A Little Thing

1181 Kata
Menentukan pilihan tak semudah membalikkan telapak tangan Karena apa yang kau pilih sekarang menentukan seperti apa  dirimu di masa depan -Anglipur- **** Fanny POV Rasanya aku pengen jingkrak-jingkrak sekarang saat mengingat kejadian tadi. Ketika Adiemas mencium bibirku. Astaga kenapa aku malah memikirkan hal itu. Jangan-jangan aku mulai memaafkan dia. Kenapa aku jadi begini. Bagas yang tak lain tak bukan adalah Adiemas. Pipiku sekarang terasa panas saat menyebut namanya. "Apa aku menaruh perasaan padanya?" Tanyaku dalam hati. Di satu sisi aku merasa sangat nyaman dengannya disisi lain aku merasa entahlah seperti ada setitik rasa kecewa dalam hatiku. Tiba-tiba aku teringat dengan barang pemberian Adiemas sebelum dia pergi, segera aku mencarinya di dalam lemariku. "Kemana ya?" Gumamku. Aku masih mengingatnya dengan jelas, kalau benda itu aku letakkan di dalam kotak yang ku selipkan di bawah tumpukkan baju. Masa aku membuangnya, sepertinya tidak mungkin. "Astaga Fanny, apa yang kamu lakukan?" Tanya seseorang di belakangku. "Ayah." Teriakku saat melihat Ayah yang memanggil namaku. Tanpa pikir panjang aku langsung memeluknya. "Fanny, ayah tidak bisa bernapas ini." Keluh dia padaku. Tapi aku tidak memperdulikannya karena sudah lama aku tidak melihat ayahku. Perlu kalian ketahui ayahku adalah Rektor Universitas yang terkemuka di indonesia, tak heran kalau ayah begitu aku memanggilnya jarang pulang. "Dasar kalau ada Bapaknya, pasti lupa sama ibu." Keluh ibuku melihatku yang terus memeluk ayahku. "Habisnya, kangen banget sama Ayah, mentang-mentang punya Universitas lupa dah sama anaknya." Sahutku kesal. "Hahaha, kamu ada-ada Fanny." Ucap Ayahku sambil mengacak rambutku. "Ya ampun, Fanny, kenapa ini jadi berantakan, capek-capek ibu merapikannya tapi kamu malah membuatnya jadi seperti ini, pokoknya ibu nggak mau tahu kamu rapikan semuanya sekarang." "Peace Mom." Ucapku padanya sambil berlindung di belakang tubuh Ayahku. "Mom-mom, jangan kaya kakakmu panggil ibu dengan Mom-mom, udah tahu pribumi masih sok-sokan bahasa Inggris." Balas ibuku kesal. Pribumi aku nggak salah dengar, ibu sepertinya butuh kaca jelas-jelas matanya sipit, masa ibu nggak nyadar kalau dia keturunan China. Ingatkan aku untuk memberi tahu ibu akan hal ini. "Sudah-sudah malah marah-marah, Fanny kamu sedang cari apa memangnya sampai berantakan seperti ini?" Tanya Ayahku menghadap ke arahku. "Emm." Aku berdehem kecil, masa aku jujur pada mereka bisa malu aku.  "Itu Yah, cari kotak." Balasku menunduk. "Kotak?" Tanya Ayahku. "Itu lho, kotak warnanya biru, yang aku simpan di dalam lemari." "Owh kotak itu." Balas ibuku. "Ibu tahu dimana?" Tanyaku antusias.  "Tahulah, kan kamu sendiri yang menyuruh Ibu buat naruh di gudang, sambil nangis pula." "Emang iya bu?" Tanyaku bingung. "Ya ampun, ayah sama anak sama-sama pelupa." "Hehehe." Balasku sambil terkekeh kecil. "Kak Fero kapan pulang Bu?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan karena tidak mau Ayah dan Ibu menanyaiku lebih lanjut, bisa mati kutu aku. "Fero, pusing ah ibu sama kakakmu itu disuruh kuliah di tempat ayahmu nggak mau, maunya ikut paman dan bibimu di Inggris udah lulus disuruh balik nggak mau, dia udah lupa apa sama ibu bapaknya." Jawab Ibu sambil mendengus kecil. "Namanya juga anak muda, biarin aja nanti dia juga balik sendiri." Balas Ayahku bijak. "Terserah deh." Ucap Ibuku menyerah. "Ayo ke bawah makan malam." Ajak ibuku. "Siap, Bos Mami." Ucapku dan Ayah kompak lalu tertawa bersama-sama. Ibu yang melihat kami hanya menggeleng-gelengkan kepala. Makan malam kali ini terasa lebih indah dari makan malam yang lainnya. Yah meskipun tanpa kehadiran kakakku, setidaknya disini masih ada Ayah yang ada di meja makan bersama ibuku. Kadang aku merasa kesepian kalau Ayah tidak ada di rumah, apalagi saat ada seminar di luar negeri Ayah pasti akan pulang lama. "Oh ya Fann, kamu mau kuliah dimana?" Tanya Ayah saat kami bersantai di ruang keluarga. "Belum tahu yah, masih belum kepikiran." Balasku lesu. Kalau membahas tentang kuliah aku menjadi tidak bersemangat karena jujur aku masih belum bisa menentukan kemana aku akan memilih, jangankan universitas jurusan saja belum. "Mau jadi dokter kaya ibu dulu?" Tanya ibuku. "Ah, enggak nanti ujung-ujungnya disuruh sama suami berhenti kerja kaya ibu, padahal jadi dokter udah kuliahnya lama susah pula." "Hahahaha, dengerin tu Yah kata Fanny, Fanny aja tahu kuliah dokter susah, tapi kamu malah menyuruh aku berhenti kerja." Ibuku dulu bekerja sebagai Dokter di Rumah Sakit Swasta milik keluarganya, tapi semenjak mempunyai Kak Fero, ayahku menyuruhnya untuk berhenti kerja. Mau tak mau, ibu akhirnya mengalah dan menjadi ibu rumah tangga. "Kalau aku nggak menyuruh kamu berhenti bekerja, mana ada Fanny disini." "Hussh, kamu ngomongnya." Balas ibuku kesal. Sebenarnya mereka bicara apa kok aku malah nggak paham. "Atau kamu mau seperti kakakmu kuliah ke luar negeri?" Tanya Ayahku tiba-tiba. "Nggak ah Yah." "Astaga, kamu ini, jangan anggap main-main masalah ini, ingat jurusan dan tempat kuliah kamu menentukan nasibmu di masa depan, Ayah sarankan kamu memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan kemampuan kamu, jangan hanya minat saja tapi kamu malah nggak mampu mengikutinya, atau jangan hanya bisa tapi kamu nggak suka." Jelas Ayahku. "Iya-iya, Ayah tenang aja, nanti Fanny bakal segera tentuin kok." "Emm, tapi Yah, kalau aku. . ." Aku tidak melanjutkan ucapanku karena masih ragu akan hal itu. "Kalau apa Fanny?" Tanya Ayahku. "Nggak jadi Yah, Fanny mau tidur dulu, Selamat Malam Ayah Ibu." Ucapku kepada mereka. "Ya sudah, sana tidur, besok kamu ada jam pagi kan." Balas ibuku. Aku mengangguk lalu meninggalkan Ayah dan Ibu di ruang keluarga. Tapi saat aku berbalik aku masih bisa mendengar mereka sedikit berdebat. Entahlah apa itu, aku tidak tahu. "Astaga." Aku menepuk jidatku saat lupa mencari benda itu. Kata ibu kotak itu ada di gudang apa aku mencarinya sekarang, tapi kalau malam-malam gini pasti nggak diizinin Ayah sama Ibu, mungkin besok saja sebelum berangkat ke sekolah. Kucoba memejamkan mataku, tapi tak kunjung terpejam. Piliranku masih melalang buana tentang Adiemas. "Stop Fanny." Kataku dalam hati. Sebelum aku mulai berpikiran yang tidak-tidak aku harus segera menghentikannya . Kira-kira dia sedang apa ya? Tanyaku kemudian. Kenapa aku masih memikirkannya, sepertinya otakku telah terkontaminasi sama Adiemas itu, apalagi sejak dia menciumku untuk pertama kalinya. Astaga kenapa aku malah mengingat akan hal itu. Sial mungkin sekarang pipiku memanas. "Ting" Suara pesan membunyarkan lamunanku. Ternyata Adiemas mengirimiku pesan via w******p, tumben biasanya dia pakai Line. Adiemas Fanny, maaf ya besok aku tidak bisa antar kamu ke sekolah, ada urusan di luar. Lhoh kok dia mengirim pesan ini, emang sejak kapan dia bilang mau antar aku ke sekolah, kan biasanya aku sama Ayu. Fanny Hah? Adiemas Iya besok aku nggak antar kamu, maaf ya, Fanny Ok, santai aja BAGAS Adiemas Aku senang kalau kamu panggil aku dengan nama itu, Fanny Asal Bapak senang, Adiemas Aku bukan bapakmu, Fanny La kan emang bapak itu gurunya Fanny di sekolah, Adiemas Hemm, ya sudah, kalau pulang kamu ke ruanganku aja, siapa tahu kamu mau pulang bareng, haha,  Fanny Ge-er, udah ah aku mau tidur besok masuk jam ke-nol, nggak mau aku disuruh mungut sampah lagi. Adiemas Ya,  Selamat Tidur Fanny, jangan lupa mimpiin aku oke, kalau kamu nggak mimpiin aku, aku yang akan datang langsung ke mimpimu, Ini beneran Adiemas yang nulis, kok mendadak manis gini. Fanny Siap pak, Aku langsung meletakkan handphoneku di atas meja tanpa menunggu balasan darinya. Sepertinya hari-hari selanjutnya akan berjalan dengan indah. Benar kata orang berdamai dengan masa lalu membuat hidup kita menjadi tenang, dan aku memulainya dengan memaafkan teman kecilku. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN