Rapat Perjodohan

2735 Kata
Wira baru saja tiba di rumah sakit ketika melihat istrinya melintas. Aisha sedang terburu-buru ke ruangan usai membersihkan diri. Wanita itu baru saja menyelesaikan operasi dadakan. Seharusnya ia sudah pulang jam lima tadi tapi berhubung sedang operasi yah.... "Woi, Wir!" Fahri yang melihatnya langsung memanggil. Lelaki itu berjalan mendekat pada Wira yang sudah menghentikanangkah. Tadinya Wira mau menyusul istrinya tapi gak jadi karena istrinya berjalan terburu-buru. "Sorry, gue baru buka hape. Gak tahu kalau lo nelpon," tutur Fahri. Wira mengangguk paham. Ia juga mengerti, pasti karena ikut operasi bersama istrinya. "Kenapa lo nelepon?" "Enggak. Tadi mau nanya bini gue," tutur Wira yang di 'ooh' kan Fahri. "Kalau gitu gue ke ruangan dulu, bro. Buru-buru, udah ditungguin bini di rumah," tuturnya yang diangguki Wira. Saat Fahri pergi dan ia berbalik, Aisha muncul dengan langkah mencicit. Istrinya itu kaget melihatnya tapi langsung tersenyum lebar. Senang karena dicariin! Eeaaak! Sampai disusul malah! "Tadi aku ada operasi dadakan," terang Aisha. Wira sih iyain aja. Percaya-percaya aja karena emang wanita ini selalu jujur. Apalagi saat melihat tampang lelah istrinya. Mana bisa ia marah? "Kamu udah makan?" "Tadi di rumah." Heeum. Aisha menghela nafas. Merasa bersalah karena tak sempat menyiapkan makanan berbuka puasa. "Kamu udah buka?" tanya Wira. "Minum air putih aja tadi," tutur Aisha. Ia sudah tiba di samping mobilnya tapi Wira masih mengikuti. "Mobilnya aku titipin disini aja ya, Wir?" "Terserah." Jawaban singkat itu walau terkadang bikin ngelus d**a tapi Aisha terima-terima aja. Udah biasa. Akhirnya ia memilih mengambil barang-barangnya di dalam mobil kemudian menitipkan mobilnya pada satpam. Setelah itu baru berjalan bersama Wira menuju mobil lelaki itu. Jarang-jarang loh mereka berjalan berdua begini. Biasanya kalau Wira menjemputnya begini pasti bawa anak-anak mereka. "Lauk di rumah masih ada gak?" tanya Aisha setelah masuk ke dalam mobil Wira. "Beli aja lah," tutur Wira. Nanti istrinya sedih lagi kalau melihat makanan apa yang dimakannya bersama anak-anak sablengnya saat berbuka puasa tadi. "Ardan udah mendingan?" Wira hanya mengangguk. Ia sedang memundurkan mobil kemudian memajukannya dan berbelok ke kanan untuk keluar dari parkiran rumah sakit. Aisha hanya bisa tersenyum tipis sembari terang-terangan menatap Wira yang kini berdeham. Mendadak grogi kalau ditatap begitu oleh istrinya hahaha! ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ Dina terkekeh. Kalau lagi sepedaan bareng Ardan begini, ia jadi ingat masa kecil mereka. Aaah....ternyata waktu terlalu cepat berlalu tanpa mereka sadari. Dan yang gak pernah berubah dari Ardan adalah kalau bawa motor atau sepeda tetap aja meleng kiri dan meleng kanan. Gak pernah benar. Gak pernah lurus. "Lo seriusan nanggepin Papa?" tanya Ardan. Sejujurnya ia sedang kepikiran hal itu. Bahkan kini tampangnya serius banget hanya gara-gara memikirkan hal itu. Sayangnya gak ada kaca spion di sepeda itu. Kalau ada, Dina yang berdiri di belakang pasti sudah cekikikan. Gak tahan lihat muka serius Ardan yang memesona itu. "Soal perjodohan itu?" Dina melempar tanya balik sambil terkekeh. Sementara Ardan malah mengangguk seraya mengayuh sepeda menuju rumah usai tarawihan di masjid. "Ya....kalau Papa beneran nyari juga gak apa-apa," tutur Dina penuh misteri. Hal yang membuat Ardan bingung. Saudara kembarnya ini menolak atau menerima kah? Kok dari nada suaranya terkesan pasrah? "Misalnya nih, udah dicariin Papa terus lo gak suka gimana?" "Ya tergantung." "Tergantung?" Kening Ardan mengerut heran. Ia mencoba melihat Dina yang kepalanya berada tepat di atas kepalanya. Bahkan kalau ia menabrak tanggul, dagu saudara kembarnya itu memantul keningnya. "Kalau ternyata orang itu baik agamanya, kenapa enggak?" "Wiidiiiiih!" Kalau gak lagi megang stang sepeda mungkin Ardan udah tepuk tangan gegara ucapan Dina itu. "Tumben omongan lo bener!" Tuturnya yang dibalas Dina dengan decihan. Jangan salah loh, diam-diam Dina sering mengamati Farras dan Ando. Bukannya ia suka sama Ando tapi ia hanya mencoba menelaah apa yang membuat Allah menjodohkan keduanya. Dan lihat lah.....sesuai dengan janji-Nya. Allah menjodohkan mereka ya karena banyak hal yang pasti luput dari penglihatan dan pemahaman Dina. Tapi hanya satu kalimat yang Dina yakin sekali. Yaitu bahwa wanita yang baik untuk lelaki yang baik pula. Sebaliknya, lelaki yang buruk untuk wanita yang buruk pula. Iya kan? "Tapi gak gampang loh jatuh cinta sama orang yang gak kita suka," Ardan mengeluarkan isi hatinya. Terlebih memaksakan perasaan sendiri pada orang lain. Omong-omong ia lagi curhat tentang perasaannya. Karena ya...lihat saja nasib cintanya yang setia bertepuk sebelah tangan. Ia tetap memilih setia pada orang yang jelas-jelas tak akan pernah menyukainya. Tapi tidak sedikit pun berpikir untuk mencari penggantinya. Karena baginya, perempuan dimatanya tidak sekedar itu. Mereka bukan sesuatu yang hanya karena suatu hal bisa diganti seenaknya. Baginya itu adalah soal ketulusan dalam cinta. Karena memang sejak awal itu salahnya. Kenapa ia mencintai seseorang yang jelas-jelas tak kan pernah menerimanya? "Tahu sih. Tapi coba percaya deh sama Allah. Gak mungkin Dia gak membuat kita jatuh cinta pada orang itu kalau nyatanya, orang itu lah yang menjadi jodoh kita. Kita hanya kurang percaya aja sama Allah. Sama halnya kayak rezeki kan? Rezeki udah ditetapin sama Allah. Tapi memang belum diberikan semuanya tapi Allah kasih perlahan. Berapa pun jumlahnya itu lah yang menurut-Nya sesuai kebutuhan hamba-Nya." Huuum. Ardan mangut-mangut setuju. Tumben-tumbenan lagi omongan saudara kembarnya ini benar hahaha! "Teruuuus itu aja yang lo tahu?" tantang Ardan. Dina berdecih. "Apa? Lo mau nantang gue?" Ardan menggeleng. Tampang seriusnya membuat tanaman yang dilewatinya seolah bersorak. Andai Ardan agak-agak memperbaiki hidupnya biar gak meleng-meleng itu, dijamin gak cuma tanaman yang terpesona! "Jilbab. Lo tahu itu perintah yang tertera jelas kan? Gak usah ngomongin yang lain deh, itu aja yang paling dasar dan sederhana." Ucap Ardan yang nyelekiiiit banget dihati Dina. Kalau yang ini dibawa-bawa, ia jelas kalah telak. Makanya ia hanya sanggup menghela nafas seraya mendengar ceramah Ardan di sepanjang jalan menuju rumah. Omong-omong, begini-begini Ardan mulai menambah ilmunya loh. Biar kata dulu suka lari dari pengajian, sekarang ia mulai rutin datang ke pengajian meski kadang-kadang suka ketiduran. "Yang gue pernah dengar itu, wanita adalah aurat. Kemana pun ia melangkah, setan-setan pasti berada disisi tubuhnya biar yang melihat bukan hanya mahramnya saja. Bahkan sekali pun bagi mereka yang sudah berjilbab dengan benar, tak menampik kenyataan bahwa orang-orang di luar sana penasaran akan rupanya. Terus gimana elo yang berkerudung aja kagak? Yang walau pakek baju gak pernah ketat? Yang sudah menutup rambut dengan berkerudung pun masih salah karena pakai celana. Masih membentuk lekuk tubuh. Masih berdosa karena auratnya, masih kelihatan kan? Nah, gimana elo?" Ya gimana? Gimana perempuan akhir zaman yang kadang terlena oleh dunia? Yang kadang sibuk mengurusi perkataan manusia dan lupa perintah-Nya? Yang sudah tahu kewajibannya tapi pura-pura melupakan? Yang maunya surga-Nya tapi tak mau berusaha mendapatkannya? Yang walau menjalankan kewajiban-Nya tapi masih pacaran? Yang katanya udah taubatan tapi masih suka modusan? ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "Undangan si Aya udah siap, Sar?" "Udah, bang. Katanya tinggal ambil di percetakan," sahut Sara dari dalam kamar mandi. Sementara Feri duduk seraya menghela nafas panjang. Mengingat anaknya yang centil kini sudah dewasa. Yang dulunya masih pacaran sekarang sudah taubatan. Yang dulu suka teriak-teriak dan masih sampai sekarang. Hihihi. "Kepikiran Aya?" tanya Sara setelah keluar dari kamar mandi. Ia tersenyum melihat suaminya yang menganggukan kepala. Maklum lah, gimana gak kepikiran kalau yang suka bikin rusuh rumahnya, yang suka berantem dengannya, yang suka ia bully hihihi.....nanti bakalan pergi meninggalkannya untuk hidup bersama pangeran surganya? Ikhlas sih ikhlas. Tapi pasti ada rasa kehilangan kan? Bagaimana pun Tiara itu anaknya. "Dia pasti bisa menjadi istri yang baik, bang." Feri terkekeh kecil. Ya sih. Anaknya biar pun begitu, gak pernah mau menyusahkan orang lain. Bahkan sekedar galau atau patah hati. Anaknya begitu mandiri walau kadang suka matre mintain duit. "Kemarin Ando sekarang Aya," tutur Feri. Baginya dua tahun ini benar-benar tahun yang berat. Sara hanya bisa tersenyum. Ia juga merasakan hal yang sama. Terlebih saat Ando menikah kemarin. Tapi leganya karena anaknya itu tak kan tinggal jauh dengannya. Bahkan setelah lebaran nanti akan balik lagi tinggal disini. Tapi Tiara? Anak gadisnya itu akan dibawa lelaki asing yang berani melamar anaknya pada suaminya. Lelaki asing yang akan merebut perhatian anaknya. Lelaki asing yang akan bertanggung jawab atas anaknya. Setelah bertahun-tahun dibawah asuhannya dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Sekali pun ia bukan lah ibu yang melahirkannya. Tapi kasih sayangnya tak pernah membeda. Ia menyayangi Tiara sama seperti menyayangi Anne dan Ando. "Jodoh, bang. Siapa yang tahu kalau ini lah waktu yang tepat menurut-Nya?" tutur Sara dengan air mata yang menetes. Hal yang membuat Feri terenyuh. Perempuan ini begitu tulus menerimanya dan tulus mengasuh anak-anaknya. "Lagi pula, Aya juga sudah lama menanti. Sudah lama menginginkan apa yang perempuan lain juga dambakan." Tambahnya yang membuat hati Feri menghangat. Istrinya ini benar. Mungkin ia saja yang kurang bersyukur. Aya belum menikah salah. Aya akan menikah juga salah. Tapi kini tidak lagi. Feri akan belajar menerima. Walau ia sebenarnya belum sepenuhnya ingin melepas. Yaaah....sebagaimana perasaan orang tua ketika anak yang selama ini selalu bersamanya tiba-tiba pergi dengan orang asing yang datang menjemputnya? Orang asing yang menjadi jodohnya dunia dan akhirat? Pangeran surga yang selama ini bersembunyi dan kini mulai menampakan dirinya? ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "Abi gak keberatan kan?" tanya Farras saat Ando masuk ke dalam kamar. Ia memang sudah menunggu lelaki yang sedari tadi sibuk mengobrol dengan Opa dan kakak iparnya itu. Sampai akhirnya baru ke kamar, menghampirinya. Sebelah alis Ando terangkat mendengar pertanyaan itu. Ia malah heran. "Soal Ferril. Dia emang suka gitu." Tutur Farras yang membuat Ando menghela nafas. Ya....sebenarnya ia gak masalah sih. Malah menurutnya wajar. Meski kadang agak-agak jengkel juga. Tapi Ando berusaha memaklumi. Bagaimana pun, Ferril jarang bertemu dengan Farras. Berbeda dengannya yang setiap hari bersama Farras. Ya kan? "Aku gak apa-apa," tutur Ando sambil tersenyum. "Seenggaknya aku merasa aman kalau bang Ferril yang antar-jemput." Tambahnya yang membuat hati Farras lega. Bahkan terkadang, Ando yang khawatir ketika ia tak bisa menjemputnya dan sopir yang biasa menjemputnya tak bisa menjemput istrinya itu. Akhirnya Farras malah pulang naik taksi sendiri, kan ngeri juga. Seenggaknya untuk sekarang, ada Ferril yang menggantikan. Jadi ia bisa tenang menyelesaikan pekerjaan sembari kuliah di sorenya. Tapi selama bulan puasa ini, kuliahnya dimajukan sih jadwalnya. Jadi ia harus berangkat siang dari kantor. Sementara Farras malah keluar kampus di siang itu pula. "Ya udah. Abi wudhu gih terus istirahat," tutur Farras yang diangguki oleh Ando. Senyumnya yang menawan itu selalu bikin meleleh. Aih biar kata brondong juga hahaha...... ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ Fadli terbahak mendengar rencana perjodohan yang dilakukan Wira. Lelaki itu bahkan sampai terpingkal-pingkal. Gak peduli ketika Fadlan mengetuk kepalanya dengan kepalan tangan. Bukannya mendukung rencana Wira yang mulia itu tapi malah ditertawakan. Fahri ikut terkekeh tapi paham akan niat baik Wira untuk anak perempuannya. "Emangnya lo punya calonnya?" tanya Fadli ketika berhasil menghentikan tawanya. Kini mereka sedang berkumpul di ruangan Fadlan, di rumah sakit. Ditanya begitu, Wira malah menunjuk Fadlan. Lelaki itu berlagak santai usai menaruh jas dokternya di kursi yang ia duduki. Sementara Fahri, Wira dan Fadli menunggu. Omong-omong mereka memang kurang personil. Feri tak bisa datang karena ada pekerjaan di kantor. Regan masih di jalan. "Tadinya sih mau gue jodohin sama anak gue. Tapi berhubung anak gue udah menikah yaaaah," ucap Fadlan dengan nada menggantung. "Serius lo, kak?" Fadli menagih. Kali-kali abangnya ini punya calon lebih dari satu. Kan lumayan bisa dijodohin juga untuk Fasha hahaha! Soalnya kalau yang pilih abangnya, artinya itu calon bukan orang sembarangan. Bukan tampangnya atau hartanya tapi akhlaknya, insya Allah. "Tadi lo ngetawain," nyinyir Fahri yang membuat Fadlan terkekeh. Wira? Lelaki itu malah memasang muka serius. Gimana enggak? Ini urusannya sama masa depan anaknya loh! "Ya kan, untuk seorang Wira gitu. Gue kira bakal diserahin sepenuhnya sama anak." Wira menghela nafas. "Tadinya emang begitu. Tapi dia juga mau." Tutur Wira. Ia juga sudah bicara kan hal ini pada istrinya. Aisha setuju aja asal lelaki itu lelaki yang baik. "Lagian, dari pada anak gue kerja, mending dia nikah." Brak! "Woi! Gue ketinggalan sampai mana?!" Regan yang baru datang langsung banting pintu dengan keringat bercucuran. Mukanya dilempar Fadli dengan bantal sofa. Lalu ia nyengir lantas menutup pintu dan ikut duduk di sofa. "Ya sih. Lo juga gak ngasih izin si Dina kerja kan?" ujar Fahri yang diiyakan oleh Wira. "Sayangnya gue kagak punya anak cowok sih," tambahnya sambil terkekeh. Ya sih. Kalau ada, Wira pasti sudah menawarkan diri duluan. "Ini ngomongnya udah sampe mana sih?" Regan bingung tapi malah ditoyor Fadli gegara Fadlan mau ngomong tapi malah ia yang ngomomg duluan. "Bawel lu melebihi Nesa!" tuturnya yang membuat Regan menggerutu. Fahri terkekeh. Kelakuan masih sama biar kata udah pada tua. "Gue sih punya calonnya, Wir. Ada dua--" "Nah!" Fadli langsung menjentikan jari lantas terkekeh saat semua mata melotot padanya. Tadi yang bilang jangan memotong pembicaraan kan dia. Lah ini? "Yang satu ada di rumah sakit gue. Dokter koass. Belum mapan. Baru akan lulus tahun depan." Tutur Fadlan sambil menatap tajam mata-mata di hadapannya. Ia sedang serius sekarang. "Yang kedua, kembarannya. Arsitek yang desain rumah sakit gue di Makassar. Yang baru gue bangun setengah tahun kemaren. Udah mapan. Sekarang sedang ngerjain proyeknya Regan juga." "Oooh," Regan baru terhubung. "Si Husain maksud lo?" Fadlan mengangguk. "Gimana menurut lo?" Wira berdeham. Baru akan menjawab, Fadli memotong. "Lo pilih di antara mereka, Wir. Yang gak lo pilih, buat gue," tuturnya membuat kesepakatan sendiri. Kali ini gantian Regan yang menoyornya. Lagi-lagi Fahri terkekeh. Fadlan cuma berdecak seraya geleng-geleng kepala. "Sebelumnya gue mau tanya dulu, Lan." "Apa?" "Di antara keduanya, mana yang lebih lo kenal?" Fadlan nampak berpikir. Baginya, ia sama-sama baru mengenalnya setahun belakangan ini. Tapi melalui kerja sama saat di Makassar kemarin, ia hapal sekali kebiasaan Husain yang gak pernah ketinggalan solat berjamaah tiap dengar azan. Naaah.....kalau si Hasan, selalu ditunjuk jadi imam solat di rumah sakitnya sejak ia kembali lagi beberapa hari ini. "Coba lo nilai sendiri aja lah. Kan buat anak lo nih. Kalau dalam sudut pandang gue, takutnya gak bijak dan berpihak pada salah satu diantaranya," tegas Fadlan yang disetujui Fahri. "Kebetulan besok gue mau berangkat ke Solo. Gue lagi bangun hotel disana, yang desain si Husein. Lo bisa ikut gue kalo lo mau." Tawar Regan yang membuat Wira berpikir sesaat sebelum menyetujui. "Kalau lo mau lihat kembarannya, si Hasan, lo bisa langsung ke ruang rawat inap kelas 2. Dia lagi jaga disana," tutur Fadlan yang diangguki segera oleh Wira. "Cuma nih, Wir, masalahnya adalah di anak elo." Wira terdiam lantas menghela nafas. Ya sih. Wira hanya khawatir kalau calon yang diberikan ini terlalu tinggi untuk Dina. Takutnya, anaknya tak bisa menyesuaikan dan merasa rendah diri. Tapi mudah-mudahan Allah membuka hatinya agar mau memantaskan diri. Kan yang namanya jodoh memang sudah dipilih oleh-Nya. Tugas hamba-Nya ya... tinggal memantaskan diri. Ya kan? ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ "Udah pulang?" Aisha baru mengunci pintu rumah saat Wira malah baru sampai di rumah mereka. Wira malah keluar dari mobil dengan lesu. "Kamu mau kemana? Kan gak kerja?" "Mau ke rumah Mami. Bantu-bantu masak. Anak-anak udah pada disana." Jawab Aisha lantas membuka pintu rumah lagi. "Jadi tadi?" Wira mengangguk. Langkahnya diikuti Aisha. Mereka berjalan memasuki rumah, menuju kamar utama. "Anaknya baik," tutur Wira tapi mukanya malah lesu begitu. Hal yang malah mengundang tanya dibenak Aisha. Kalau anaknya baik itu artinya harusnya senang kan? "Soleh," tambahnya yang didehamkan oleh Aisha. "Lalu?" "Khawatirnya, dianya gak suka sama anak kita," tutur Wira yang membuat Aisha mengerti. "Aku rasa, untuk lelaki seperti itu cocoknya sama perempuan yang seperti Farras." Ya sih. Aisha pun mengiyakan dalam hati. Menilik anaknya yang seperti itu. Berjilbab? Enggak. Solat? Subuh kadang suka lewat. Ngaji? Bisa dihitung berapa kali dalam beberapa bulan. Masak? Gak bisa. Lembut? Jauh banget. Penyayang? Haduh. Memang jauh sekali dari kriteria istri yang kebanyakan lelaki soleh ingin kan. "Gak mau dicoba dulu?" Tanya Aisha. Ia hanya tak mau menutup kesempatan. Kan gak apa-apa dicoba. Barang kali dengan imam hidup yang bisa membimbing, Dina bisa lurus juga. "Ya, mau coba aku pertemukan dulu. Jadi nanti, dia ikut buka puasa juga di rumah Mami." Oooh. Aisha mengangguk-angguk. "Kalau dia tidak suka?" Wira menghela nafas panjang. Ia sudah menyiapkan hati untuk melepaskan calon lelaki soleh untuk menjadi menantunya. "Barang kali kita dapat yang lain, yang lebih baik menurut-Nya." ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~ Fadlan turun dengan cepat karena istrinya sudah menunggu di mobil. Farrel sudah berangkat ke rumah Omanya sejak pagi. Kalau Ando, Ferril dan Farras kan memang sudah berangkat sejak semalam. Sementara Fadlan tadi baru saja tiba di rumah. Istrinya sudah menunggu. Lantas segera berangkat usai buang air kecil. "Tadi pada kumpul-kumpul dulu jadinya lama." Tutur Fadlan ketika istrinya bertanya kenapa baru jam setengah tiga nongol di rumah. Padahal janjinya jam setengah dua siang tadi. "Ngomongin cewek?" tanya istrinya dengan nada senewen. Fadlan yang sedang memutar setir mobil, terkekeh mendengar pertanyaan itu. Begini lah curigaannya para istri kalau suami-suami kumpul bersama. "Bukan lah, yang." Tutur Fadlan sambil terkekeh. Matanya melirik istrinya yang mendengus. "Wira lagi nyari jodoh untuk Dina." "Ooooh. Lalu ketemu calonnya?" Fadlan mengangguk. "Ada, tapi Wira kayaknya khawatir." "Kenapa?" Icha heran. "Anaknya soleh dan menurut Wira, kurang cocok sama anaknya. Khawatir cowok itu yang gak suka sama Dina." Oooh. Icha mangut-mangut. Paham sih. Makanya disuruh nyari jodoh yang sepadan kan? Kalau terlalu tinggi takut kita yang tak bisa menyesuaikan diri. Tapi siapa sih yang gak mau dapat yang soleh atau solehah? Gak ada kan? Cuma yang jadi pertanyaannya adalah apakah kita ini pantas mendapatkan jodoh yang seperti itu? Yang soleh? Terkadang pertanyaan itu membuat minder sendiri. "Coba aja dulu lah. Siapa tahu cocok dan berjodoh. Kan Allah Maha Pembolak Balik hati, kak." Iya. Fadlan mengangguk lagi. "Kayak perempuan di sampingku ini ya?" Godanya yang berakhir dengan cubitan pedas istrinya di tangannya. Kemudian ia terkekeh. ~~~♡♡♡¤¤¤♡♡♡~~~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN