Sesampainya di kantor, wajah kesal dan marah terbingkai pada wajah cantik Jina. Semua pria yang melihatnya masih saja terpesona, meski sekarang Jina sama sekali tidak berniat menarik perhatian mereka. Jina sampai ke kantor dengan membawa mobil polisi seorang diri, sebuah hal yang tidak pernah dia lakukan selama berkarir menjadi polisi wanita. Ada banyak polisi pria yang bersedia dengan senang hati membawa mobil, berkeliling mana saja, asal bersamanya. Bersama wanita paling cantik di kantor. Namun, hari ini, Nasim benar-benar membuatnya berang, Nasim lebih memilih wanita itu. Wanita yang menurut Jina, sama sekali tidak pantas menjadi sainangnya.
Sialnya, sikap Nasim itu malah membuat Jina semakin jatuh hati padanya. Lebih jatuh dari pada dulu, saat Nasim menyukainya dan rela melakukan apa pun untuknya. Menurut Jina, Nasim yang seperti itu terlihat seperti badut yang hanya bisa membuat terhibur tanpa bisa membuatnya tertarik. Nasim yang hanya menurut bagi anjing peliharan, itu membosankan. Jina lebih suka Nasim yang seperti ini. Nasim, yang menatapnya acuh, itu lebih menyenangkan ketimbang Nasim yang menatapnya dengan cinta, itu terlihat seperti orang bodoh.
Jina tidak terlalu suka cinta. Bagi Jina, cinta hanyalah perasaan bodoh yang pernah ada. Cinta baginya adalah kemenang. Saat dia meang, itulah cinta.
"Apa Nasim sudah sampai?" tanya Jina pada Seno. Seno mengendarkan pandangannya, sebelum menggeleng pelan.
Jina menghela napas kesal, pesannya bahkan tidak dibaca oleh Nasim.
"Beri tahu gue kalo dia udah sampai," ujar Jina, belum sepenuhnya berbalik menuju bilik kerjannya, suara twa khas Nasim dan suara tawa malu-malu Jihan terdengar menyapa indra terlinga Jina, menghentikan langkah gadis itu, tapi tidak serta merta membuat tubuhnya kembali berbalik. Jina tahu, pemandangan apa yang akan dia liat jika berbalik.
"Itu Nasim baru sampai," ujar Seno, mengalihkan pandangnya pada layar komputer ke arah Jina lalu ke arah Nsim dna Jihan.
Jina mencoba meredam rasa marahnya, berniat tampil baik di mata Nasim. Tapi itu gagal, Nasim sampai di bilik Seno untuk meminta berkas pemeriksaan, Jina masih bergelut dengan gelombang kemarahannya. Jina menyerah, berbalik, memandang sinis Jihan.
"Oh jadi gitu, polisi teladan. Datang ke kantor ketawa-ketawa bareng cewek ...," Jina melirik Jihan, makin tajam. "Semenjak kenal cewek ini, Nasim jadi kayak gini. Lo emang biasa ya bawa pengaruh buruk ke orang?! "
"Jina, lo bisa diam gak sih? " Fajar, tiba-tiba datang menyela perkataan Jina. Jina mendelik, tidak suka akan kehadiran kakak tirinya itu, tapi tidak menyahut. Sialnya, gara-gara kemarahan kemarin, semua orang kini tahu kalo pria berkulit sawo matang itu adalah saudara tirinya. Satu ibu beda ayah.
"Ini kantor kalo lo lupa, jangan buat keributan lagi! Gue mohon! " sindir Fajar.
Jina memicing kesal, ingin menyahut, jika saja kepala tim tiba-tiba datang, menyapa mereka untuk menanyakan perkembangan kasus yang menimpah Zia. Semua orang sibuk menjelaskan, sedangkan Jina sibuk menatap Jihan, berharap gadis itu merasa terintimidasi dengan tatapannya dan dengan cepat pergi dari sini. Namun, diluar dugaan, Jihan bukan gadis lemah seperti yang Jina duga. Jihan balas menatap Jina dengan tatapan lebih dingin dari dirinya, 'Kamu pikir saya takut? ' fakta itu seolah menampar Jina, telak.
Setelah semuanya selesai, Jihan hendak balik ke rumah sakit untuk menjaga Zia. Nasim langsung menawarkan diri untuk mengantar, jelas Jina tidak akan membiarkan semua ini berjalan semulus itu. Jina ngotot ingin diantarkan juga ke rumah sakit. Jina tidak peduli, setelah itu ia harus pulang ke rumah dmegan jarak dua kali lipat lebih jauh.
"Gue mau ikut, titik!" Keras kepala Jina. Nasim melirik ke arah Jihan. Tanpa keduanya sadari, Jihan sebenarnya suka jika Jina ikut, Jihan awalnya ingin menolak saat Nasim bersikeras mengatarnya dengan mobil. Bagaimana pun, Jihan tahu, mereka berdua bukan mukhrim, berada di dalam mobil berduaan bukanlah hal yang baik.
"Lo boleh ikut, asal lo gak buat ulah lagi," seru Nasim, akhirnya. Nasim tahu seberapa keras kepalanya Jina. Jika ditolak itu akan semakin menimbulkan banyak masalah. Nasim bingung, kenapa dia bisa mencintai oramg semacam Jina, keras kepala.
Memang benar, setiap musibah membawa hikmah. Nasim bersyukur akan hal itu. Nasim tidak bisa membayangkan bagaimana jika kemarin dia benar-benar menikahi Jina ...entah berapa lama usia pernikahan itu akan ada.
Dengan cepat, Jina duduk di bangku depan sebelah bangku pengendara, meninggalkam Jihan di bangku belakang. Jina pikir, Jihan akan kebakaram jengot sepanjang jalan, tapi lagi-lagi dugaannya salah! Jihan nampak biasa saja, terlebih lagi, Nasim yang sama sekali tidak peduli akan kehadirannya di sana. Dan diam-diam malah sering mencuri pandang ke arah Jihan.
"Terima kasih, tumpangannya, Kak ...." Jihan bergegas keluar. Begitu pun dengan Jina yang langsung diusir Nasim keluar dari mobil, karena Nasim harus balik ke kantor.
Jina langsung mencegat langkah Jihan.
"Jangan ngerasa menang dulu lo ...,"bisik Jina tajam. Jihan memutar bola mata, malas.
"Ngapain saya menang ? Saya gak sedang berkompetisi. Kalo kamu mau memang, ya silahkan. Selamat menjadi peserta satu-satunya, kamu juara pertama dari satu orang. Puas?!" geram Jihan.
Jina mendelik, hendak membalas perkataan tajam Jihan, tapi kalah cepat. Jihan menerobos tubuh Jina dan berlalu pergi meninggalkan Jina yang masih menggertu kesal.
"Gak ngerti lagi, kenapa ada manusia macam Jina ....," gerutu Jihan tanpa sadar. Jihan tidak mengerti kenapa Jina terus saja mengancamnya, membuat Jihan geram.
Karena marah, Jihan sampai tidak memperhatikan langkahnya. Gadis itu berjalan cepat, tanpa melihat kanan-kiri, Jihan menabrak seseorang pria yang berjalan cepat di hadapannya.
"Eh, maaf, saya tidak sengaja." Spontan Jihan langsung berjongkok memunguti kertas-kertas yang berserakan di hadapannya, miliki pria itu. "Biar saya bantu punggutin kertasnya."
"Tidak masalah ..," jawab pria itu ceoat. "Tidak perlu, biar saya saja. Kamu pasti sedang buru-buru, saya tidak sedang terburu-buru ..." Pria itu makin menundukkan kepalanya, menyembunyikan setengah wajahnya yang sudah tertutup masker.
"Tidak, saya juga tidak sesang terburu-buru," jawab Jihan, masih sibuk memunguti kertas milik pria itu.
"Jangan ambil kertas itu!" sentak pria itu tiba-tiba, dengan gerakan cepat meraih kertas berwarna cream, berbeda dari kertas yang lain, menjauh dari jangkauan tangan Jihan.
"Terima kasih sebelumnya, tapi saya tidak butuh bantuan kamu. Saya tidak yakin kamu tidak terburu-buru datang ke sini, pergi lah, mungkin sahabatmu sudah menunggu," ujar pria itu, kalimat pria itu belum sepenuhnya Jihan mengerti, pria itu langsung bangkit dan berjalan cepat meninggalkan Jihan.
"Sahabat? Dari mana pria itu tahu, kalo aku ke sini buat ...." Jihan seketika tersadar. "Jangan-jangan pria itu ..."
**