'Saya tidak main-main ! Datang besok temu saya .....'
Nasim mendesah kesal, pesan itu hanya sampai di situ. Nasim tidak bisa membaca kelanjutan dari pesan itu. Ponsel Jihan di kunci. Nasim tidak tahu apa kata sandi ponsel Jihan, meski gadis itu pernah memberitahunya.
"Dari kalimatnya, kenapa gue ngerasa kalo Jihan sedang diancam? Apa mungkin perubahan sikap Jihan, karena dia di ancam?" Nasim mengangguk yakin.
Malam itu , Nasim mengurungkan niatnya untuk kembali ke rumah, pulang dan istirahat. Motor besarnya malah melaju membelah jalan berlawanan dengan jalan pulangnya. Nasim memutuskan untuk kembali ke kantor, meminta temannya melacak nomor ini. Semalam Nasim tidak tidur demi mendapat jawaban atas pertanyaan sederhana, sorot mata Jihan.
Keesokan harinya, Nasim berlagak seolah dia tidak menemukan ponsel Jihan. Nasim segaja datang lebih awal dari Jihan dan meletakkan ponselnya di atas nakas yang berada di sebelah tempat tidur Zia.
"Zia, tolong jangan salah paham pada saya, saya melakukan ini demi Jihan. Saya sangat menyayanginya dan tidak ingin hal buruk terjadi padanya," gumam Nasim pada Zia yang tidak menyahut sedikit pun, Zia masih koma, hanya suara alat-alat di sekitarnya yang seolah menjawab perkataan Nasim. Nasim yakin meski koma, Zia bisa mendengar apa yang dia katakan. Nasim pamit dari sana setelah selesai dengan rencananya.
Tidak lama, dari kejauhan terihat Jihan berjalan terburu-buru. Pandangnya, fokus pada pintu kamar Zia, seolah pintu itu akan hilang, jika ia mengalihkan pandangnya. Raut wajahJihan terlihat lebih cemas dari kemarin. Jihan berlalu begitu saja, mengabaikan Nasim yang sejak tadi menyapanya.
Tidak lama, pintu rawat inap Zia kembali terbuka. Jihan keluar dari dalam ruangan, raut wajah sedikit lebih rileks meski masih menyisahkan garis cemas di sana.
"Syukurlah, ponselnya ada di sini," ujarnya pelan. Pupil mata Jihan kini menangkap keberadaan Nasim, yang sendari tadi duduk di kursi seperti biasa.
"Gak kuliah hari ini?" tanya Nasim berbasa-basi. Mata Jihan terangkat, Nasim memperhatikan tangan Jihan yang masih memegang erat ponselnya, seolah sangat takut kehilangan benda pipih itu.
"Ada. Pukul setengah delapan tadi. Sudah lewat," jawabnya pelan.
Kening Nasim mengerut, bagaimana bisa Jihan melewatkan mata kuliah semudah itu. Nasim ingat betul, Jihan pernah masuk sekolah sejam setelah rawat inap di rumah sakit karena tipes.
"Aku gak mau ada absen kosong di absenku"—itu yang Jihan katakan pada temannya, yang tidak sengaja Nasim dengar karena berpapasan.
Dan sejauh yang Nasim lihat, Jihan masih begitu sesemangat dulu. Di tengah kesibukannya menjaga Zia, Jihan selalu meluangkan waktunya untuk mengerjakan tugas kuliah.
"Aku tadi terburu-buru datang ke sini. Semalaman aku tidak tidur lantaran mencemaskan ponsel ini. Ponsel ini gak boleh hilang."
"Memangnya ada apa di ponsel itu?" tanya Nasim. Jihan sontak salah tingkah, gadis itu nampak mengedip berberapa kali mencoba menyembunyikan rasa gugup dan takut dari wajahnya.
"Aku mungkin tidak akan punya ponsel lagi," cicit Jihan, setelah berhasil mencari jawaban yang tepat dari pertanyaan Nasim.
Nasim ber'oh' pelan."Bukankah kamu pernah bilang, terkadang kamu bosan dengan ponsel. Kamu juga sering menyimpan ponsel itu di kotak dan membiarkannya selama satu bulan lebih."
"Itu dulu ...," sahut Jihan terlalu cepat, gadis itu tertegun sesaat, menyadari pernyataan tadi malah membuat Nasim berhasil mengendus rasa cemasnya.
"Sekarang semuanya beda," tambah Jihan, pelan.
"Beda? Apa sesuatu telah terjadi? "
Jihan kembali terdiam.
"Masih belum mau cerita? "
Raut wajah Jihan berubah kaget, dua detik berikutnya, gadis itu berusaha mengendalikan ekspresi wajahnya. "Cerita tentang apa? Tidak ada yang perlu saya ceritakan, Kak."
"Orang itu mengancammu, karena itu kamu takut." Kalimat Nasim barusan seperti pukulan telat bagi Jihan. Jihan mendelik, kaget, bingung, bercampur aduk di benaknya. "Saya ada bersama kamu, Jihan. Apa itu tidak cukup membuatmu percaya? "
Bukan itu faktanya! Jihan sangat mempercayai Nasim, tapi Jihan tidak bisa mengambil resiko akan keselamatan Zia.
"K-Kakak bicara apa? "
"Serahkan CCTV itu. Itu bisa menjadi petunjuk bagi kita untuk menemukan pelaku yang membuat Zia seperti ini."
Tangan Jihan mendadak gemetar. "Jadi Kakak sudah tahu?"
Nisam diam membisu. Keheningan mengudara. Keduanya sama-sama terdiam dengan kepala yang terus bersuara. Keheningan berakhir, saat dering ponsel Jihan bersuara nyaring, panggil masuk dari nomor tidak di kenal, Jihan terpaku sesaat, Nasim segera mengambil alih ponsel itu dan menekan speker.
"Sial! Lo coba lacak nomor gue! Lo bakal terima balasan dari gue! Zia akan mati—"
"Tidak! " Jihan memekik, takut, tangannya yang gemetar tanpa sengaja menepis keras ponsel yang ada di tangan Nasim. Benda pipih itu mengelinding di lantai, tidak ada suara yang terdengar lagi.
Nasim segera menenangkan Jihan. Nasim tahu betul sepertia apa Jihan, gadis itu terlihat tenang dari luar, tapi begitu kompleks di dalam. Jihan terlalu pemikir, dia pasti memikirkan semua ini. Kantong mata Jihan yang terihat lebih hitam dari biasanya sudah menjawab, bahwa dua hari belakangan Jihan tidak bisa tidur atau beristirahat dengan tenang.
"Ini yang saya takut, kan, Kak. Orang itu pernah begitu dekat dengan Zia. Dia mungkin sudah masuk ke ruangan ini. Dia berhasil masuk ke sana tanpa ada yang curiga," jelas Jihan, matanya berkaca-kaca, ada gumpalan tangis yang dia tahan dibibirnya. Suaranya parau dan gemetar.
"Dia terus mengancam saya, saya takut. Semalam dia mengirim foto Zia, saat insiden malam itu. Dia berkata, jika CCTV ini tidak saya berikan, dia akan benar-benar membunuh Zia." Sekarang tangis Jihan pecat.
Jihan takut, bingung dan cemas di saat bersamaan. Jihan tahu betul, jika CCTV itu ia berikan pada pelaku, sama saja dia seperti mendukung penjahat. Namun, disatu sisi, Jihan seolah tidak punya pilihan, CCTV atau Zia.
Itulah yang membuat Jihan kehilangan senyumnya bahkan sorot teduh matanya. Dua hari ini, Jihan nyaris terlihat seperti sebongkah tulang berjalan. Entah berapa banyak berat badannya yang hilang, akhir-akhir ini Jihan sama sekali tidak memperdulikan makanan yang masuk ke dalam perutnya. Tubuhnya terasa lemas selalu.
"Saya harus apa, Kak? Saya bingung ... Dia terus mengancam saya, jika saya melaporkan semua ini pada Kakak, Zia akan semakin dalam bahaya. Kemarin, ada seorang suster yang tidak dikenal, tiba-tiba berusaha menyuntikan sesuatu di infus Zia. Saya memergokinya, suster itu lari dan meninggalkan sepucuk surat ini." Jihan dengan cepat merogoh tas mungilnya, menunjukan pada Nasim secarik kertas itu.
Nasim berpikir cepat, Jihan benar, jika mereka gegabah, Zia dalam bahaya, atau bukan hanya Zia, melainkan Jihan juga. Nasim tidak ingin mengambil resiko besar ini. Nasim tidak ingin kehilangan Jihan ....