Sepulang sekolah kuputuskan untuk menunggu Adiemas pulang, aku sangat ingin berterima kasih dengannya. Harus kuakui karena dialah aku bisa mengerjakan soal dengan mudah.
Suasana sekolah tampak sepi, memang wajar karena jam pulang sekolah sudah berlalu sejak satu jam yang lalu. Dan berdasarkan pengamatanku, Adiemas akan pulang sekolah jam 3 itu berati setengah jam dari sekarang.
Pelan aku melangkahkan kakiku ke ruang BK atau Bimbingan Konseling. Adiemas memang tidak menempati ruang guru di sebelas kelasku, katanya disana sudah full oleh guru yang mengajar di sini.
Tiba-tiba ada yang menarik tanganku, sontak itu menghentikan langkahku. Penasaran aku berbalik melihat ke belakang.
"Galih?" Tanyaku dengan mengerutkan kening, untuk apa dia menarik tanganku. Pandanganku tertuju pada tangannya. Galih yang menyadari pandangan mataku, langsung melepas genggaman tangannya.
"Eh maaf, sebenarnya aku mau ngajak kamu jalan sekalian bahas Dies Natalis?"
"Kenapa nggak sekalian di sekolah aja?" Tanyaku heran.
"Nggak papa sih sekalian nyari suasana beda, Gimana. . . . .?"
"Galih!!!!"
Sebuah teriakan mengagetkan kami.
"Hai Berlin." Sapaku basa-basi.
"Hai, belum, nungguin orang nggak datang-datang eh ternyata orangnya malah disini."
"Kamu nyari Galih?" Tanyaku.
"Iyalah siapa lagi, ayo pulang!" Ajaknya kepada Galih.
Entah hanya perasaanku saja dia seperti memandang sinis ke arahku.
"Kita balik dulu ya Fann." Pamit Galih kepadaku
"Ya, hati-hati."
Mereka lalu meninggalkanku sendirian.
"Aneh,” pikirku dalam hati.
Aku masih diam merenung menerka-nerka mengapa Galih mengajakku jalan, tidak biasanya dia seperti itu dan tadi pandangan Berlin kepadaku semakin sinis saja seolah aku adalah musuh baginya. Memang aku akui kita adalah Rival meskipun dulu waktu SMP sempat bersahabat, tapi entah kenapa sejak kami sama-sama menjabat sebagai anggota OSIS, dia seolah menjauhiku dan selalu mengibarkan bendera permusuhan kepadaku.
"Fanny, loh kenapa belum pulang?" Suara Adiemas mengagetkanku, aku langsung memegang dadaku karena tidak siap dengan apa yang terjadi.
"Kamu kenapa?" Tanyanya dengan mengerutkan kening.
"Ngapain pakai tanya, aku kaget tahu!" Kesalku marah.
"Maaf. . . maaf aku tak sengaja lagian ngapain kamu bengong nanti kesambet baru tahu rasa." Ucapnya sambil tertawa terbahak-bahak.
Aku terpesona melihat tawanya, setelah sekian lama baru sekarang aku bisa melihat tawanya sama seperti dulu. Loh apa yang aku pikirkan, aku refleks menepuk pipiku. Gerakan terhenti karena Adiemas mengenggam kedua tanganku dan menangkupkannya diwajahnya.
"Apa yang kamu lihat dari wajahku?"
"Aku tidak tahu." Jawabku bingung.
Dia perlahan mendekatkan wajahnya ke wajahku, aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat menerpa wajahku. Harusnya aku bertindak, tapi entah kenapa aku seolah menantikan apa yang akan dia lakukan.
"Fanny." Panggil dia lirih, disaat itu pula aku menutup mataku. Hembusan nafasnya kian terasa hangat, yang kutahu wajahnya semakin dekat dengan wajahku bahkan hidung kami sudah bersentuhan.
Suara lagu "Be The Light" tiba-tiba terdengar keras. Sontak itu menghentikan kami.
"Ehemmm." Dia berdehem, segera kuturunkan kedua tanganku dari kedua pipinya.
Kulihat Adiemas menggaruk kepalanya yang kutahu sebenarnya tidak gatal.
Suasana mendadak canggung, aku tidak berani melihat ke arahnya, pipiku terasa panas. Aku yakin pasti sekarang kedua pipiku berwarna merah sementara kulihat Adiemas masih berdiri tegap di tanganku.
"Fanny, telponmu tidak kau angkat?" Tanya dia.
Aku hampir lupa dengan panggilan itu, padahal nada deringnya masih terdengar. Segera kuambil telponku ternyata yang menelpon adalah ibuku. Tanpa ba bi bu lagi aku langsung mengangkatnya. Yang kudengar pertama kali adalah teriakan marah yang memekakkan telinga.
"Ha..." Belum selesi aku mengucapkan salam, ibu lalu memborbardir dengan pertanyaan
"Fanny, kamu kemana aja, ibu telpon dari tadi nggak diangkat-angkat?"
"Maaf bu, nggak kedengeran," Aku merutuk dalam hati, nggak kedengeran bagaimana, bunyi deringnya keras sekali kalau saja ibu tidak menelpon mungkin Adiemas akan. Ah sudahlah kenapa pikiranku terus melantur tidak jelas.
"Halo Fanny kamu masih disana, kamu dengar nggak apa yang ibu bilang?" Ibu tadi ngomong apa ya, tampaknya aku kembali bertindak bodoh, kulihat dari sudut mataku Adiemas menertawakanku.
"Eh maaf maaf bu, tadi ibu bilang apa?"
"Ya Ampun Fanny, astaga, ibu bilang ibu nggak bisa jadi jemput kamu karena ada acara mendadak."
"Haahhh acara apa? Kok aku nggak tahu." Tanyaku bingung.
"Ada pokoknya, kamu bisa pulang sendiri?"
"Iya bu." Jawabku tak yakin mana ada bus lewat sekolah yang ada aku harus jalan sejauh 300 m untuk sampai ke jalan raya itupun tidak langsung sampai di depan rumahku melainkan harus jalan sejauh 1 km lagi.
"Ok hati-hati ya, ibu tutup dulu acaranya udah mau dimulai."
Belum sempat aku membalasnya telponnya sudah ditutup sepihak oleh ibuku. Aku lalu menundukkan kepalaku lesu, jalan lagi deh, mana jauh pula.
"Kenapa Fanny?"
Aku hampir lupa kalau Adiemas ada di depanku.
"Ibuku tidak bisa menjemputku."
"Ya sudah bareng aku aja kita kan tetangga daripada jalan jauh." Bujuknya
"Oke deh, tapi kan aku nggak bawa helm nanti kalau ketilang gimana?"
"Santai aja nanti kita cari jalan tikus."
"Ayo." Ajaknya
Aku mengikuti di belakangnya.
"Awww." Aku mengelus-ngelus jidatku yang menabrak punggung kekarnya.
“Kok berhenti?" Tanyaku bingung
"Lagian kamu berjalannya di belakang udah kaya asistenku aja, hahaha." Ucapnya sambil mengacak-ngacak rambutku lau dia mengenggam tanganku untuk berjalan di sampingnya.
Genggaman tangannya terasa pas dan hangat seolah tangan itu memang diciptakan untukku. Kami berjalan dalam keheningan sampai parkiran sekolah.
"Bisa naik kan?" tanyanya kepadaku, tak heran memang dai menanyakan hal itu kepadaku karena motor yang dia gunakan adalah motor ninja dan untungnya aku memakai celana training.
"Bisa kok, emang nanti kita lewat mana?"
"Kamu nanti juga tahu."
Dia lalu menaiki motornya, aku segera membonceng di belakangnya,
"Kamu yakin nggak pegangan, nanti jatuh lho." Ejek dia
"Nggak, terima kasih." Jawabku yakin.
Tiba-tiba saja dia melajukan motornya dengan kencang, otomatis aku langsung memeluk perutnya.
"Katanya nggak mau pegangan?"
"Kamu sengaja kan ngebut biar aku pegangan sama kamu?"
"Hahahahahaha." Malah ketawa dia, tau ah daripada nanti dia ngebut lagi mendingan aku pengangan sama dia lagian nggak ada ruginya juga, aku tertawa dalam hati.
Punggung Adiemas itu pelukable banget. Aku lalu menyandarkanku ke punggungnya, akan tetapi tanpa sengaja mataku melihat ke jalanan, aku baru menyadari bahwa jalan ini memang bukan jalan yang kulalui biasanya. Mataku melihat ke kiri dan ke kanan, sepanjang jalan hanya ada tumbuhan karet yang berjajar. Meskipun hanya tumbuhan karet, tapi jika dilihat akan tampak sangat indah, aku bahkan memikirkan bahwa lokasi ini bisa digunakan untuk Pre-Wedding.
"Kita di mana?" Tanyaku pada Adiimas, kuyakin dia masih mendengarkan ucapanku karena aku berbicara dengan keras.
"Alaska." Hah apa dia bilang Alaska nggak salah apa, apa dia tadi baru saja melewati pintu kemana saja.
Menyadari diriku yang tidak merespon Adiemas langsung menyahut
"Bukan Alaska yang itu, ini itu Alas Karet singkatannya Alaska biar agak kerenan dikit, hahahahahaha."
Dia lalu bercerita tentyang tempat yang kami lalui. Aku baru tahu kakau ada perkebunan karet di daerah sini, bahkan katanya tempat ini sering digunakan sebagai lokasi foto Prewedding. Tak salah memang, karena tempat ini bagus sekali.
"Huuu dasar." Kataku sambil memukul-mukul punggungnya.
"Hentikan Fan." Pinta dia.
"Nggak mau salah siapa bohongin aku."
"Bukan aku yang bohong tapi kamu aja yang bodoh," balasnya sambil terus tertawa.
"Apa kamu bilang, ini kamu rasain." Kataku sambil memukul punggungnya dengan lebih keras.
"Baiklah kalau itu mau kamu aku akan. . . ."
"Aaaaaaaaa Adiemas, pelan-pelan bawa motornya." Teriakku ketakutan.
"Kan aku udah bilang hentikan." Kata dia dengan terus melajukan motornya dengan kencang.
Pemandangan indah yang ada di depan mata tidak bisa aku nikmati lagi, karena ketakutan lebih mendominasiku. Adiemas sepertinya memang sengaja membalasku, bagaimana tidak di setiap tikungan dia malah semakin mempercepat lajunya. Beruntung jalan yang kami lalui sepi, jika tidak aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib kami. Keringat dingin mulai membasahi tubuhku, sungguh aku sangat ketakutan sekali. Aku bahkan tak berani membuka mata saking takutnya.
"Fanny bukalah matamu!" Pinta Adiemas lembut tangan kirinya mengusap tanganku yang berpengangan erat di perutnya. Aku yakin dia bisa merasakan betapa dinginnya tanganku.
"Nggak mau, aku takut." Balasku dengan mata yang masih terpejam.
"It's okay ada aku yang siap melindungimu, buka matamu perlahan-lahan, lawan ketakutanmu, nanti kamu akan menemukan pemandangan yang sangat indah."
Aku terbuai dengan kata-katanya, perlahan kubuka mataku. Mataku terbelalak takjub dengan pemandangan yang disuguhkan kepadaku. Sungguh pemandangan yang sangat indah, kami memang masih berada di kawasan perkebunan karet akan tetapi jalan yang menurun membuatku bisa lebih leluasa melihat jajaran pohon karet ini ditambah senja yang menghiasi langit semakin menambah indahnya pemandangan ini. Langit yang kulihat berwarna jingga dengan semburat warna ungu dan merah muda.
Aku tak menyangka di kotaku ada pemandangan seindah ini, aku jadi curiga kalau dia mengambil jalan memutar.
"Ini bukan jalan di kota kita kan?" Tanyaku curiga
"Nggak percayaan banget, ini masih ada di dalam kota kita, letaknya pinggiran sih berbatasan dengan kota lain."
"Kok aku nggak pernah tahu?"
"Makannya sekali-kali keluar."
"Hemm ya deh, ngomong-ngomong kapan kita sampai?"
"Sebentar lagi, kamu baik-baik aja di belakang, aku nggak akan ngebut lagi."
"Nah gitu dong, tapi kayaknya sekarang aku lebih suka kamu ngebut deh."
"Oke kalau begitu."
Ia lalu kembali mengemudikan motor dengan kecang, kami tertawa bersama. Kali ini tak ada rasa takut lagi dalam diriku karena aku yakin dia akan menjagaku.
****
"Makasih ya Adiemas." Ucapku ketika turun dari motor, "Mau mampir dulu?" tanyaku basa-basi.
Adiemas tidak menjawabnya, dia lalu turun dan melepas helmnya.
"Nggak usah." Jawabnya dengan menatapku tajam.
Kenapa tiba-tiba aku merasa merinding, tatapannya seolah mengulitiku aku merasa seperti menjadi terdakwa. Aku mengalihkan padanganku ke arah rumah. Ternyata rumah masih sepi, itu berarti orang tuaku belum pulang.
"Ya udah aku masuk duluan ya." Balasku langsung berbalik menuju ke arah rumah.
"Tunggu, Fanny kau hutang penjelasan padaku."
Astaga apa lagi? Rutukku dalam hati .
****