Nasim bertanya-tanya mengenai Jihan hari ini. Sorot mata gadis itu berbeda dari biasanya, tidak secerah dan selembut biasa yang sering Nasim dapati dari mata Jihan saat menatap sekelilingnya. Bukan pula tatapan sedih dan sayup, seperti waktu Jihan menemani Zia dalam keadaan kritis. Bukan pula tatapan kesal saat Jihan melihat Jina yang terus membuat ulah. Nasim tidak tahu apa yang terjadi, tapi firasatnya mengatakan ada hal buruk yang terjadi.
Seharian Nasim mengulang pertanyaan serupa dengan kalimat yang beragam, Ada yang ingin kamu sampai, kan? Kenapa kamu terlihat tidak seperti biasanya? Apa boleh saya tanya sesuatu ? Apa ada sesuatu yang menganjal? Apa saya bisa membantu? Nasim bak kaset rusak yang membawa pertanyaan itu langsung pada Jihan. Namun Jihan selalu berusaha menganti topik setiap kali Nasim berhasil membawa pertanyaan itu keluar.
Nasim tidak berdaya, kali ini usaha terakhirnya di penghujung hari sebelum Jihan pulang meninggalkan ruang inap Zia.
"Jihan, mau pulang sekarang? "
Jihan melirik ke arah ruangan Zia, mendapati kedua orang tuanya Zia yang berada di sana. Barulah, Jiha mengangguk pelan. Lagi-lagi, Nasim mendapati sorot mata berbeda Jihan, bukan cemas atau takut, lebih dalam dari itu, yang Nasim juga tidak mengerti.
"Besok datang lagi, kan? " tanya Nasim. Nasim mengernyit bingung mendapati ekspresi Jihan yang nampak kaget akan pertanyaan barusan. Itu pertanyaan biasa, bisa dibilang pertanyaan basi. Pertanyaan yang selalu Nasim lontarkan setiap kali Jihan akan pulang. Biasanya Jihan akan membalas dengan tersenyum disertai anggukan kepala dan ucapan insya Alllah sebagai penutup.
"Kakak, masih akan terus berjaga di sini, kan?" Jihan malah balik bertanya.
Nasim berdeham pelan, spontan mengaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal. Jihan terus melakukan pola yang sama. Menimpal pertanyaan dengan pertanyaan.
"Soalnya kasihan Zia kalo gak ada yang jaga. Selama pelakunya belum tertangkap, Zia bakal selalu dalam bahaya." Jihan terdiam sesaat, pandangnya menerawang jauh. "Bahkan sistem keamanan rumah sakit, tidak bisa menghentikan pelaku untuk masuk ke sini," gumam Jihan pelan.
Jihan seperti lupa akan kehadiran Nasim di sana. Nasim menemukan jawaban dari pertanyaannya. Jihan tersadar setelahnya, dan kembali berusaha menganti pembicaraan, tapi Nasim tidak membiarkan itu terjadi.
"Aku harus pulang sekarang, Kak. Hari makin malam ...." Itu senjata terakhir Jihan untuk menghindari pertanyaan Nasim. Jihan berusaha kabur. Nasim segera menghentikan langkahnya. Mau tidak mau, Jihan berhenti dengan kepala menunduk. Belum siap menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Selanjutnya yang terjadi, Jihan hanya memantung di tempat. Tidak bersuara meski Nasim terus memohon untuk menjelaskan apa yang terjadi.
"Jihan ...." panggil Nisam, mulai menyerah. "Kamu yakin semua baik-baik saja?"
Lagi-lagi Jihan hanya mengangguk kecil, tanpa bertanya pun, Nasim tahu kalo itu hanya anggukan terpaksa. Nasim tidak bisa memaksa Jihan untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Saya harap semua memang benar-benar baik." Nasim menghela napas berat.
"Baiklah, kalo gitu ...." Nasim mengakhiri kalimatnya dengan intonasi suara ringan, tidak seserius tadi, kemudian tesenyum kecil, berharap Jihan tidak lagi merasa terintimidasi dan berpikir kalo dirinya sudah percaya apa yang Jihan katakan. Dan itu berhasil, perlahan Jihan kembali mengangkat kepalanya, menghela napas kecil dan ikut tersenyum.
Seperginya Jihan, Nasim termenung, menyenderkan tubuhnya di kursi dingin rumah sakit, memandang hampa atap tinggi rumah sakit yang di d******i warna putih s**u. Ada perasaan tidak nyaman menyelip di hatinya. Rasanya Nasim tidak ingin membiarkan Jihan untuk pulang sendiri malam ini. Dua menit, tiga menit, Nasim memciba mengabaikan perasaan itu, tapi yang terjadi malah perasaan itu makin menguap. Membuat Nasim duduk gelisah.
Malam-malam sebelumnya, Nasim selalu berharap bisa mengantar gadis itu pulang, lalu sedih saat Jihan menolak karena lebih memilih menggunakan angkutan umum, untuk menghindari fitnah tetangga. Ya, hanya sebatas sedih, tidak segusar malam ini.
Ada sesuatu yang berbeda malam ini, dan Nasim tidak tahu apa. Nasim mengendarkan pandangnya pada bangkun kosong di sebelahnya dan tertegun mendapati ponsel yang sangat dia kenali, tergeletak di sana. Ponsel Jihan tertinggal.
Nasim buru-buru berlari, mengejar Jihan keluar. Berharap gadis itu belum jauh. Senyum mengembang di wajahnya, begitu mendapati Jihan yang tengah berjalan menuju jalan. Nasim mengatur napasnya sesaat, mengumpulkan suara untuk memanggil Jihan yang berada sepuluh meter dari pandangannya, di seberang jalan.
"Jihan ....hp kamu ketinggalan," seru Nasim, sembari melambai-lambaikan ponsel milik Jihan ke udara. Jihan menoleh, raut wajahnya sedikit kaget, matanya menyipit sesaat ke arah benda pipih di tangan Nasim, sedetik selanjutnya gadis itu tersenyum ke arah Nasim.
"Ponsel kamu ketinggalan di kursi tadi," tambah Nasim lagi, dari seberang sana, Jihan mengangguk-ngangguk kecil, memberi isyarat kalo dia akan ke sana menghampiri Nasim. Nasim setuju.
Jalanan malam itu terasa lengah, tidak banyak motor dan mobil yang lalu lalang.
Jihan segera menyeberang, pandangan matanya lurus ke depan, ke arah Nasim yang menantinya. Tangan gadis itu spontan melambai-lambaikan ke arah Nasim. Nasim mengangguk dengan tidak sabar menanti Jihan. Mereka seolah dua orang yang sudah lama terpisah dan kembali bertemu malam ini. Ada perasaan bahagia yang terasa aneh.
"Jihan, awas!" teriak Nasim spontan, saat tiba-tiba dari arah kanan Jihan, motor melaju dengan sangat cepat, sengaja hendak menghantam tubuh mungil Jihan. Jihan terplanting di tengah jalan, darah mengalir darah di kepalanya. Jihan menoleh ke arah Nasim, senyum pada mata gadis itu perlahan hilang. Nasim segera berlari menerobos mobil yang kaget dan berhenti. Motor dan mobil mulai berhenti, mengerumi Jihan yang tergolek tak berdaya di aspal dingin jalan.
"Ashaduallah .... illahaillah Wa Ashaduana Muhammada Rusullullah ...." Jihan menghembuskan napas berat, memuntahkan semua darah dari mulutnya. Nasim sampai, tapi terlambat, mata gadis itu sudah tertutup.
"Nasim, lo kenapa?" goyongan keras pada bahu Nasim, menyadarkan Nasim dari mimpi mengerikannya. Nasim mengerjap, menoleh, mendapati Fajar duduk di sampingnya dengan wajah cemas.
"Lo kenapa? Kayaknya lo kelelahan deh, mending lo pulang. Biar malam ini gue jaga sendiri, " ujar Fajar. Nasim masih belum bisa mencerna cepat perkataan Fajar barusan, setengah dirinya rasanya masih tertinggal di alam mimpi.
"Sim, lo jangan bengong gitu dong." Fajar kembali mengoyangkan bahu Nasim, kali ini lebih lembut dari sebelumnya.
"Gue takut kalo lo bengong, entar kesurupan, gue kan gak bisa ngeruqiyah orang, gue bisanya ngeruqiyah Cimau, kucing gue yang suka ngereog." Fajar terkekeh pelan, Nasim masih diam saja, mencernah dan menyakini kalo tadi hanya mimpi.
Fajar menghentikan tawanya, sadar kalo itu hanya lucu sepihak. "Ya udah mending lo pulang sekarang."
Kali ini, Nasim mengangguk pelan.
"Eh, itu ponsel lo bukan? Tuh, ponsel lo ketinggalan." Fajar menunjuk ke arah bangku kosong di sebelah Nasim. Nasim menoleh dan mendapati benda pipih yang sangat ia kenal.
"Itu bukan ponsel lo, ya?" bingung Fajar mendapati Nasim yang nampak kaget.
"Bukan," sahut Nasim, lalu mengambil ponsel itu. "Ini ponsel punya Jihan ... biar besok gue balikin."
"Oke. Hati-hati lo di jalan. Kata si Eko, sekarang kecelakaan motor malam-malam sering banget kejadian." Perkataan Fajar membuat Nasim tertegun, kembali teringat mimpinya.
"Kan gak lucu, mantan polisi lalu lintas meninggal di jalan karena kecelakaan," tambah Fajar yang lagi-lagi hanya berusaha membuat suasana menjadi ceria, tapi Nasim malah semakin mengerutkan dahi. Kembali teringat mimpinya.
Nasim menghela napas panjang, meraih ponsel Jihan, pamit pulang pada Fajar. Nasim berjalan menuju parkiran, mengambil motornya yamg terparkir paling ujung, di antara dua motor besar yang menghalangi jalan motornya.
Nasim harus memindahkan beberapa motor, agar motornya bisa melaju. Perkerjaan yang cukup melelahkan untuk dikerjakan tengah malam seorang diri, dengan udara malam terasa dingin menyengat kulit.Nasim merapatkan jaketnya, biarkan tubuhnya kepanasan ketimbang mengiggil kedinginan.
Begitu motornya berhasil keluar, Nasim segera merogoh jaket kulitnya untuk menyekat keringat dari wajahnya. Nasim tidak hanya mengeluarkan sapu tangan dari sakunya, tapi juga ponsel Jihan yang dia letakkan di saku yang sama.
Tiba-tiba ponsel Jihan bergetar, ada notifikasi pesan masuk, di layar depan terpampang pop up dari pesan yang masuk dengan identitas nomor yang tidak dikenal. Nasim tidak sengaja melihatnya, keningnya langsung berlipat begitu membaca sepenggal dari pesan itu.
**