'Kau sama sekali tidak mengindahkan perkataan saya!'
'Kau akan mati! '
Jihan mengedarkan pandangannya, deru napasnya keluar teratur, tanganya tidak gemetar hebat, seperti sepekan lalu.
Jihan tidak lagi takut, di sampingnya, ada Nasim yang selalu siap menenangkannya. Mereka justru menanti pesan ini. Pesan yang dikirim dengan ceroboh lantaran kemarahan. Jika bisanya pesan yang masuk menggunakan nomor privasi, kali ini, pelaku melakukan kesalahan dengan lupa menjadikan nomornya privasi.
"Kesempatan emas," ujar Nasim begitu selesai memastikan keadaan Jihan. Nasim segera meraih ponselnya, mengusap layar sesaat sebelum sibuk dengan panggilan di seberang sana. Jihan juga langsung menangkap layar, takut jika tiba-tiba nomor itu menghilang atau apalah.
"Dapat! "seru Nasim, matanya kini melirik ke arah Jihan yang juga ikut menoleh ke arahnya. Nasim langsung mengulas senyum, sebagai jawaban dari pertanyaannya yang Jihan ajukan dari isyarat matanya.
Jihan menghela napas lega. Akhirnya, ada titik terang dari semua ini. Mereka akan segera menangkap pelaku itu, membawanya ke kantor polisi, dan menyebloskan ke penjara. Zia akan aman setelah itu.
"Lokasi orang itu dekat di sini. Di lobi bawa rumah sakit," seru Nasim dengan siara sedikit berbisik. "Saya akan ke sana."
"Tunggu Kak, jangan ke sana sendirian. Bahaya," sela Jihan cepat.
"Kamu tenang saja. Saya ini polisi, saya sudah terlatih untuk itu."
"Tetap saja itu bahaya, Kak, " lirih Jihan tidak berdaya. Jihan ingin sekali menelepon Seno atau Fajar untuk membantu Nasim, tapi ia sendirilah yang sebelumnya meminta Nasim untuk tidak memberi tahu mereka. Meminta Nasim, untuk menangani kasus ini secara diam-diam, semua demi keselamatan Zia. Jihan menyesali permintaannya itu. Dia tidak ingin terjadi hal buruk pada Nasim.
"Tidak, bahaya jika Kakak ke sana sendiri. Aku akan ikut," putus Jihan cepat.
"Dua orang akan lebih baik dari satu orang. Mungkin saya tidak bisa membantu banyak, tapi saya akan sangat berusaha untuk membantu Kakak. Tolong jangan tolak saya," pinta Jihan yang seketika menghentikan Nasim untuk menggeleng tegas, menolak permintaan Jihan.
Nasim tidak bisa berkata apa-apa, mulutnya seketika bungkam. Jihan berhasil membuat Nasim merasakan adanya getaran cemas yang teramat dalam dari suara dan raut wajahnya. Nasim bisa merasakan, kalo Jihan tidak hanya mengkhawatirkan dirinya, tapi juga takut jika kehilangannya.
Di suasana tegang seperti ini, Nasim merasakan hatinya berbunga-bunga, terharu. Sebuah rasa yang tidak pernah ia rasakan, meski berkali-kali jatuh cinta. Cinta pada Jina yang dulu ia anggap begitu dalam, ternyata tidak ada artinya di hadapan Jihan.
"Kamu boleh ikut asal ..." Nasim menoleh, sontak tersenyum kecil. Jihan tidak pandai mengubah ekspresi wajahnya. Gadis itu tetap terlihat takut, meski sudah mengangguk mantap, menyakinkan Nasim.
"Kita pergi sekarang? "tanya Jihan.
"Ya, kamu boleh ikut, asal kamu selalu ada di belakang saya. Setuju? "
"Iya, Kak," sahut Jihan cepat, dengan nada suara lantang, khas anak SD yang sedang mematuhi gurunya. Lagi-lagi itu hampir membuat Nasim tertawa. Nasim segera menahanya dengan berjalan cepat. Jihan dengan sigap langsung mengekor di belakang Nasim. Gerakan kecil Jihan mengikuti langkahnya, tidak pernah luput dari pandangan Nasim, meski Nasim tidak menoleh dan terus berjalan cepat. Sejujurnya, Nasim berharap Jihan tertinggal jauh di belakangnya. Gadis itu akan lebih aman. Namun yang terjadi, meski agak kerepotan, Jihan berhasil mengejar langkah lebar Nasim.
Mereka sampai di lobi parkiran rumah sakit. Nasim segera merogoh ponselnya, melakukan sesuatu di layar ponsel. Selang beberapa menit, mata Nasim sudah mengedar, menatap tiap sudut parkiran. Tidak ada siapa-siapa di sana. Nasim kembali mengecek ponselnya.
"Orang itu masih ada di sini," gumam Nasim. Jihan mengintip dari balik punggung tinggi Nasim, Nasim mematau titik kuning yang ada di ponselnya. Nasim kembali bergerak, mengikuti titik kuning itu.
"Dia ada di depan," gumam Nasim.
Kali ini Nasim menoleh, berbisik dari jauh, meminta Jihan mundur pelan, tidak bisa menolak lagi, bersembunyi di belakang mobil. Membiarkan Nasim pelan-pelan berjalan ke arah pelaku yang tengah membelakangi mereka. Nasim terus mendekat, pelaku sama sekali tidak sadar dan malah sibuk dengan ponselnya.
Tidak lama ponsel yang Jihan masukkan ke dalam saku roknya, bergetar. Jihan sedikit kaget, buru-buru mengambil ponsel yang masih berkedap-kedip menampilkan tanda pesan masuk.
'Hanya ada dua pilihan, mati atau menuruti perkataan saya!'
Jihan kembali mengintip di belakang mobil. Nasim semakin mengikis jarak di antara mereka. Langkah Nasim amat sangat pelan, meski begitu, suasana lobi parkiran yang jarang digunakan, sangat hebat dalam memantul suara sekecil apa pun itu. Pelaku bisa saja langsung menyadari kehadiran Nasim, kapan pun, sebelum berhasil menangkapnya.
'Kali ini saya tidak akan tinggal diam. Saya akan mengambil apa yang jadi hak saya! '
'Kamu mau apa? Kenapa kamu mengancam saya!'
Jihan kembali mengintip keadaan, semua masih sama. Jihan sengaja membalas pesan pelaku agar pelaku sibuk dan tidak menghiraukan suara yang Nasim timbulkan.
'Jangan banyak tanya, Jalang!'
'Temui saya di lobi parkiran rumah sakit sekarang!'
'Saya tidak akan datang.' Tangan Jihan sedikit bergetar saat menuliskan pesan itu, pasalnya Nasim kini semakin dekat dengan pelaku.
'Datang atau kamu akan kehilangan sahabat kamu selamanya!'
Nasim sudah berada satu langkah di belakang pelaku. Tangan kanan Nasim semakin erat memegang pistol, sebelah tangannya lagi bersiap menangkap pelaku. Satu ... dua ... tiga ... semua terjadi begitu cepat. Nasim langsung melumpuhkan pelaku dalam satu kali serangan. Pelaku yang kaget tidak berkutik saat Nasim, menerbab, memiting kedua tangan pelaku dan menjatuhkannya tubuhnya ke lantai yang dingin, tanpa perlawanan.
Jihan segera berlari, mendekati Nasim.
"Biar aku telepon Pak Fajar ...."ujar Jihan, cepat. Nasim mengangguk setuju, sekarang semua sudah aman, pelaku tidak akan bisa mengancam Zia dan Jihan. Pelaku terus memberontak, tenaganya sama sekali tidak membantu.
Tiba-tiba ponsel Jihan bergetar. Ada pesan dari nomor rahasia.
"Hay, Jihan .... sudah ucapkan salam perpisahan pada Zia? Jika belum, oooh, itu kesalahan kamu."
Tubuh Jihan seketika kaku, membeku. Matanya menatap 'pelaku' yang masih berkutik tidak berdaya di bawah lengah kuat Nasim. Jika dia pelakunya, lalu siapa yang mengirim pesan ini?
"Ada apa? Kamu sudah hubungi Fajar dan Seno?" tanya Nasim.
"Jangan! Jangan hubungi dia! " Pelaku itu kembali memberontak, sedikit lebih kuat dari sebelumnya, tapi bukan karena itu cengkraman Nasim seketika melonggar, melainkan karena suara 'pelaku' yang sangat dia kenal.
"Jina ...."
"Bukan dia pelakunya!" gumam Jihan. Jihan tertegun sesaat, sebelum otaknya berpikir cepat dan menyadari kalo sekarang Zia dalam bahaya. Buru-buru Jihan berbalik, lari meninggalkan Nasim yang masih bingung dengan semua ini.
"Ya Allah, lindungi Zia ...." Tangis Jihan pecah, matanya dipenuhi banyak air mata, penglihatannya terhalang, tapi langkahnya tetap memburu cepat, berlari sebisanya menyusuri koridor rumah sakit yang sepi, sambil terus berharap bahwa kali ini langkahnya tidak terlambat seperti kemarin ....