Siapa dia
Siapa dia bagimu
Jadi selama ini aku itu apa
Apa aku hanyalah bayang bagimu?
Atau aku yang terlalu berharap padamu?
-Fanny Andreas-
****
"Jidatmu kenapa Fann, pakai diplester segala?" Tanya Ayu saat aku masuk si ruang kelas.
Tak hanya Ayu, teman-teman juga memandangku aneh karena adanya plester di jidatku.
"Tau ah, jangan ganggu aku." Balasku kesal.
"Awww." Teriakku
"Kok malah kamu pencet?" Keluhku padanya.
Ayu ini tahu temannya sakit bukannya diobati atau apa malah di pegang lukanya, ya jelas tambah sakit. Awas aja aku akan beri perhitungan sama dia.
"Kirain nggak sakit." Balas dia sambil tertawa terbahak-bahak.
"Udah Ay ketawanya, kalau belum selesai aku tungguin nih." Ujarku ketus.
"Iya, iya udah."
"Tadi kamu ke sekolah naik apa, sory ya nggak bisa jemput, tadi nganterin adikku dulu ke sekolahnya."
"Hemm, iya-iya aku maafin."
"Eh. . . .eh. .jangan dipegang lagi, sakit tahu." Ucapku saat melihatnya mau memegang lukaku lagi.
"Habisnya gemes, jawab dulu tadi kamu ke sekolah naik apa, jangan-jangan sama Pak Adiemas lagi ya?" Goda dia dengan kerlingan matanya.
Aku mendengus kecil, mana ada Adiemas yang ada itu ibu yang nganterin aku ke sekolah, pakai acara mogok pula motornya. Untung saja, tadi aku tidak terlambat datang ke sekolah.
"Sama ibuklah emang mau sama siapa lagi, udah ah sakit ini kepalaku."
"Kok bisa kaya gini sih cerita dong."
"Ya, aku ceritain awas aja ketawa."
Akhirnya aku mulai bercerita, kalian masih ingat kan dengan kotak yang aku cari semalam. Tadi pagi, setelah bangun tidur aku mengendap-endap masuk ke gudang untuk mencari benda itu.
Saat membuka pintu gudang, bau apek langsung menusuk hidungku. Bahkan aku sampai terbatuk-batuk beberapa kali. Aku memindai seluruh gudang sampai pandanganku lalu tertuju pada sebuah kotak yang ada di atas lemari, karena tak bisa menjangkaunya, akhirnya aku menggunakan kursi untuk mengambil benda itu.
Tapi naas saat aku berhasil mengambilnya, kursi yang ku gunakan tak kuat menahan bobot tubuhku hingga akhirnya aku terjatuh dengan posisi tengkurap. Lebih sialnya lagi, suara jatuhku membangunkan seisi rumah.
"Ya Tuhan, Fanny, apa yang kau lakukan Nak disini?" Tanya ibuku yang tergopoh-gopoh menghampiriku.
"Jatuh Bu, sakit." Keluhku
Aku meringis kecil merasakan perih di keningku.
"Lagian kamu ada-ada aja, ngapain pagi-pagi main ke gudang."
"Emm, cari barang."
"Barang?" Tanya ibu dengan menaikkan sebelah alisnya.
"Anu. . .itu pianika buat tugas kelompok kesenian."
"Emang sejak kapan kamu punya pianika?" Tanya Ibuku curiga.
Skakmat, aku lupa kalau aku tak punya pianika.
"Oww. . .tak pikir punya, kan dulu Kak Fero pernah ngajarin aku, hehe." Balasku canggung.
"Itu kan punya sepupumu Alya." Jelas ibuku.
Aku hanya menyengir lebar mendengar hal itu.
"Sudah sekarang kamu siap-siap berangkat ke sekolah, ini jam ke-nol kan, nanti kamu berangkat sama ibu aja, Ayahmu ada urusan bisnis."
"Oke." Jawabku
Saat ibu menghilang dari pandangan, aku langsung bergegas mencari kotak yang terjatuh tadi.
"Ahaa, ini dia, semoga isinya masih ada," ucapku saat menemukannya.
Perlahan ku bersihkan benda itu daei debu-debu yang menempel, kemudian kubuka untuk mengecek isinya.
Aku langsung memekik senang saat benda yang kucari ternyata masih utuh berada di dalam kotak itu.
"Woy Fann, malah bengong."
"Eh apa Ay?" Tanyaku masih dalam kekagetanku.
"Katanya mau cerita," balasnya.
"Kan tadi udah," ucapku.
"Ya Tuhan, tadi kamu ceritanya cuma bagian kamu masuk ke gudang, habis itu udah, kayaknya kamu kurang minum Aqua deh jadi nggak fokus."
"Ahh, males ah, pokoknya intinya aku jatuh di gudang."
"Awww, kenapa kamu tekan lagi?"
"Habisnya gemes liat luka kamu, pengen pegang." Jawab dia sambil tertawa.
"Tau ah." Balasku kesal lalu duduk du kursi dekat jendela.
Jendela di ruang kelasku ini tidak terbuat dari kaca, melainkan hanya ditutup dengan kayu model kusen tempo dulu.
Dari semua tempat di sekolah ini, hanya ruang kelasku yang masih mempertahankan model jendela ini.
Aku tidak tahu pasti alasannya, tapi dari desas-desus yang kudengar adanya jendela ini atas permintaan pemilik sekolah, yang sampai sekarang aku tidak tahu siapa dia.
Saat aku memalingkan wajahku ke arah jendela, mataku bersitohok dengan pemandangan yang membuat hatiku entah mengapa terasa perih.
"Bagas." Lirihku.
Jadi dia tidak bisa mengantarku karena dia, karena sosok wanita yang berjalan di sampingnya.
Aku mengernyitkan dahiku bingung saat menyadari aku belum pernah melihat wanita itu.
"Siapa itu Fann?" Tanya Ayu yang sudah ada di dekatku.
"Mana aku tahu." Balasku acuh tak acuh.
"Kok ada bau-bau cemburu ya disini?" Ledek dia lalu tertawa.
"Apaan sih Ay, nggak jelas banget," ujarku kesal.
Apa benar aku cemburu, tapi kenapa liat Adiemas jalan sama orang lain bikin kesel. Rasanya itu pengen maki-maki dia.
"Nah kan, cemburu, fix Fanny kamu pasti suka sama Pak Adiemas." Tambahnya.
"Dan lagi dia pernah menciummu kan?" Bisik dia di telingaku.
Mataku terbelalak kaget mendengarnya, nggak mungkin Ayu tahu kalau Adiemas menciumku. Aku saja tidak pernah bercerita kepadanya. Sudahlah, anggap saja dia hanya asal menebak.
"Mana ada kaya gitu, jangan ngaco deh." Belaku.
"Kalau nggak benar, kenapa pipinya merah, hahahaha, Fanny, Fanny."
"Udah Ay, pergi sana."
Aku memalingkan wajahku ke arah jendela, dari sini dapat kulihat dengan jelas bahwa Adiemas terlihat tertawa bersama wanita itu.
Kenapa rasanya sesakit ini, apakah aku memang memiliki perasaan padanya.
Aku masih melihat mereka sampai mataku bertemu pandang dengan Adiemas, sepersekian detik aku menatapnya. Entah kenapa dia menatap sendu padaku lalu secepat kilat mengalihkan pandangannya saat wanita yang berada di sampingnya menepuk pundaknya.
Tanpa sadar aku memegang benda yang bertengger di leherku, sebuah kalung pemberian Adiemas.
Dulu dia bilang kalau aku memakai benda ini, dia akan selalu berada di sampingku. Bullshit, semuanya hanya omong kosong belaka. Buktinya dia tetap pergi meninggalkanku.
Padahal susah-susah aku mencarinya bahkan kepalaku sampai terluka tapi aku malah dihadiahi pemandangan seperti ini. Kenapa aku bodoh sekali.
Segera kulepas kalung ini, kalung silver dengan liontin berbentuk kunci. Benda pemberian Adiemas sebelum dia pergi meninggalkanku.
Sepertinya aku tak butuh benda ini lagi. Setelah pulang sekolah aku akan mengembalikan kalung ini padanya. Buat apa aku menyimpan benda ini lagi, nggak ada gunanya.
****
Aku melihat sekelilingku, suasana sekolah tampak sepi. Wajar memang, karena sekarang waktunya pulang sekolah.
Tekadku sudah bulat untuk menemui Adiemas di ruangannya, kalung pemberiannya akan aku kembalikan hari ini juga. Masa bodoh dia menerimanya atay tidak, yang penting aku tidak mau lagi menyimpan benda ini.
Samar-samar aku mendengar percakapan dua orang berlawan jenis di dalam ruangannya. Aku mencoba mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka.
Ternyata di dalam sana terdapat Adiemas dan wanita tadi, kenapa mereka masih ada disini.
Dasar Adiemas itu memang laki-laki yang nggak bisa dipegang omongannya. Katanya mau antar pulang sekolah, tapi dia malah asyik-asyikan sama orang lain disini.
Aku lalu merapatkan tubuhku ke dinding, agar bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Adiemas kamu masih ingat kan dengan pernyataanku saat kita kuliah?"
"Maksudmu?" Tanya Adiemas balik.
"Aku cinta sama kamu Adiemas."
Apa jadi wanita itu mencintai Adiemas, nggak bisa dibiarkan. Aku harus mencegah mereka.
Aku berniat mendorong pintu ruangan ini, akan tetapi sebuah suara menghentikan aktivitasku.
"Aku juga mencintaimu Keysha." Ucap Adiemas.
"Deg."
Seperti ada sesuatu yang menusuk jantungku, rasanya sakit sekali.
"Kenapa aku menangis?" Tanyaku pada diriku sendiri saat menyadari ada sesuatu yang basah di pipiku.
"Treng."
Kalung dalam genggamanku jatuh ke lantai, sebelum mereka menyadari keberadaanku. Aku bergegas berlari menjauhi tempat itu.
Terus berlari tanpa arah untuk menghilangkan rasa sesak di dadaku. Entah kenapa air mataku terus mengalir, sebenarnya ada apa dengan diriku.
"Tes. .tes. .tes."
Suara tetesan hujan menggema di sekelilingku, tapi aku tak peduli. Yang kulakukan hanyalah terus berlari, sampai aku berhenti di tengah taman kota.
"Hiks. .hiks. .hiks."
Pertanyaan kenapa aku menangis terus berputar di kepalaku.
"Adiemas." Lirihku.
Mengapa rasanya sesakit ini, berulang kali ku pukul dadaku untuk menghilangkan rasa sakitnya.
Adiemas perlu kamu tahu, aku bukanlah hujan yang tidak bisa merasakan sakit meskipun berulang kali jatuh ke bumi.
Aku hanyalah manusia biasa yang bisa merasakan apa itu sakit, apa itu kecewa, dan apa itu kehilangan.
Untuk pertama kalinya aku membenci hujan, dan itu karena Adiemas.