Kasus yang Zia alamai masih belum menemukan titik terang. Zia belum sadar, bukti yang ada tidak membawa perkembangan apa pun. Fajar dan Seno kepusingan menghadapi kasus seperti ini, kasus simpel, tapi minim bukti. Mereka seolah mati langkah, tidak tahu harus berbuat apa.
Besar dugaan mereka, pelaku kemungkinan besar orang terdekat Zia karena dia sudah banyak tahu mengenai Zia, tidak ada sidik jari pelaku di temukan di TKP, semua bersih. Pelaku juga tahu kondisi CCTV kosan Zia yang sudah rusak beberapa hari sebelum insiden itu terjadi, bagian keamanan cuti menikah dan pintu yang dibuka seperti biasa, tidak ada kerusakan sedikit pun.
"Dalam kasus ini, hanya Nasim yang beruntung," gurau Seno. Tangan kanannya refleks memengani kepalanya yang tiba-tiba migreb. Dua gelas kopi sudah habis ia seruput, tetap saja rasa kantuk pada matanya, melanda hebat, ditambah lagi deretan huruf yang ada pada dokumen pemeriksaan yang kini berubah status menjadi sulit. Batas waktu penyelesain penyelidikan menjadi 90 hari, kasus perkara sulit. Tentunya, karena hanya Zia satu-satunya saksi kunci yang ada.
"Dan ada kemungkinan setelah kasus ini, Nasim tidak akan menjadi jomblo lagi," tambah Fajar, yang tidak kalah sibuknya dengan Seno. Pria itu nampak riuh di mejanya, merapihkan dan membereskan beberapa kertas berantakan di mejanya.
Tidak jauh dari keduanya, dari seberang meja mereka, Jina diam-diam menguping pembicaraan dengan rahang terkantup keras.
"Setidaknya ada kabar baik minggu-minggu ini ...." Seno mendesis pelan, menyerah, matanya tidak bisa diajak kompromi. Seno buru-buru bangkit dari kursi, tidak membiarkan matanya terlelap. Tidur di jam kerja, sama saja seperti korupsi, mencuri waktu, sama buruknya seperti para pejabat berdasi yang serakah. Itu juga korupsi.
Seno mengambil sebotol air mineral, menyipratkan kecil, meratakan air ke wajahnya. Wajahnya terasa lebih segar, meski tidak berpengaruh banyak pada matanya. Matanya tetap berat.
"Nasim akan benar-benar menjadi pengantin kali ini," sahut Fajar, sukses memancing Jina di balik laptopnya, bangkit dengan cepat dari bangkunya. Jina mendelik, tangannya gatal ingin sekali membungkam mulut kakak tirinya itu sekarang juga. Fajar berpura-pura tidak menyadari kemarahan Jina. Sekali saja Jina membuat keributan, Fajar dengan mudah menendang Jina keluar dari tim ini, kembali ke tugasnya semula, bagian penerima laporan. Jina mendesis panjang, menyadari fakta itu, berpikir cepat dan memilih mengurungkan niatnya membuat masalah. Jina pergi dari sana dengan kaki menghentak keras.
Seno yang sama sekali tidak menyadari ketegangan yang terjadi, melirik ke arah Fajar, keheranan mendapati Jina keluar dengan wajah memerah, menahan marah.
"Kenapa tuh saudara lo? " tanya Seno, selepas Jina pergi.
"Entah, kelaparan mungkin. Makanya bawanya ngamuk muluk," sahut Fajar, santai, tidak teralihkan fokusnya dari membereskan kertas-kertas.
"Gue mau tanya sama lo, kok bisa sih selama ini kalian bertingkah seolah dua orang asing. Gue bahkan jarang liat lo negur Jina. Muka kalian juga gak mirip ... Jina cantik dan lo—" Seno langsung menghentikan kalimatnya, setelah mendapati Fajar menoleh, menatapnya sinis.
"Bukan gitu maksud gue. Maksud gue, lo gak ada mirip-miripnya sama Jina. Bentuk wajah, hidung, mata ...."Seno buru-buru meralat kalimatnya, tersenyum kikuk.
Fajar jarang sekali marah, tapi jika sudah marah, Fajar lebih menyeramkan dari pada harimau yang mengamuk. Seno pernah melihatnya sendiri, Fajar marah besar saat mendapati ternyata calon istrinya berselingkuh dengan pria lain. Fajar nyaris menerkam, mematahkan dan meluluh lantangkan semua urat sendi pria itu. Pria itu meraung, memelas untuk dibunuh, kematian lebih terasa baik dari semua kemarahan Fajar.
Pria itu koma selama satu tahun lebih, Fajar nyaris di hukum, tapi akhirnya di bebaskan karena keluarga pria itu memilih berdamai. Bagaimana pun Fajar adalah korban dan anak mereka yang sudah membangunkan singa yang ada pada diri Fajar. Fajar batal menikah. Calon istri memutuskan untuk pergi keluar negeri.
Dua minggu berselang, Fajar mendapatkan pujaan hatinya melalui proses taaruf. Seorang gadis sholeha, berkerudung panjang, lulusan terbaik pondok pesantren.
Fajar mengadakan acara pernikahan secara besar-besaran, tiga hari tiga malam. Di adakan, di gedung super mewah dengan dekorasi yang sangat menguras kantong, berkilauan dan menyilaukan mata, sovenir mahal, hidangan premium yang siap memanjahkan lidah para tamu serta banyak hadiah istimewa bagi para tamu.
Semua itu sampai ke telinga mantan calon istrinya, yang bergegas kembali ke Indonesia, di hari ketiga pernikahan. Wanita berwajah tirus itu, memaksa masuk tanpa undang, terjadi perdebatan, gema tangisan terdengar di ambang pintu masuk gedung. Menarik banyak pasang mata.
Wanita itu berteriak memanggili Fajar dan menuding kalo Fajar lah yang berselingkuh, Fajar yang lebih duluan berkhianat, Fajar yang membuatnya seolah penjahat, tukang selingkuh untuk menutup keburukannya sendiri. Wanita itu menudung Fajar lah yang telah berselingkuh. Wanita itu tidak tahu apa itu taaruf, baginya mustahil mendapat istri dalam waktu sesingkat itu. Miris, tapi itulah kenyataan. Banyak orang beragama Islam, tapi tidak memahami agamanya sendiri. Agama Islam terasa sangat asing.
Fajar yang teramat bahagia dengan wajah berseri, merasa bagai pria beruntung di dunia, bisa duduk, memegang erat tangan wanita yang berada di sebelahnya, wanita yang terjaga dari jamak laki-laki, berhati baik dan bersenyum tulis, memilih mengabaikan kehadiran wanita itu, membiarkan dia berceloteh sesuka hatinya bagai kaleng rombeng di luar pintu gedung. Wanita itu terlihat menyedihkan sekarang. Satu-dua orang menatapnya iba, sisanya saling berbisik menjelaskan siapa wanita itu. Mereka sama sekali tidak peduli dan masuk ke dalam gedung.
Wanita itu mulai menyesali segalanya, ia menyesal telah menyia-nyiakan pria baik macam Fajar, hanya karena Fajar tidak setampan selingkuhannya. Dia membuang Fajar, dan sekarang dirinya lah yang dibuang bak tisu bekas. Wanita itu meraung, menangis, meminta belas kasih Fajar. Fajar mengulas senyum, memaafkan, tapi tidak memberi kesempatan apa pun. Wanita itu, pulang dengan tangan hampa, dengan segudang penyesalan.
Seno sedikit bergidik mengingat kejadian itu. Seumur hidup wanita itu tidak akan pernah melupakan semua itu, atau mungkin tidak akan pernah terlintas untuk berselingkuh lagi. Begitulah Fajar, terlihat seperti air laut yang tenang di luar. Namun, menyimpan banyak teka-teki di kedalaman. Termasuk hubungannya dengan Jina, yang bisa dibilang sangat dekat. Bertahun-tahun Seno baru tahu, itu pun karena Jina keceplosan mengatakannya saat marah, berita itu langsung tersebar ke seluruh penjuru kantor polisi. Jina dan Fajar, sama-sama dua makhluk yang sulit ditebak. Nasim, yang sebelumnya juga punya hubung dengan Jina, bertahun-tahun lamanya, baru mengetahuinya kemarin.
Fajar meminta pada Nasim dan semua orang untuk tepat melihatnya sama seperti sebelum mereka tahu Fajar, kakak tiri Jina. Tapi itu mustahil. Nasim tidak membenci Fajar, tapi dia perlahan sedikit menjaga jarak. Alasannya tentu saja karena Jina. Sedangkan para pria, mata keranjang yang mengejar Jina, jelas mulai ikut mendekati Fajar, berharap Fajar bisa menjadi golden tiket mereka mendapat Jina. Atau para wanita yang mulai menatap sinis Fajar, sama kesalnya saat melihat Jina yang selalu saja cari muka dan bersikap menyebalkan.
Namun, bukan itu alasan terbesar, kenapa Fajar selama ini menyembunyikan fakta tentangnya dan Jina ....
Melainkan, karena...