga ikut menginap bersama Ferril, Ardan dan Agha yang tidur di kamar yang dulu menjadi kamarnya Feri. Sementara Dina dan Rain sudah terlelap di kamar sebelah. Tiara yang tidak sadar umur, tidur menyempil di sebelah Oma. Fasha? Tidur di kamar yang dulu menjadi kamarnya Airin, tantenya. Tapi perempuan pekerja keras itu masih sibuk di depan laptop. Tadinya, ia seharusnya tidur bersama Rain dan Dina. Namun ia tak betah karena dua orang itu berisik dan tak berhenti bercerita. Akhirnya, ia memilih pindah ke kamar ini lantas menguncinya. Kemudian larut di depan laptop dengan kacamata yang tersangkut dihidungnya.
Ando baru masuk ke dalam kamar disaat Farras nyaris terlelap. Istrinya itu langsung mengerjap-erjap seraya menguap ketika mendengar suara pintu terbuka. Sebenarnya Farras sudah mengantuk sekali tapi mati-matian menahannya demi menunggu lelaki ini. Tapi yang ditunggu tampak tak sadar dan malah langsung masuk ke dalam kamar mandi. Baru saat ia keluar dan hendak mengambil baju, ia melihat Farras yang menyodorkan bajunya sambil menguap. Ia berdeham lantas memakai bajunya lalu melongo melihat dua krucil sudah tidur tak beraturan di atas tempat tidur tanpa menyisakan ruang untuknya. Farras yang mengikuti apa yang dilihatnya, terkekeh kecil. Berasa udah punya dua anak aja padahal istrinya belum juga hamil. Ckckck.
"Geserin aja si Adel, Bii," tutur Farras lantas naik ke atas tempat tidur.
Ando mengikuti titah istrinya itu lantas mencoba menggeser Adel yang makin hari makin berat. Tapi marah kalau dibilang gendut.
Ando mengangkatnya perlahan lantas memempetkannya pada Adeeva yang kakinya tak beraturan. Selimutnya pun sudah merosot ke bawah kalau saja Farras tak merapikannya kembali. Memang luar biasa sekali, anak-anak Abi Akib ini kalau tidur.
"Ras," Ando memanggilnya. Lelaki itu sudah berbaring sambil memejamkan mata. Farras yang masih setengah sadar hanya berdeham sebagai jawaban. "Ras!"
"Iya, Abiii. Aku dengar!"
Farras gemas karena dikira, ia tak menjawab panggilan suaminya itu.
"Kenapa?" tanyanya. Kali ini sampai mengangkat kepala demi melihat Ando yang tertutup Adel dan Adeeva. Kini dua bocah itu kompak mepet ke arah Ando.
Bingung harus menjawab apa, Ando pura-pura memejamkan mata lagi lantas berbohong sedikit. "Kepalaku pusing," tuturnya.
"Pusing?"
Kantuk Farras sukses menguar. Kemudian ia mendengar Ando hanya berdeham. Padahal akal-akalannya saja hahaha. Hitung-hitung sebagai ganti waktu dimana Ferril terus mengantar-jemput Farras. Hahahaha. Berasa kurang diperhatiin istrinya.
"Mau aku ambilin obat?"
Ando menggeleng lantas membuka mata kemudian menatap Farras yang juga menatapnya.
"I love you," ucapnya tanpa sadar. Hal yang membuat Farras terkekeh sementara Ando langsung balik badan seraya menyembunyikan mukanya dengan bantal. Malu!
Aih, biasanya juga gak pernah bilang langsung begitu. Sekalinya bilang langsung malu-malu begitu. Farras berusaha mencubit pinggangnya karena gemas tapi Ando berupaya menghindar. Walau tak urung, perjuangannya untuk menghindar tetap percuma. Cubitan-cubitan itu tetap mendarat di pinggangnya. Hingga saat dua bocah yang tertidur pulas itu mulai merasa terganggu karena tempat tidur yang bergerak-gerak, baru Farras menghentikan jurus cubitannya.
Aih, suaminya ini. Bilang aja kangen gitu, kan beres urusannya. Pakek acara berlagak pusing pula.
~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~
"Harusnya aku dulu, didik mereka dengan benar ya, Wir. Bukannya aku biarin aja dengan semaunya mereka."
Istrinya itu masih menyesali tentang cara mendidik anak yang seharusnya. Masih kecewa karena melewatkan lelaki sesoleh Hasan untuk menjadi menantu. Wira hanya berdeham. Ia tidak mau menyalahkan siapa pun dalam hal ini. Ia juga sadar diri kalau ia juga kurang mendidik anaknya dengan benar. Baginya, ia hanya mengupayakan hal apa saja untuk anaknya. Tapi ia lupa kalau ia tak bisa mengupayakan surga-Nya untuk anaknya. Anaknya lah yang harus berusaha sendiri meraihnya.
Ia luput membimbing mereka. Lebih banyak menyibukan diri dengan pekerjaan dan hanya berpikir kalau dengan nafkah akan mencukupi kebutuhan anak dan istrinya di rumah. Namun ia lupa akan kebutuhan iman yang tidak bisa dibeli dengan uang atau pun diwariskan darinya sebagai orang tua.
"Apa aku keluar dari pekerjaan terus didik mereka dengan benar?"
Aisha bertanya. Tapi sungguh, sebenarnya Wira lebih suka mendengar pertanyaan itu terlontar dari dulu. Bukan sekarang, dimana anak-anak mereka sudah dewasa. Ibarat nasi yang sudah terlanjur menjadi bubur. Maka apa bisa membalikannya menjadi nasi lagi? Tidak bisa.
"Coba nanti minta tolong Farras aja untuk ajak Dina ke pengajian." Tutur Wira.
"Lalu Ardan?"
Wira menarik nafas. Enggan menyebut nama seseorang yang ingin dimintai tolong. Hahaha. Ia sih tidak membenci orang itu, hanya saja tidak suka kalau harus menyebut namanya di depan istrinya. Itu saja.
"Ya, kamu tahu lah harus minta tolong siapa," jawaban singkat Wira cukup membuat Aisha 'ngeh' kepada siapa ia harus meminta tolong. Karena, jika harus mengajari mereka suatu hal yang seharusnya sudah diajarkan sejak kecil, maka rasanya tidak sesuai lagi dengan usia mereka yang sekarang. Tapi sebagai orang tua, hal itu masih bisa diupayakan. Kini tergantung pada anaknya apakah mau benar-benar mengikuti atau tidak arahan orang tuanya.
Namun memang, tanggung jawab orang tua itu sungguh berat. Makanya sebelum menikah, gak cuma sekedar mencari jodohnya, tapi juga membekali diri dengan ilmu. Agar bisa mendidik anak dengan cara yang benar menurut-Nya. Agar nanti ketika diakhirat dan diminta pertanggungjawaban, kita bisa menanggungnya. Karena kan, gak cuma ibadah kita saja yang dipertanggungjawabkan, tapi semua yang kita lakukan di dunia ini, sekecil apapun akan dipertanggungjawabkan. Iya kan?
Maka, mulai lah sedari sekarang sebelum menyesal nanti ketika tidak bisa mengulang kembali. Hidup itu hanya sekali dan sementara. Maka perbanyaklah amat yang berpahala bukan bermaksiat lagi mengumpulkan dosa. Dalam pencarian pendamping hidup juga. Tak hanya sekedar mencari calon dengan kriteria yang kita ingin kan tapi juga memantaskan diri sesuai dengan kriteria tersebut. Karena kan Allah pasti kasih jodoh yang sesuai sama kita kan?
"Padahal aku suka sekali melihat Hasan itu, Wir."
Aisha masih membahasnya. Wira hanya melirik istrinya itu seraya fokus menyetir. Mereka baru saja memasuki komplek perumahan dimana mereka tinggal.
"Tahu cara menghormati orang yang lebih tua, tahu cara menghormati perempuan, sopan pula." Tambahnya yang membuat Wira menghela nafas panjang. Ia juga sangat menyayangkan kalau harus melewatkan menantu seperti itu. Tapi apa dayanya? Mungkin anaknya belum sepadan untuk mendapat lelaki seperti itu. Namun tidak ada hal yang tidak mungkin jika Dia yang menghendaki. Maka itu, untuk sekarang, anaknya lah yang perlu memantaskan diri agar pantas pula bersanding dengan lelaki seperti itu.
"Doain aja, semoga Dina dapat yang seperti itu."
Aisha terkekeh lantas membuang tatapannya ke jendela. Aaah....ia masih merasa kalau ia telah membuang sesuatu yang tak ternilai harganya dengan seisi dunia. Hanya karena melewatkan seseorang imam yang baik untuk dijadikan menantu. Tapi mungkin, Dina perlu memantaskan diri lagi untuk mendapat yang seperti itu. Ya kan?
~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~
"Lo kenal, bang, cowok yang tadi?" tanya Ferril ketika keluar dari kamar mandi.
Farrel dan Ardan kompak menoleh. Sementara Agha telah pulas. Lelah mengikuti rapat para lelaki Adhiyaksa. Meski usianya baru empat belas tahun, ia memang sudah dididik Akib untuk sering berkumpul dengan para tetua. Terutama para lelaki agar kelak bisa menggantikannya.
"Siapa?"
Ardan yang gak 'ngeh' malah bertanya sambil mengupil. Kemudian melempar upilannya begitu saja.
"Hasan?"
Cuma Farrel yang paham. Ferril mengangguk lantas melempar handuknya sembarangan. Ia baru selesai mandi.
"Kenapa emang?"
Enggan menjawab pertanyaan Ferril, Farrel malah melempar pertanyaan lagi.
"Aneh aja. Tiba-tiba diundang begitu." Tuturnya dengan naluri yang luar biasa peka. Ferril kan emang gitu. Bahkan gelagat mantan yang ngajak balikan aja dia tahu. Apalagi cuma yang beginian. Ini sih keciiiil!
Farrel malah tak acuh. Ia mengambil ponsel lantas menyandarkan tubuhnya dengan bantal.
"Silaturahmi kali." Tutur Ardan. Enggan bersu'uzzan sama orang. Ia gak tahu saja kalau lelaki itu hendak dijadikan calon iparnya. Tapi batal karena baik Wira maupun Aisha memilih mundur duluan.
"Peluangnya kecil, bang. Dia cuma dokter koass. Keluarganya gak ada hubungan sama keluarga kita. Maka ini jelas ada maksud lain," tutur Ferril dengan kemampuan analisanya yang tajam.
Jangan salah loh, begini-begini Ferril itu pintar dalam hal strategi memasarkan produk. Jadi gak heran kalau ia juga pantas menjadi penggantinya Fadli. Walau yaah....rada-rada slengekan dan playboy. Tapi Fadli juga begitu kan.
"Jangan berkesimpulan begitu lah. Mungkin, dia memang punya urusan sesuatu sama Papa," Farrel berusaha bijak sekaligus menghindari dosa dari menduga-duga sesuatu yang khawatirnya malah fitnah. Karena tidak ada buktinya. Lalu ia beranjak dari tempat tidur dan memilih masuk ke kamar mandi.
Ferril menghela nafas. Masih penasaran dengan sosok Hasan yang tiba-tiba diundang dan datang ke acara buka bersama keluarga besar mereka. Ini jelas aneh, terkanya.
Sementara Ardan malah mengambil ponsel lalu membuka i********:. Tapi langsung 'ngenes' begitu ketika membuka berandanya. Gegara si Talitha meng-upload foto tarawihan bareng suami. Aiiih Ardan? Langsung menghela nafas lantas kehilangan mood membuka ponsel lagi.
Cintanya memang pernah salah memilih perempuan. Tapi untuk sebuah perasaan, maka hati hanya berusaha untuk berada dalam jalur kejujuran. Meski bukan Talitha orang yang tepat untuk menjadi pelabuhan terakhirnya. Walaupun telah mencoba melupakan. Namun hati masih mengarah pada titik yang sama. Barang kali, Ardan disuruh bersabar sama Tuhan. Sebab dia bukan lah jodohnya tapi tak menampik kalau akan ada perempuan yang bukan menggantikan sosok Talitha dihatinya. Melainkan menghapus Talitha dari hatinya dengan cara yang tak dapat ia sangka.
Dan mungkin, Allah juga sedang mengujinya sekaligus mengajarkan. Tentang cara mencintai perempuan yang sebenarnya dan jalan yang harus ditempuh dengan benar menurut-Nya.
~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~
Opa mendongak ketika mendengar suara langkah terburu-buru melintasi tangga rumahnya. Dilihatnya cucunya, Fasha, berjalan menuruni tangga sambil menenteng tas laptop di tangan kiri dan juga dokumen di tangan kanan. Kemudian Opa melirik jam dinding yang menunjukan pukul 9 pagi. Nampaknya, cucunya itu terlambat berangkat ke kantor. Pasti karena ketiduran usai subuh tadi. Padahal beliau sudah berpesan agar Rain atau Dina membangunkan gadis itu. Tapi tampaknya, dua gadis itu pun ketiduran bahkan belum bangun hingga sekarang. Ckckck. Anak gadis jaman sekarang, bilangnya mau menikah tapi bangunnya aja siang.
"Opa, Fasha pamit," tuturnya seraya menyalami Opanya. "Oma mana?"
"Ada di belakang." Tutur Opa lantas membiarkan Fasha berlari ke halaman belakang.
Gadis itu tergopoh-gopoh menghampiri Omanya yang sedang mengasuh Adel dan Adeeva bersama Farras yang kebetulan tidak punya jadwal kuliah hari ini.
"Oma," ia memanggil. Omanya menoleh lantas mengerutkan kening.
"Mau ke kantor?" tanya beliau yang diangguki cepat oleh Fasha. Ia sudah sangat terlambat. Maka tak bisa meladeni pertanyaan-pertanyaan lanjutan dari Omanya.
"Fasha pamit, Oma!" tuturnya usai menyalami Oma.
Farras hanya sempat menatap punggung Fasha yang cepat sekali menjauh darinya. Oma malah geleng-geleng kepala. Sebenarnya, beliau enggan membiarkan cucu-cucunya pergi hari ini. Karena masih kangen dengan mereka. Sekalipun Dina, Rain dan Fasha tinggal tak jauh dari sini, tapi tiga gadis itu jarang datang ke rumahnya. Kalau Farras sih gak usah ditanya. Seminggu sekali pasti datang. Krucil-krucil ini juga. Rutin sekali diajak Airin kesini. Bahkan kadang sengaja diantar Akib kesini. Biar rumah mertuanya ini tak sepi.
Farrel? Sedari pagi sudah menghilang. Pamitnya sih nganterin Agha yang punya acara di pesantren sore nanti. Tadinya, Oma pikir, setelah mengantar Agha ke rumahnya, si Farrel bakalan balik kesini. Tapi ternyata gak kelihatan lagi. Oma dan Opanya mana tahu kalau cucunya ini beneran jadi tukang ojek seharian ini. Sekarang, abang ganteng yang satu itu sedang muter-muter Jakarta untuk mengantar penumpang.
Ferril? Sudah berangkat ke kantor om-nya dengan ditemani Ardan yang kebetulan ditugaskan untuk meeting disana, menggantikan Wira.
Tiara? Ohooo.....gadis yang satu itu sibuk mengurusi butiknya. Ia sedang membagi tugas sekaligus memeriksa kembali produk yang akan launching beberapa hari lagi. Sekaligus memastikan pekerjaan timnya, agar ia bisa cuti setelah menikah nanti.
Ando? Sama halnya dengan Ferril. Cowok yang satu itu sudah berangkat ke kantor. Tapi tujuannya adalah kantor daddy-nya. Hari ini ia yang pegang kendali sementara daddy-nya yang akan ke kantor om-nya.
Rain? Dina? Sudah dijelaskan tadi bahwa dua orang itu masih tidur. Padahal jam tujuh tadi, sudah dibangunin Tiara. Tapi emang dasar kebo, tidurnya lebih mirip orang mati dibanding orang hidup. Pun Dina, sudah dipastikan bolos lagi dari butiknya Tiara.
Sementara Fasha saat ini malah terjebak macet. Ia kesal sekali padahal sudah jam setengah sepuluh tapi jalanan tetap lah macet. Gak ada duanya. Meski berpuluh-puluh kali ia meng-klakson pun, mobilnya tetap tidak bisa maju apalagi mundur. Akhirnya, ia pasrah seraya memberitahu asistennya kalau ia terlambat ke kantor dan meminta asistennya itu untuk bertemu klien.
Lima belas menit kemudian, ia tidak memerhati kondisi mobilnya. Ia lebih sibuk memerhati keadaan sekitar yang membuatnya gerah sekalipun AC mobil begitu dinginnya. Sesekali membenamkan mukanya ke setiran mobil. Sesekali ia komat-kamit, mengutuk aksi 'ketidurannya' tadi pagi.
Dua puluh menit kemudian, mobilnya resmi mati. Hal yang membuatnya deg-degan dengan lalu lintas yang super padat hari ini. Dan ternyataa......saat ia perhatikan, bensinnya habis. Benar-benar habis. Ia menepuk kuat setirnya lantas segera menelepon salah satu bengkel. Biar mobil ini, mereka saja yang urus. Sementara ia bisa naik taksi atau sejenisnya. Tapi ia tak kuasa menahan emosi ketika mobil-mobil di belakang terus membunyikan klakson sekaligus memakinya. Karena mobilnya tak bergerak sementara mobil-mobil di depannya sudah mulai bergerak.
Ia hendak menangis kalau saja ia tak menoleh ke arah kanan ketika seseorang mengetuk kaca jendela mobilnya lalu ia malah melongo dengan muka kusut. Orang itu.....Adit yang dengan muka datarnya memberi kode agar ia keluar. Sementara ponselnya dalam mode menelepon salah satu bengkel yang menjadi tujuannya.
Sadar kalau Fasha mendadak b**o, Adit mengetok lagi jendela mobil itu sambil berteriak agar Fasha keluar. Lelaki itu pun sebenarnya tak sengaja melihat Fasha. Mobilnya tepat di samping mobilnya Fasha. Ia juga dalam perjalanan bertemu klien yang berbeda dengan Fasha. Tapi janjiannya siang nanti, namun karena harus membeli sesuatu dulu, ia berangkat lebih cepat. Siapa yang tahu, kalau di jalan seperti ini, ia malah dipertemukan dengan gadis ini? Dengan cara yang tak terduga? Cara yang tak merendahkan egonya? Walau modusnya ingin menolong tapi sejujurnya, ia ingin mengakhiri keseganan yang telah memutus rantai silaturahmi antara mereka berdua.
Saat sorakan dan makian makin terdengar oleh Fasha diikuti klakson mobil yang tidak hentinya, baru gadis itu tersadar lantas segera membuka pintu mobilnya. Lalu membiarkan Adit yang masuk sebentar tapi kemudian keluar lagi. Lelaki itu meminta maaf pada para pengendara sekaligus memberi tahu kalau mobilnya Fasha kehabisan bensin. Jadi ia meminta tolong beberapa orang untuk membantunya meminggirkan mobil Fasha agar tak menghambat perjalanan.
Dalam sepuluh menit saja, mobil Fasha sudah berada di pinggir jalan. Diikuti mobil Adit yang berada di depannya. Lelaki itu tak berbicara sedikit pun, ia malah fokus mengeluarkan ponsel lantas menelepon seseorang. Sementara Fasha bingung harus bagaimana. Ia ingin mengucapkan terima kasih tapi lelaki ini tidak sedikit pun menoleh padanya. Ia jadi canggung dan bingung. Ia harus bagaimana?
"Mobil lo tinggalin aja disini," tutur Adit ketika Fasha sedang sibuk berpikir bagaimana ia harus berbicara dengan lelaki ini. Tapi lelaki ini yang malah berbicara duluan. "Nanti ada yang bawa mobil lo. Gue duluan," tuturnya kemudian. Hal yang membuat Fasha gelagapan.
Sedinginnya Fasha, masih dingin Adit. Lelaki ini berlagak seperti 'tidak bisa disentuh'. Karena kalau disentuh, maka yang menyentuh akan beku. Tapi percaya lah, luarnya memang terlihat demikian. Tapi yang di dalamnya? Terlalu hangat. Sehangat perasaannya yang akan selalu sama pada gadis ini. Seperti yang dulu, saat mereka masih sangat dekat tanpa jarak hingga pernyataan cinta itu yang membuat keduanya ternyata sama-sama terluka.
"A-Adit!"
Sejujurnya, Adit rindu. Amat sangat rindu hingga kini kedua tangannya mengepal. Menahan d**a yang rasanya membuncah hanya karena satu gadis ini. Karena baginya, rasanya selalu sama. Seperti yang dulu. Tak pernah berubah.
"Mmmm-makasih," ujarnya terbata.
Adit hanya berdeham lantas melangkah lagi dengan sok cool tanpa sekalipun perlu membalikan badan untuk melihat gadis itu. Kemudian masuk ke dalam mobilnya sendiri lalu dengan gelisah menyalakan mesin mobil sambil melirik ke arah spion dimana gadis itu masih menatapnya.
Aaaah andai ia bisa menghancurkan egonya saat ini, mungkin ia tak kan meninggalkan gadis itu begitu saja. Karena sejujurnya ia khawatir tapi ia juga takut. Takut patah hati lagi. Bagaimana kalau gadis ini masih belum bisa menerimanya juga?
Saat mobil Adit pergi, saat itu lah Fasha ingin menangis. Terharu, senang bahkan bahagia sekali karena lelaki itu masih memedulikannya. Jika dulu, lelaki itu lah yang selalu ada disetiap ia membutuhkan, selalu menjadi orang pertama yang ia cari setelah keluarganya jika tak ada yang bisa menolongnya. Tapi bertahun-tahun ini, jarak begitu menjauhkan. Menimbulkan keseganan di dalam keputusasaan. Fasha tahu kalau kisah lama tidak akan terulang. Tapi Fasha lupa kalau kisah baru bisa saja dimulai. Bukan untuk menggantikan kisah lama karena kenangan itu, sejatinya tak bisa dihapus. Maka kisah baru itu berfungsi untuk memberi pelangi pada kisah lama yang mungkin saja memberi perih. Ibarat obat, maka seperti itu lah kisah baru yang bisa menyembuhkan.
Hingga jatuh pada kenyataan ketika Fasha sudah mulai mengikhlaskan lelaki itu pergi dan sibuk menghubungi asistennya, nyatanya mobil Adit muncul lagi kemudian berhenti tepat di sampingnya. Hal yang membuatnya mendongak sekaligus kaget. Apalagi saat lelaki itu membuka pintu mobilnya.
"Masuk! Gue anter!"
~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~