Pameran Lukisan

1620 Kata
Setelah kejadian semalam, Lylia yang benar-benar memutuskan untuk meninggalkan Ravendra di kamar hotel sendirian, berakhir tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya begitu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai jati diri calon suaminya itu. Terlebih, kejadian di kamar hotel yang begitu melekat dalam ingatan. Bukan perihal ciuman panas mereka. Melainkan tentang salah satu nama perempuan yang saat semalam disebut berulang kali oleh Ravendra dalam keadaan setengah sadar. “Kiara ... Kiara ... Siapa dia? Apa kekasih si pria tua itu?” gumam Lylia untuk yang kesekian kalinya. Wanita itu bahkan belum menyadari, bahwa langit yang gelap pekat, kini sudah berganti menjadi terang. Namun, belum sampai pikirannya menjarah lebih jauh lagi, suara dering ponsel tiba-tiba menginterupsi, hingga membuat Lylia sedikit terperanjat, sebelum akhirnya meraih benda pipih tersebut untuk melihat nama yang tertera pada layar. Menggeser tombol hijau ke atas seraya menempelkan pada telinga. “Ini masih malam. Untuk apa kamu menghubungiku?” tanya Lylia to the point. “Kamu mengigau? Atau jangan-jangan sedang tinggal di belahan bumi lainnya?” “Apa maksudmu?” “Ini sudah pagi, Lylia! Matahari saja sudah semakin terik, dan kamu masih mengatakan malam hari?” Mendengar perkataan lawan bicaranya, Lylia segera bangkit dari tempat tidur dan menyibakkan tirai yang menghalangi cahaya. “Astaga ... Dia benar. Ini udah siang!” gumamnya kepada diri sendiri. Wanita itu bergegas kembali ke tempat tidur, lalu duduk di tepian ranjang. “Ada apa kamu menghubungiku pagi-pagi begini?” Lylia mengulang pertanyaan semula dengan meralat waktu. Terdengar suara kekehan singkat nan pelan sebelum akhirnya suara bariton pria itu kembali mendominasi. “Tentang semalam ... Maaf, aku sudah menyusahkanmu, Lylia.” Karena tidak ingin membahas apa yang sudah terjadi semalam, Lylia hanya menjawab, “tidak masalah. Kebetulan aku sedang tidak melakukan pekerjaan apapun. Lagi pula, aku calon istrimu, bukan? Jadi, sudah seharusnya aku peduli pada hal-hal yang menyangkut dirimu.” “Terima kasih, Lylia. Jika ada sesuatu hal yang mengganggu pikiranmu tentang kejadian semalam, katakanlah. Aku pasti akan menjelaskan sejujur-jujurnya.” Tanpa sadar Lylia menggeleng, padahal dia tahu, Ravendra tidak mungkin melihat apa yang dilakukan. “Tidak perlu. Aku baik-baik saja.” Setelah mengatakan itu, Ravendra pun segera berpamitan untuk bersiap pulang ke rumahnya. Sementara Lylia kembali menjatuhkan tubuh ke atas tempat tidur sembari menghela napas dalam-dalam. Memejamkan mata sejenak, kemudian berkata, “sampai sejauh ini, kamu sudah hebat, Lylia. Kamu berhasil mempertahankan harga diri tanpa perlu menurunkan kualitas. Ya ... Benar, kamu hebat!” *** Hari ini, suasana di rumah kediaman keluarga Jerry tampak hening, meski dalam rumah tersebut ada Mira dan Shanti–ibunya. Mereka nampak tengah bersantai dengan memakan kudapan di ruang tengah. Mira yang berbaring di sofa santainya, sementara sang ibu tengah menonton televisi. “Ma, sepertinya ada yang kurang, nih.” Mira melihat meja yang kosong dan hampir tidak ada lagi camilan untuk dirinya di sana. “Hem, dasar! Ambil sendiri sana di dapur! Kenapa jadi ngomong ke Mama?” balas Shanti dengan ketus. Mira mendengkus pelan. “Kok jadi marah, sih, Ma? Mira, kan, cuma ngasih tahu doang.” “Kamu itu terlalu manja tahu! Apa-apa harus Mama yang bergerak. Mending keluar, gih! Main kek sama Putra, atau Marcell gitu! Biar kamu bisa jadi jodoh salah satu dari mereka. Kan enak, punya pacar kaya, punya banyak perusahaan dan hidup terjamin untuk tujuh keturunan. Buat kamu, Mama mau yang terbaik pokoknya! Kalau si Lylia, sih, biarin aja sama si Ravendra-Ravendra itu. Ya … dia juga memang kaya, tapi enggak sekaya dua temanmu itu, kan?” Ucapan sang ibu membuat Mira berdecih. “Ma, Mira cuma mau camilan, kenapa jadi bahas masa depan? Biarin Mira putusin sendiri, mau sama Putra kek, atau Marcell kek. Yang penting sekarang, mana nih cemilan buat Mira?!” balas Mira yang tak suka dengan pembahasan ibunya. Di tengah perdebatan mereka, terdengar seseorang sedang mengetuk pintu. Mira dan ibunya saling tatap lalu melempar suara untuk membuka pintu. “Mir, sana buka! Siapa tahu ada tukang kirim makanan nyasar ke sink. Kan lumayan,” ucap ibu Mira. “Ogah! Males banget. Mama aja, sana! Siapa tahu itu Putra atau Marcell bawain makanan. Kan, Mama bisa, tuh, puji Mira di depan mereka.” Mira tidak ingin kalah dari ibunya dan melempar kalimat. “Awas saja kalau nanti kamu menyesal.” Wanita itu pun melangkah ke pintu depan, dengan bibir yang terus berderak seakan tidak terima dengan tingkah anaknya. Perlahan, dia membuka pintu dan mengintip. Setelah tahu siapa yang datang, dia pun membuka lebar pintu rumah dan mempersilakan tamu tersebut masuk. “Astaga! Raven datang bawa apa ini? Repot-repot sekali.” Sambutan Shanti benar-benar diluar dugaan. Ravendra tidak menjawab dan hanya tersenyum sekilas. Dia pun mengikuti arahan ibu tiri Lylia untuk duduk di ruang tamu sembari menunggu wanitanya ke luar dari persembunyian. Karena ... Ya, sejak semalam ia seperti kesulitan menghubungi Lylia. Bahkan, panggilan teleponnya diabaikan setelah berbincang sesaat pagi tadi. Dari dalam rumah, Mira yang mendengar suara sang ibu menyebutkan nama Ravendra, segera berlari menghampiri mereka. Wanita itu melihat ada banyak bingkisan makanan dan beberapa camilan yang baru saja ibunya taruh di atas meja. Tanpa malu, Mira pun berkata, “Ma, Mira bantu taruh di dalam, ya?” “Iya, Sayang. Kamu simpan di dapur saja. Biar Lylia tidak kesulitan mencarinya nanti.” Mira menaikkan ibu jari dan berjalan ke dapur sembari membawa bingkisan dari Ravendra. “Mama memang paling pintar berakting. Benar-benar tidak diragukan lagi.” Di sisi lain, wanita yang hendak ditemui Ravendra rupanya sedang asyik menikmati pameran lukisan di salah satu mall pusat kota. Di sana beberapa pelukis terkenal telah dihadirkan, salah satunya adalah Jessica. Hanya saja, untuk bisa masuk ke sana memerlukan akses khusus, atau hanya mereka yang memiliki undangan berupa tiket masuk saja. Awalnya, Lylia sangat merasa putus asa karena tiket untuk umum bahkan sudah habis terjual dalam waktu beberapa menit saja. Tetapi, tak disangka-sangka, seorang teman dari masa lalunya menghampiri, dan berdiri di samping Lylia dengan seulas senyum lebar. “Lylia? Bener, kan, Lylia Ashana dari kelas dua belas IPS tiga SMA Lintang?” tanya pria itu memastikan. Lylia segera menoleh ke sisi kiri untuk melihat ke arah asal suara. “Adzriel?” tebaknya kurang begitu yakin. Karena melihat dari perawakan pria itu, banyak sekali perubahan yang terjadi terhadapnya. “Astaga, bener-bener gak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Gimana kabarnya sekarang? Sehat?” tanya pria itu. Lylia yang terlihat begitu senang bertemu temannya, segera mengangguk. “Alhamdulillah, baik. Kamu gimana?” “Alhamdulillah, baik juga,” jawab Adzriel. Pria itu mengedar tatapannya ke sekeliling, lalu kembali melihat pada Lylia. “Datang sama siapa ke sini? Sendirian?” tanyanya. “Iya, nih, sendirian. Gak ada lagi yang bisa diajakin lihat pameran,” jawab Lylia. “Loh, ibu ke mana? Biasanya, kan, kalian datang ke pameran bareng-bareng,” tanya Adzriel lagi tanpa mengetahui, apa yang sudah terjadi dalam kehidupan Lylia. “Ibu udah meninggal sejak enam tahun yang lalu. Jadi ... Ya, gini deh. Ke mana-mana cuma bisa sendirian.” Mendengar jawaban Lylia, air muka Adzriel seketika berubah penuh rasa sesal. “Ly, maaf, aku gak tahu soal kabar itu.” Lylia menggeleng cepat. “Gak apa-apa, Zriel. Semuanya udah berlalu, kok. Aku udah ikhlas.” “Ly ....” “Kamu ke sini sama siapa, Zriel? Sendiri juga?” tanya Lylia mengalihkan topik pembicaraan. Walau masih merasa tidak enak atas pembicaraan sebelumnya, Adzriel tetap mengangguk. “Seharusnya, sih, berdua. Cuma dianya berhalangan hadir karena ada urusan mendadak. Jadi, mau gak mau harus datang sendiri.” “Oh, begitu.” “Kamu sendiri kenapa masih di sini? Kok gak masuk?” tanya Adzriel lagi. Sembari tersenyum tipis, Lylia menggeleng. “Gak kebagian tiket masuk, nih. Jadi, terpaksa lihat dari luar.” Tanpa terduga, Adzriel segera memberikan dua tiket kepada penjaga pameran, dan menunjuk wanita di sampingnya itu dengan ibu jari. “Tiket untuk berdua,” ucapnya. Lylia segera menarik lengan Adzriel. “Zriel, kok–“ “Aku udah beli dua tiket. Sayang kalau gak kepakai satunya,” potong Adzriel menjelaskan. Selama berada dalam pameran, Lylia benar-benar dibuat takjub karena bisa melihat-lihat lukisan-lukisan Jessica secara mendetail. Belum lagi kesempatan yang diberikan oleh penyelenggara acara untuk menjadi salah satu peserta meet and greet pelukis tersebut. Jelas, membuat Lylia yang sempat merasa sedih, bisa kembali menemukan kebahagiaannya. “Kayanya ada yang lagi seneng banget karena bisa ngobrol langsung sama Jessica,” celetuk Adzriel, sesaat setelah acara benar-benar selesai. Wanita yang tengah berjalan di sampingnya itu seketika mengangguk tanpa berniat menghilangkan senyuman. “Banget, Zriel. Dari lukisan-lukisan Jessica, aku bisa belajar banyak hal.” “Contohnya?” “Tentang luka?” “Kenapa?” “Karena ternyata, luka memiliki arti tersendiri dalam setiap lukisan,” jawab Lylia. “Mentor seniku pernah bilang, bahwa seorang pelukis yang hebat akan selalu bisa menemukan makna tersembunyi dalam setiap lukisan yang dia lihat. Aku sempat ragu sama perkataan beliau. Tapi sekarang, aku yakin, apa yang dia katakan adalah benar. Aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku,” ujar Adzriel. Meskipun Lylia sempat tersipu malu, wanita itu segera menggelengkan kepala. “Aku belum sehebat Jessica dan para pelukis di luaran sana. Jadi, kayanya kalimat itu belum cocok buat aku.” “Tapi buat aku, kamu adalah salah satu dari banyaknya pelukis hebat itu,” sanggah Adzriel, dan ditanggapi dengan seulas senyum lebar oleh Lylia. Setelah cukup lama berjalan melewati toko-toko dalam mall tersebut, Adzriel pun menawarkan diri untuk mengantar pulang Lylia sampai halaman rumah. Walau sebelumnya sempat menolak, Lylia pun akhirnya setuju dengan syarat hanya sampai pemberhentian bus dekat rumahnya. Sampai di halaman parkir basement, Lylia segera masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh Adzriel, tanpa ia sadari, Andy–teman Ravendra yang tidak sengaja melihat dari kejauhan–sedang mengabadikan moment tersebut dan mengirimnya pada Ravendra. “Kasihan banget lu, Rav. Mau aja dibohongin lagi sama kaum hawa.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN