Adiemas POV
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa senangku saat mengingat kejadian hari ini. Yah meskipun awalnya Fanny menolaknya akan tetapi pada akhirnya dia mau melakukannya. Saat bernyanyi tadi, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari wajahnya, dia terlihat berkali-kali lebih cantik, Tapi bukan berarti di hari biasnaya dia tidak cantik Oke walau sebenarnya poin utamanya bukan tentang hal itu. Melainkan tentang dia yang mau kuajak pulang bersama, hal itu berarti dia sudah tidak marah lagi denganku, yah semoga saja.
Wanita yang sedang aku bonceng ini, juga punya pengendalian yang bagus. Masih kuingat eksprsi dia saat ditunjuk menjadi MC. Bisa kutebak bahwa dia belum tahu bahwa hari ini dia adalah pembawa acara di Dies Natalis.
"Fann, kamu nggak tidur kan?" Tanyaku padanya saat menyadari tidak ada suara Fanny.
"Heh. . .eh. .apa, aku nggak kedengeran?" Tanya dia balik.
"Berarti kamu memang nggak tidur, buktinya kamu bisa menjawab pertanyaanku." Ucapku padanya.
"Suka, suka kamu sajalah." Balas dia kesal.
Aku yang mendengarnya hanya bisa terkekeh kecil. Tiba-tiba aku merasakan beban berat di punggungku, bisa kutebak bahwa Fanny menyenderkan tubuhnya di punggungku.
"Fann?"
Tidak kudengar sahutan darinya, jangan-jangan dugaanku benar dia tertidur. Astaga Fanny, bisa-bisanya kamu tertidur di boncengan motor, kalau jatuh gimana. Ternyata kebiasaan dia sedari kecil tidak hilang juga, suka tertidur saat dibonceng.
Tanpa pikir panjang lagi, kuraih kedua tangannya untuk melingkar di perutku, tangan kiriku menggenggam erat kedua tangannya agar dia tidak jatuh.
Aku menggelengkan kepalaku pelan tanda gemas dengan Fanny saat ini. Katanya tidak tidur tapi tenyata tidur juga dia. Yahh mungkin karena dia kelelahan mengingat kegiatan hari ini yang menguras banyak energinya.
Sebenarnya aku ingin membawa dia ke suatu tempat tapi karena dia tertidur di tengah jalan jadi lain kali saja. Kuharap saat itu aku belum terlambat, apalagi melihat Fanny yang seperti itu. Kalian tahu bukan, bahwa sampai sekarang dia masih belum memaafkanku.
Tapi yang aku tahu, saat aku pergi. Fanny mendadak sakit sampai dirawat di rumah sakit. Waktu itu, aku ingin sekali pulang. Bahkan aku nekat pergi sendiri ke Bandara hanya untuk pulang menemui Fanny. Akan tetapi ayahku berhasil menemukanku sebelum aku berhasil naik pesawat.
Ayah bahkan mengancam tidak akan mengizinkanku bertemu Fanny selamanya, jika aku nekat menemui Fanny hari itu. Sebagai anak aku hanya bisa pasrah dan menurut.
Sejak kejadian itu, nenek semakin mengawasiku. Aku salut dengan ibu yang bisa menghadapi sikap nenek yang sedikit keterlaluan atau mungkin sangat keterlaluan. Ibu tak pernah mengeluh sedikitpun atas perlakuan nenek padanya. Bahkan saat nenek memintaku untuk tinggal bersamanya ibu sama sekali tidak membantah karena itu adalah konsekuensi ibu yang tetap bertahan dengan Ayahku.
Tiba-tiba kurasakan punggungku terantuk sesuatu, Fanny tampaknya sedang mempertahankan kesadarannya.
"Fann?" Tanyaku padanya sambil terus memegang tangannya.
Perjalanan masih jauh, kami bahkan baru menempuh setengah jalan. Apalagi hujan terus mengguyur kami, walaupun hanya gerimis kecil, tapi tetap saja hal itu bisa membuat gadis yang sedang kuboncengkan sakit.
"Fanny?" Panggilku kepadanya.
Aku berharap dia tidak tertidur lagi.
"Apa?" Tanyanya sambil menguap.
Bisa kupastikan dia pasti masih mengantuk.
"Jangan tidur." Pintaku padanya.
"Aku nggak tidur cuma merem doang." Kilah dia.
"Mana ada nggak tidur sampai mau jatuh, untung tangan kamu aku pegang." Ucapku padanya lalu terkekeh kecil.
"Hah." Sepertinya Fanny baru sadar kalau tangannya melingkar sempurna di perutku.
"Apa-apa sih, lepasin." Tambahnya marah dan berusaha melepaskan tangannya dari genggaman tanganku.
"Nggak, nanti kamu malah tidur lagi." Ucapku padanya.
"Kan aku sudah bilang aku tidak tidur." Kekeh dia padaku.
"Terserah kamu, pokoknya aku nggak akan lepasin tangan kamu sebelum kita sampai rumah."
"Huhh, dasar." Keluh dia.
"Kok lama banget sampainya?" Tanyanya.
"Kamu nggak lihat apa kalau sekarang hujan, apalagi tadi kamu tertidur mana berani aku ngebut." Jelasku padanya.
"Yaya deh, aku ngaku salah." Ucapnya menyesal.
"Sekarang kamu pengangan yang erat, aku akan ngebut."
"Siap." Balasnya tertawa.
****
"Fanny." Panggilku padanya saat di mau memasuki rumahnya.
"Ada apa?" Tanyanya.
"Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya." Pintaku padanya.
"Penjelasan apa lagi?" Tanya dia marah.
Aku maklum akan hal itu, dia pasti akan berubah sensitif jika membahas hal itu.
"Aku mohon Fann." Pintaku lagi.
"Kamu mau menjelaskan kalau kamu nggak pernah peduli sama aku, kemana kamu selama enam tahun ini?" Tanyanya dengan mata berkaca-kaca, melihatnya membuatku tak tega.
"Maafkan aku Fann." Ucapku lalu berjalan mendekat ke arahnya untuk memeluknya.
Awalnya dia menepis tanganku tapi akhirnya aku berhasil memeluknya.
"Maafkan aku Fanny, aku memang salah, tapi sekarang aku kembali untukmu."
"Kemana aja kamu selama ini?" Tanyanya padaku.
Mungkin sudah saatnya aku jujur padanya.
"Kan sudah kukatakan dulu kepadamu bahwa aku ke rumah nenekku." Ucapku padanya sambil terkekeh geli.
"Adiemas." Ucap dia kesal.
"Rasain ini." Ucapnya sambil memukul dadaku.
Aku langsung memegang kedua tangannya.
"Iya, iya, janji dulu setelah ini jangan marah lagi."
Dia ahirnya terdiam.
"Apa yang ingin kamu tahu dariku?" Tanyaku padanya.
Pertanyaanku membuat matanya mengerjap-ngerjap lucu, perbuatannya itu membuatku gemas sendiri.
"Malah ketawa." Keluh dia.
"Habisnya kamu lucu." Ucapku sambil menhacak rambutnya.
Bibirnya mengerucut kecil dan itu tak lepas dari penglihatanku, membuatku ingin merasakannya lagi. Sial Adiemas apa yang kamu pikirkan.
"Huhh, kemana aja kamu selama ini, kenapa tidak pernah menemuiku."
"Aku jujur padamu bahwa aku tinggal di Bandung dan kenapa aku tidak menemuiku, itu karena perintah dari nenekku yang nggak bisa aku tolak. Karena kalau aku nekat balik kesini, nenek akan membawaku ke luar negeri, dan jika hal itu terjadi aku tidak akan berdiri di hadapanmu sekarang ini."
"Tapi kenapa, bahkan kamu tidak pernah bertukar kabar denganku?"
"Aku punya tanggung jawab besar, dan soal aku tidak pernah bertukar kabar denganmu tanyakan saja pada kakakmu Fero."
"Hah, kak Fero tahu semuanya?" Tanyanya bingung.
"Ya, dia yang melarangku untuk bertemu denganmu sebelum aku mampu mengemban tanggung jawab itu."
"Huhh, memangnya apa yang harus kamu emban Adiemas?" Tanyanya padaku.
Aku mengernyitkan dahi sejenak, pada akhirnya dia akan menanyakan hal itu, tapi untuk sekarang belum saatnya aku bercerita padanya.
"Suatu saat kamu akan tahu, belum saatnya kamu tahu hal itu sekarang."
"Tapi kapan?" Tanya dia.
"Tenang aja, kapan-kapan aku cerita, tapi nilai matematika kamu bagusin dulu, masak dari semua pelajaran hanya matematika yang nilainya merah." Ucapku sambil terkekeh kecil.
"Biarin." Balasnya sambil memberengut kesal.
"Cup"
Aku tidak tahan lagi untuk mengecup bibir mungilnya.
"Jangan tampilkan ekspresi itu kepada orang lain, mengerti." Pintaku tegas.
Fanny hanya diam, sepertinya dia masih syok dengan ciuman tadi.
"Sudah ya aku pamit dulu, sleep tight, Fanny." Aku langsung pamit kepadanya, sebelum mendapat kemarahan dari Fanny.
"Adiemas." Teriak Fanny.
Apa aku bilang Fanny pasti akan marah, untung aku sudah kabur. Kulihat dia mengehentakan kakinya masuk ke rumah, tapi aku masih bisa melihat rona merah di wajahnya.
****
Author POV
"Drt drtt drtt drtt."
Suara handphone menghentikan aktivitas Adiemas saat memeriksa e-mail masuk di laptopnya.
"Halo, ada apa?" Sapanya
Terdengar suara wanita menyambut sapaan Adiemas.
"Iya tenang aja, besok aku jemput kok, kamu sudah siap kan bekerja disini."
Wanita disana hanya membalas dengan dengan tertawa kecil.
Mereka lalu memulai obrolan panjang.
"Udah dulu ya, besok kamu siap-siap aja."
Adiemas lalu menutup teleponnya dan kembali melanjutkan pekerjaannya yang teetunda.
Sementara wanita yang baru menelepon Adiemas tersenyum senang, dia mengambil figura foto yang terletak di atas meja, memandangi potret seorang laki-laki dan wanita yang memakai jas almamater yang sama sedang tersenyum menghadap kamera.
****