Ketahuan

1443 Kata
Sepandai-pandainya kebohongan ditutupi Tentu akan tercium juga Entah kapan tapi akan tetap tiba masanya -Anglipur- **** "Iya ada apa?" Akhirnya aku berbalik dan menatap dirinya, sial mengapa pandangan Adiemas masih saja sangat tajam. "Soal ulangan!" Balas dia masih dengan ekspresi datar. Melihatnya seperti ini membuatku merasa terintimidasi. "Oh soal ulangan, makasih ya udah bantuin aku." Seketika aku baru ingat bahwa aku belum mengucapkan terima kasih kepada dia atas bantuannya tempo hari. "Bukan soal itu!" Bantah dia. Perlahan dia mendekat ke arahku dengan tangan yang bersidekap di depan d**a, matanya masih emnatap tajam kepadaku. "Lalu soal apa?" Aku mulai jengah dengan dia. "Tentang soal ulangan yang kamu sebarkan!" "Jedarrrrrr." Bagai petir yang menyambarku, ternyata Adiemas tahu. Sial bagaimana ia bisa tahu padahal kan kemarin dia sedang tidak ada di sampingku atau jangan-jangan saat aku memotretnya dia sudah berada di belakangku dan pura-pura tidak tahu. "Soal ulangan apa?" Aku pura-pura tidak tahu. "Jangan berpura-pura Fanny aku tahu kamu berbohong, kebiasaanmu kalau sedang berbohong ternyata belum hilang." Padangan matanya mengarah ke kedua tanganku yang saling meremat-remat, sontak aku langsung menaruh tanganku di belakang. "Enggak aku nggak bohong." Aku merasa seperti seorang maling yang ketahuan mencuri tapi memang aku maling kan? Astaga aku malah berpikiran yang tidak-tidak. Adiemas tidak membalas perkataanku dia malah semakin mendekat kepadaku. Perlahan dia mengangkat tangannya ke arah wajahku. "Aaaaaaa sakit tahu." Aku mengelus jidatku perlahan, bagaimana tidak Adiemas baru saja menyentilnya dengan sangat keras. "Salah siapa kamu menyebarkan soal itu." Bentak dia. "Aku beneran nggak tahu apa-apa." Balasku tak mau kalah. "Yakin nggak mau ngaku?" Tanyanya dengan menaikkan sebelas alisnya. "Coba lihat ini!" pintanya dengan mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkannya padaku. Mataku terbelalak kaget bagaimana bisa dia mempunyai gambar itu. Tanpa pikir panjang lagi aku mengambil langkah seribu untuk meinggalkan dia. "Eitsss mau kemana." Cegah dia dengan menahan kedua tanganku di belakang, fix sekarang aku merasa menjadi tersangka yang tertangkap polisi. "Fanny, fanny kalau mau curang pintar dikitlah masa soal itu juga kamu kirimkan ke aku." Haaaahhh apa tadi dia bilang aku yang mengiriminya. Siall aku baru ingat saking terburu-burunya kemarin aku mengirim foto hingga tanpa sadar kontaknya juga aku tekan. Ya ampun kenapa aku nggak sadar pantas aja tadi soalnya berubah. "Kamu masih mau mengelak?" Aku hanya diam tanpa berani membalasnya. "Kalau kamu tidak menjawab akan aku kasih hukuman!" kali ini aku masih diam bahkan untuk menatap wajahnya aku tak berani. "Baiklah itu yang kamu minta. . . ." "Tunggu-tunggu, baiklah aku mengaku kalau aku yang menyebarkan foto itu. Habisnya aku takut kalau kamu buat soal ulangan kaya pak Ranto, soal yang bahkan nggak bisa dijawab." Dengusku kesal. "Alasan, kalau kamu nggak bisa tanya, nilai ini bukan segala-galanya." "Kamu nggak tahu rasanya jadi aku dan teman-teman, dua tahun diajar beliau tapi kami sama sekali nggak paham apa yang beliau ajarkan." "Tapi bukan begini caranya kamu bisa bicarakan dengan beliau secara baik-baik." "Percuma bilang sama kamu, kamu nggak akan bela aku, Ok fine aku ngaku salah." Sebel tahu liatnya, Adiemas yang berotak cerdas mana bisa merasakan penderitaan kami. Disaat teman-teman kelas lain sudah memahami bab selanjutnya, kita bahkan masih berada di titik yang smaa tidak paham sama sekali. Alhasil kami melakukan belajar bersama untuk memahami materi satu sama lain dengan memanggil tentor dari luar sekolah. "Suatu saat kamu bakalan paham apa yang dilakukan Pak Ranto untuk kalian, pendidikan itu nggak hanya sebatas diukur dengan nilai saja, nilai kamu nggak akan berguna tanpa kamu paham apa makna ilmu yang sebenarnya." "Tau ah, aku mau masuk, lepasin tangan aku!" "Nggak, sebelum kamu minta maaf atau kamu mau aku kasih ulangan tambahan!" Ancam dia. Enak aja main kasih ulangan tambahan, satu ulangan saja udah buat kepalaku pusing tujuh keliling la ini pakai mau ngasih ulangan bisa berabe aku, mana di minggu-minggu ini sedang sering-seringnya jadwal ulangan harian karena menjelang UAS. "Iyadeh aku minta maaf." Balasku malas. "Sekarang lepasin tanganku." Pintaku padanya, dia masih tidak menggubrisku malah mengeratkan cengkraman tangannya di tanganku. Malah sekarang aku merasakan hembusan nafasnya di tengkukku. "Adiemas lepasin tanganku." Pintaku padanya, karena dia tak kunjung merespon, aku langsung menginjak kakinya. "Arrggghhhhh." Dia berteriak kesakitan sambil mengangkat sebelah kakinya yang kuinjak. Rasain salah siapa tidak melepaskan tanganku, eh tapi kenapa berteriak keras sekali. Bodoh ah, lebih baik aku langsung kabur aja daripada kena amukan. "Fanny, jangan kabur!" "Bodo, bye Adiemas sampai jumpa." Langsung aja aku masuk ke dalam ruamah dan mengunci pintunya, segera aku masuk ke dalam kamarku. "Dok. . . .dok. . . .dok" Adiemas menggedor pintu dengan keras. "Fanny buka pintunya." Dapat kudengar teriakannya dari sini padahal aku sedang di kamarku yang berada di lantai dua. Dari balkon aku bisa melihatnya yang menggedor-nggedor pintu dengan keras terlebih dia berteriak kencang memanggil namaku. Tak kuhiraukan dia, aku masuk lagi ke dalam kamar dan mengganti pakaianku. Tiba-tiba saja teriakan Adiemas menghilang. Aku penasaran apa dia sudah pergi ya, karena ingin tahu aku lalu menengok lagi di balkon. Kulihat Adiemas sedang dimarahi tetangga. Aku mencoba menahan tawaku sekuat tenaga, emang enak dimarahin. Saat tetanggaku sudah pergi, Adiemas masih berdiri di sana dengan mengacak rambutnya frustasi. "Shit." Aku mendengar dia mengumpat Sontak saja tawaku menyembur keluar. "Hahahahahahaha." Aku sampai memegang perutku karena tak bisa menghentikan tawaku. Adiemas yang menyadari suara tawaku langsung menengok ke arahku. "Sudah puas ketawanya." Sindir dia "Hahahahahaha, sumpah kamu tadi lucu banget, salah siapa teriak-teriak ya jelas ganggu tetangga, hahahahahaha." Aku masih belum bisa menghentikan tawaku. "Sudah belum ketawanya, kalau belum aku tunggui nih." "Upps maaf, kamu harus lihat ekspresi kamu sumpah lucu banget." "Fanny!" Teriaknya keras. "Adiemas kalau kamu teriak lagi, saya laporin ke pak RT." Teriak tetanggaku yang tadi memarahi Adiemas. "Maaf-maaf pak, enggak lagi." Bapak itu lalu berbalik pergi. Aku kembali tak bisa menahan tawaku. "Hahahahahahaha." Adiemas hanya memandangku tajam, aku balas memelototinya tajam. Jika kami mempunyai sinar laser aku yakin laser itu pasti sedang bertanding siapakah yang paling kuat. Masing-masing dari kami tak ada yang mau mengalah, hingga akhirnya Adiemas mengalihkan pandangan ke tempat lain lalu kembali mendangku dan memberikan senyuman miring sebelum berbalik mengambil motornya dan meninggalakan halaman rumahku. Aku mengernyit bingung karena tidak biasanya dia mau mengalah kepadaku. ***** "Ibu, aku berangkat dulu ya." Ucapku pada ibuku sambil berdiri merapikan seragamku. "Iya hati-hati, salim dulu." "Siap bos mami". Balasku dengan riang. Aku bersenandung kecil ke depan rumah untuk mengambil sepedaku yang ada di bagasi. Mataku mencari-cari keberadaan sepedaku, tapi nihil aku tidak menemukannya. Sontak saja aku panik, jam sudah menunjukkan pukul 06.30 dan butuh 30 menit untuk sampai ke sekolah. "Ibu-ibu sepedaku mana?" Tanyaku panik. Ibu lalu tergopoh-gopoh menghampiriku. "Ada apa Fanny, pagi-pagi teriak." "Sepedaku mana, aku bisa telat nih." Ucapku panik. "Ohh sepedamu ibu kasih ke Bagas, katanya mau dibenerin." "Apa?" mau dibenerin apanya coba, kan kemarin udah aku bawa ke bengkel dan aku cek sepedanya baik-baik saja. Jangan-jangan dia sengaja mengerjaiku. Dan lagi kenapa ibuku memanggil Adiemas dengan nama kecilnya sepertinya ada yang tidak beres. "Terus aku naik apa?" Tanyaku memelas. "Bareng aku aja Fanny." Suara Adiemas mengagetkanku, astaga ini Adiemas mau ngajar atau mau ngapain. Kok dia pakai celana levis warna biru dipadukan jaket kulit berwarna coklat dan coba tebak di balik jaket itu aku bisa melihat kaau dia memakai kaos memakai kaos hitam. Sudah kaya model aja, dia mau fashion show apa. "Aku ngganteng kan?" tanyanya sambil nyengir kuda. Astaga pedenya kambuh lagi. "Enggak biasa aja". Balasku. "Ayo bareng aku aja." "Iya Fanny bareng Bagas aja, kan kalian tujuannya sama." Bukan aku yang menjawab tapi malah ibuku. "Nggak usah, aku mau naik bus aja, nggak enak sama teman-teman lain." Balasku Sebelum aku mendengar bantahan ibuku aku bergegas pamit lalu melangkah pergi, dapat kulihat Adiemas juga pamit pada ibuku. Kalau dilihat gini kok berasa bukan aku yang anak kandungnya melainkan dia, masa bodoh aku bergegas melangkahkan kakiku. Ternyata capek juga jalan kaki, mana jalan raya masih jauh. Aku mendengar suara motor mendekat ke arahku. Aku menebak pasti itu Adiemas. "Fanny, yakin nggak mau bareng?" "Nggak." Balasku ketus "Kalau kamu nggak bareng aku, nanti bisa telat?" Aku tak menghiraukannya dan terus berjalan sementara Adiemas mengendarai motornya dengan pelan mengikuti di belakangku. "Katanya nanti ada ulangan Fisika?" Sial, pakai diingatkan pula mana itu jam pertama bisa-bisa aku melewatkannya karena terlambat. Aku melihat ke jam tanganku, astaga Ya Tuhan sudah jam 07.15 pasti bakal terlambat. Tapi kalau bareng Adiemas bakalan telat, bagai makan buah simalakama namanya. "Ya udah, aku duluan ya." Ucapnya. Belum sempat aku menjawabnya dia berlalu pergi, kalau begini ceritanya aku bisa telat. Kulihat di ujung sana Adiemas sudah melaju kencang dan berbelok menghilang dari pandangankum, Say Good Bye Ulangan Fisika. Aku memejamkan mataku berharap Tuhan mengirimkan penyelamat untukku, kalau dia perempuan akan aku jadikan saudaraku kalau laki-laki akan kujadikan suami. Eh jangan suami nggak siap nikah muda, terserah si penyelamat mau apa. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN